Tribun Timur, Senin 1 Februari 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Dalam sebuah negara hukum, demokrasi adalah sebuah instrumen atau sarana bagaimana prinsip kebebasan sipil-politik tersebut bisa tersalurkan dengan baik. Ide murni demokrasi adalah bagaimana seluruh masyarakat bisa berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan maupun pembuatan keputusan politik. Negara hanya menyiapkan instrumen (rule) bagaimana demokrasi tersebut tersalurkan dengan baik tanpa ada yang melanggar. Sejatinya, demokrasi bukan sebagai tujuan untuk mencapai kesejahteraan, namun demokrasi adalah jembatan menuju kesejahteraan tersebut.
Tahun 2010 ini masyarakat di beberapa daerah di Sulsel akan melaksanakan hajatan lima tahunan, Pilkada langsung secara serentak di sepuluh kabupaten. Sejak jauh hari, perang spanduk dan baliho meramaikan hampir setiap sudut kota, membuat kota bak lautan kampanye. Simpatisan maupun tim sukses telah bergerilya mempromosikan jagoannya untuk mencari dukungan masyarakat. Lembaga survey yang menjual ’produk pemenang’pun sejak awal telah mendekati mereka yang berduit untuk di promosikan menjadi calon bupati. Perang argumentasi untuk menasbihkan diri sebagai yang terbaik dilakukan oleh setiap pasangan calon melalui simbol-simbol politik yang digunakan untuk mempengaruhi pskologi massa. Dalam kondisi ini, praktek money politic dan black campaign mulai meneror idealisme demokrasi dalam hajatan lima tahunan tersebut.
Dalam konteks good governance and clean government, pilkada merupakan sarana untuk melakukan evaluasi atas kerja-kerja pemerintahan selama periode berjalan. Dalam pilkada, perwujudan kehendak rakyat tersebut dituangkan dalam hak dan kewajiban yang tersedia. Hak bagi konstituen untuk menyalurkan aspirasi mereka, memilih pemimpin yang menurut mereka adalah panutan, tanpa intervensi dan paksaan dari siapapun, termasuk negara. Serta kewajiban bagi pihak-pihak yang merasa dipercayakan untuk mengemban amanah rakyat, sebagai pasangan bupati dan wakil bupati terpilih.
Sama halnya dengan pemilu, pilkada merupakan sarana perwujudan aspirasi rakyat dalam proses politik. Dalam pilkada maupun pemilu, rakyat bisa ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah, termasuk nasib mereka dikemudian hari. Hal ini menggambarkan bahwa, siapapun yang kelak terpilih, apapun keputusan yang dihasilkan setelah pemenang ditentukan, tetap saja rakyat sebagai obyek yang harus diperhatikan nasibnya. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu maupun pilkada.
Pada sisi yang lain, pilkada juga merupakan sarana untuk melahirkan regenerasi pemerintahan dalam sistem kaderisasi politik. Dalam negara demokratis, tidak dikenal adanya penguasa yang ’disembah’ dan ’ditakdirkan’ untuk berkuasa seumur hidup tanpa ada yang bisa menggantikannya. Jangan sampai penyakit Louis XIV dari Perancis yang mengatakan I’etat c’est moi (negara adalah saya) sampai menghinggapi seorang pemimpin (presiden/kepala daerah). Atau keputusan MPRS yang mengangkat Soekarno sebagai presiden RI seumur hidup pada era Orde Lama terulang kembali. Kejatuhan rezim politik otoriter dari kisah sejarah yang tertulis seperti Ferdinand Marcos di Filiphina, Jenderal Franco di Spanyol, Jean Claude di Haiti, serta Soeharo dengan Orde Barunya di Indonesia menunjukan bahwa kekuatan politik yang mengesampingkan demokrasi dengan cara menggagungkan politik otoriter dan absolut akan digilas sejarah dan meninggalkan catatan hitam kepemimpinannya.
Pilkada: Mencegah Tradisi Anarkis
Sejak rezim pemilu langsung digulirkan pada tahun 2004 melalui pemilihan presiden dan wakil presiden kemudian diikuti dengan pemilihan kepala daerah dan wakilnya di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, rekam jejak perjalanan untuk mencari entitas demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada selalu menunjukan fenomena memilukan. Praktek hajatan Pilkada dalam memperebutkan kursi sebagai penguasa daerah selalu dibumbui dengan praktek anarkis, meminta tumbal dan ongkos politik yang tidak sedikit.
Dalam setiap momen pilkada, elit politik lebih sering menampilkan pendidikan politik tidak sehat kepada masyarakat. Pelanggaran etika politik berupa praktek money politic dan black campaign dilakukan sejumlah elit hnya untuk mengejar ambisinya menduduki tahta kekuasaan. Dan ini dilakukan secara nyata maupun sembunyi-sembunyi serta tanpa rasa malu. Permusuhan dan pertikaian dalam drama perebutan kekuasaan sering ditampilkan oleh elit dan ironisnya hal ini ditonton dan tidak sedikit juga dilakukan oleh masyarakat yang kesadaran politiknya masih ’hijau’. ’Kursi’ yang diperebutkan menjadi barang mewah yang selalu meminta ’tumbal’ bagi sang pemenang. Pemenang pertarungan ditentukan dari siapa yang memiliki ’logistik’ cukup. Sehingga terkadang pelaksanaan pilkada diwarnai dengan konflik dan kekerasan.
Apa yang menyebabkan tradisi anarkis ini selalu terulang. Hal ini karena motivasi utama dari para petarung adalah untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Bukan menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat dengan ikhlas tanpa harus menumpuk kekayaan. Motivasi uang dan kekuasaan ini menjadi potensi utama terjadinya praktek korupsi. Sehingga tujuan utama kepemimpinan dari yang tadinya melayani dan menyejahterakan masyarakat berbalik menjadi ajang perlombaan menumpuk harta kekayaan pribadi dengan cara korupsi. Hal ini sejalan dengan aksioma politik yang diungkapkan oleh Lord Acton, yakni power tends to corrupt and absolute power tends corrupt absolutelly. Bahwa kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korup secara mutlak pula.
Selain itu, pilkada melanggengkan tradisi anarkis oleh massa awam yang terpetak kedalam beberapa kubu dukungan. Melalui godaan rