Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia ‘Islam Yes, Partai Islam No!’ Slogan politik yang dilontarkan Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) untuk mengkritik corak politik partai-partai politik Islam yang bertarung pada Pemilu 2004. Slogan tersebut mewakili keresahan Cak Nur terhadap fenomena degradasi ideologi yang sedang terjadi dalam tubuh partai-partai Islam. Virus sektarianisme yang dipertontonkan dan dipelihara oleh partai-partai Islam saat itu telah memantik api persaingan dan permusuhan diantara partai-partai bercorak Islam yang masing-masing berambisi menjadi pemenang dalam pertarungan. Keresahan ini akhirnya membuat cak nur mengembangkan ide sekularisasi (bukan sekularisme), pemisahan antara Islam dengan politik. Cara pandang Cak Nur ini selaras dengan pemikiran Kuntowijoyo yang membuat tesis tentang Ilmu Sosial Profetik, sebuah tesis yang juga mempelajari perbandingan antara model perjuangan Islam secara struktural dan kultural. Kedua begawan ini sampai pada titik kesimpulan bahwa perjuangan Islam struktural cenderung akan melemahkan fondasi iman dan ketauhidan umat muslim karena akan terbagi dalam sekat dan petak ideologis. Karena dalam Islam struktural, intervensi politik yang tidak bisa diimbangi dengan kemurnian tauhid, akan mengakibatkan pengikisan ideologis dalam tubuh partai tersebut dan lebih luas lagi, umat Islam sendiri. Posisi ini kemudian menggeser Islam sebagai agama yang mengajarkan nilai-nilai universal menjadi nilai-nilai partikular, kepentingan kemanusiaan yang lebih luas menjadi kepentingan kelompok yang sempit, membujuk kearifan dan kedewasaan politik menjadi sesuatu yang dangkal dan bermusuhan. Selang beberapa tahun kemudian, buku Aib politik Islam (API) terbitan Antonylib-Indonesia, 2009, yang ditulis oleh Fajlurrahman Jurdi.SH. seolah mengulang drama dan meramaikan wacana tersebut. Tampil dengan bahasanya yang lugas, vulgar, berani, dan nekat, penulis dengan kesan sadis menelanjangi perilaku partai-partai islam yang mempertontonkan aib dimana-mana melalui bahasa kampanye yang menggiurkan. Karena buku ini terbit menjelang pemilu 2009, maka setiap bahasa yang terangkai dipastikan akan membuat panas kuping fungsionaris partai-partai Islam yang disinggung dalam buku ini. Sementara masyarakat lain yang kemampuan pustakanya masih lemah, akan merasa geli membaca tiap rangkaian kalimat yang bukan hanya membantai secara sadis tingkah laku fungsionaris partai-partai islam, tapi juga ’porno’. Dalam buku ini, Fajlurrahman sebagai Direktur Eksekutif PuKAP-Indonesia, yang memang sudah sejak lama menekuki studi-studi sosial, termasuk mempelajari corak politik partai-partai politik islam beserta tingkah laku elitnya, mengkritik keras cara politik partai-partai Islam yang menjual murah ideologinya demi kekuasaan. Manufer partai-partai Islam yang beberapa diantaranya berselingkuh dengan partai berhaluan nasionalis hanya untuk membangun koalisi dan mendulang suara, dikhawatirkan penulis (sebagaimana cak nur dan kuntowijoyo) akan membuat sekat dan petak-petak ideologis hingga mengakibatkan kemunduran bahkan kehancuran dalam tubuh umat islam itu sendiri. Manufer politik parpol-parpol berasaskan Islam pada saat itu seperti PAN, PBB, PPP, PBR, PKS, PKNUI, dan PKB yang bertarung dan saling menjegal untuk mendapatkan suara terbanyak, telah mengakibatkan kebimbangan dalam tubuh umat Islam akan masa depan visi memperjuangkan amar ma’’ruf nahi mungkar dan tu’minunnah billah di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Alih-alih memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar, melalui pilihan politik Islam secara struktural, yang akhirnya membuat sekat-sekat ideologis, partai-partai Islam yang bertarung dalam pemilu 2004 secara langsung telah melemahkan akar ideologis nilai-nilai perjuangan Islam itu sendiri. Pada Bab I tentang Politik, Demokrasi, dan Islam Politik yang terbagi dalam sub bab; Teori Politik, Demokrasi, Transisi Demokrasi, Islam Politik, Elite Islam, Perilaku Politik, Perilaku Politik Elite Islam, penulis menyoroti perilaku elit politik islam yang seakan memuja materialisme, hedonis dan berpenampilan bak selebritis. Perilaku politik elit Islam yang sangat mengecewakan saat ini mencerminkan erosi moralitas dikalangan elit. Bahkan elit Islam meninggalkan messages suci Al-Qur’an yang merupakan teks otentik yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Teks suci tersebut banyak dikebiri oleh elite Islam karena menghilangkan makna transenden sebagai bagian dari keotentikan Al-Qur’an. Artinya bukan berarti elit politik Islam merubah redaksi Al-Qur’an, tetapi mereduksi makna teks tersebut sehingga apa yang menjadi pesan utamanya mengalami perubahan sesuai dengan pesan “sponsor” yaitu elit politik. Elit islam tidak sedikit yang memilih meleburkan diri dalam arus utama kekuasaan, mendukung status quo kekuasaan yang sebenarnya menyimpang dari ajaran-ajaran islam. Menutup mata dan telinga terhadap penderitaan rakyat jelata sehingga pesan keummatan yang terkandung dalam al qur’an dan as-sunnah terhalangi oleh tembok-tembok birokrasi yang tuli. Keegoisan elit politik islam dalam menggunakan bahasa politik tingkat atas (high level) yang tidak bisa dimengerti oleh kaum abangan mengakibatkan putusnya jembatan komunikasi antara elit politik islam dan masyarakat bawah. Konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai-partai islam maupun antara sesama partai-partai islam dengan sendirinya telah merenggangkan bahkan menghilangkan ikatan silaturahim (habbluminannas). Di sisi lain, kemilau duniawi telah membutakan mata hati para elit islam yang bermain-main dengan korupsi. Sedangkan pada Bab II tentang Ideologi Politik, yang terbagi dalam sub bab; Konsepsi Teoritik Tentang Ideologi, Ideologi Politik, Ideologi Partai Politik, penulis juga menyoroti fenomena pengikisan (baca: degradasi) ideologi yang terjadi dalam tubuh partai-partai islam. Islam adalah suatu keyakinan, atau suatu pandangan hidup yang memiliki dasar-dasar parenial, memiliki metodologi, aturan dan tujuan hidup untuk menuju pada Tuhan yang abstrak. Karena Islam adalah pandangan hidup, maka untuk mempermudah pemahaman kita pada tulisan ini, penulis menggunakan Islam sebagai Ideologi. Jika Islam adalah ideologi, maka partai Islam adalah partai yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan cita-cita perjuangan. Seluruh taktik strategi, metodologi, sikap dan perilaku yang dibangun untuk bertarung dalam arena demokrasi dan sistem sekular tidak akan keluar dari aturan. Tapi konsep tersebut tidak dilaksanakan oleh partai-partai islam yang tidak menjadikan islam sebagai ideologi perjuangan. Kemudian dalam Bab III tentang ”Islam Murni” dan ”Islam Politik” Ditengah Transisi Demokrasi, yang juga terdiri dari sub bab; Islam dan Transisi Demokrasi, Islam Murni Dalam Konteks Politik, Islam dan Kekuasaan Politik, Hubungan Demokrasi dan Islam, Mentalitas ”Islam Politik”. Dalam bab ini, penulis mengemukakan tesis bahwa Islam politik di Indonesia cenderung dihinggapi oleh sindrom inferioritas dalam menghadapi kekuatan politik sekuler. Dipundak kekuatan “Islam politik” seperti partai-partai Islam yakni PPP, PKS, PBB, ada ekspektasi besar untuk membangun kekuatan Islam politik itu, namun pada kenyataannya mereka sulit untuk bersatu dalam rangka memperjuangkan kepentingan umat Islam serta nilai-nilai Islam dalam konteks politik. Akhirnya yang terjadi adalah kompromi-kompromi politik, bahkan tidak segan-segan ideologi partai ditanggalkan demi meraih “pragmatisme” sesat. Mentalitas inferior yang terbangun dalam pemikiran kekuatan “Islam politik” di Indonesia, menyebabkan kekuatan politik Islam tidak mampu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik sekuler yang memiliki mesin besar untuk mengambil kekuasaan, ketimbang yang dimiliki oleh kekuatan “Islam politik”. “Islam politik” Indonesia, dimainkan dan diwakili oleh partai-partai politik, sedangkan organisasi kultural seperti Muhammadiyah dan NU memiliki agenda perjuangan Islam untuk membangun masyarakat yang “bertamaddun”, yaitu masyarakat yang taat akan nilai-nilai Islam dan membangun bangsa dengan niai-nilai transendensi itu. Oleh sebab itu, “Islam politik” sebagai suatu kekuatan, belum sepenuhnya memiliki energi untuk membangun kekuatan politik yang betul-betul Islami. Disamping mentalitas yang mereka miliki tidak begitu baik, karena terlalu inferior diantara belantara partai sekuler, maka mereka dengan sangat mudah berubah haluan. Dari kekuatan Islam melebur menjadi sekuler, atau dari Islam “hendak” menggabungkan diri dengan partai sekuler, tetapi tidak berani terang-terangan. Karena itu, ia menjadi hibrid, tidak berani menonjolkan identias dan ideologi yang dianutnya, karena berharap bisa bekerja sama dengan partai sekuler dan melakukan kompromi politik sekalipun merugikan ideologi yang dianutnya. Namun disisi tertentu, punya harapan untuk menjadi kekuatan “Islam politik” dan representasi kepentingan umat Islam. Mentalitas inilah yang dialami oleh PKS, PBB dan PPP saat ini, namun yang paling “mengerikan” diantara ketiga partai ini, sebagaimana pembahasan-pembahasan sebelumnya adalah PKS, yang pandai mengubah diri dan tidak berdiri tegak dengan ideologi dan keyakinannya. Dalam Bab IV tentang Partai Politik dan Kegagalan Partai Islam Dalam Diskursif Demokrasi Liberal, yang terbagi dalam sub bab; Partai Politik, Fungsi Partai Politik, Tipe Partai Politik, Partai Kader (Kaukus) dan Partai Massa, Sistem Kepartaian dan Proses Politik di Indonesia, Proses Politik di Indonesia, Kegagalan Partai Islam Indonesia. Penulis lebih menyoroti kegagalan partai islam di Indonesia yang lebih senang membangun rivalitas dengan partai seideologis, sementara di sisi yang lain membangun romantisme hubungan dengan partai-partai beraliran nasionalis-sekuler. Kemudian dalam Bab V tentang Artikulasi Politik Partai Islam. Pada bagian ini kemudian, wacana kritik sebagaimana banyak ditemukan dalam buku ini bermuara. Penulis mengkritik perilaku binal partai-partai islam yang sedang asyik melacurkan diri dalam arus kekuasaan dan demokrasi sekular. Sebuah demokrasi yang menawarkan sejumlah ’kegilaan-kegilaan’ epistemik, membongkar tata cara berpikir para elit islam yang masuk dalam kerangkeng kekuasaan. Pada wilayah ini, penulis menghujat sikap politik elit partai islam yang berpikir pragmatis dan oportunis. Tidak berani mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu harus diluruskan atau ditinggalkan karena memang salah. Secara lugas dan tajam, penulis mengkritik pengikisan ideologi yang menghinggapi partai-partai islam sekarang ini. Dengan memakai bahasa linguistik yang vulgar dan berani, penulis menelanjangi perilaku partai-partai islam dengan bermacam-macam istilah. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Pekerja Seks Komersial (PSK); Pragmatisme dan Pengkhianatan PKS. Kemudian berturut turut Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Bintang Bulan, Partai Bulan-Bulanan, Partai Bolak Balik (yang penting PBB). Partai Persatuan Pembangunan; Partai Amanat Nasional (PAN)-Muhammadiyah-Partai Matahari Bangsa(T) (PMB); Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)-Nahdlatululama-Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Pada bagian ini, penulis ’menghabisi’ perilaku partai-partai islam yang terkesan pragmatis dan oportunis. Penulis menilai pengikisan (baca:degradasi) ideologi yang terjadi dalam tubuh partai-partai islam saat ini sudah teramat parah sehingga dikhawatirkan dapat memicu pada sengketa ideologis dan perpecahan umat. Beberapa partai islam yang dari awalnya menyatakan konsisten akan berjuang dalam ’garis lurus’, akhirnya juga tidak mampu menggeser kemapanan partai-partai besar yang berhaluan nasionalis. Karena tidak mampu menghadapi kekuatan besar partai-partai yang berhaluan nasionalis, maka sekedar ’mencari selamat’ untuk ’tetap hidup’, maka beberapa partai islam, bersedia menggadaikan ideologis dan melakukan tawar menawar harga (baca: koalisi) dengan partai-partai nasionalis. Sementara menurut kaca mata penulis, dalam koalisi tersebut, partai islam terkesan dirugikan dan hanya dijadikan alat politik saja. Tidak sedikit dari partai-partai tersebut yang memiliki konflik internal, seperti konflik antara paman dan keponakan dalam PKB, maupun ’kegilaan’ untuk menjadikan mantan pemimpin sebagai ’guru bangsa’. Kemudian pada bagian keenam atau bagian terakhir, penulis melengkapinya dengan tesis tentang Pemilu 2009, Kekalahan Bagi Partai Islam: Analisis Atas Hasil Survey. Dalam bagian ini penulis meragukan kemampuan partai-partai islam dalam meraih suara signifikan untuk memenangi pemilu 2009. Untuk mendukung argumentasinya, penulis mengambil data dari Lingkaran Survey Indonesia pada tahun 2007. Dalam survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia pada Maret 2007, partai Islam tetap mengalami nasib yang “mengerikan”. Tidak mendapatkan suara maksimal serta pesimisme masyarakat terhadap partai yang berlabel Islam cenderung tinggi. Dengan menggunakan sistem Multistage random sampling, dengan jumlah responden awal 1200 responden dan menggunakan wawancara tatap muka dengan responden menggunakan kuesioner, PT LSI melakukan kalkulasi yang tentu mengecewakan. Dengan Margin of error sebesar ±2.9%, partai Islam menempati urutan keempat yang diwakili oleh PKS (5,6%) ditinggal jauh diatasnya oleh Partai Demokrat (16,3%). Pada bagian terakhir, penulis mencoba meredam gejolak amarah pembaca, utamanya yang berasal dari fungsionaris partai sebagaimana yang disinggung secara tajam dalam buku ini dengan mengatakan bahwa kehadiran buku ini bukan untuk melawan partai Islam, tetapi untuk mengubah kemapanan berpikir mereka yang kemudian terjebak dalam sistem demokrasi sekular. Karena jebakan itu, sulit untuk membedakan mana yang Islam dan bukan, mana yang kiri dan mana yang kanan, semuanya serba “hibrid”, abu-abu, kabur dan tidak jelas. Untuk itu, buku ini diharapkan untuk meluruskan “narasi” ideologis partai Islam agar segera melakukan revitalisasi dan memperbaiki tatanan struktur dan kaderisasi politik terhadap fungsionarisnya, agar mereka bisa menjadi kekuatan alternatif dalam “lingkaran” demokrasi sekuler. Dinamisasi intelektual yang didukung dengan argumentasi dan data yang kuat, membuat Fajlurrahman Jurdi berani menghadirkan buku ini kehadapan pembaca yang selama ini dirasa kurang tersentuh ’cahaya pencerahan’ oleh karena hingar bingar politik yang cenderung ’menyesatkan’. Hingar bingar yang tidak saja membutakan mata hati, tetapi menjauhkan entitas keummatan dalam visi memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Terbitan PuKAP-Indonesia Resensi ini pernah dimuat di harian FAJAR, edisi Minggu 5 April 2009 |
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Minggu, 19 Juli 2009
Resensi Buku "Aib Politik Islam, Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan"
Langganan:
Postingan (Atom)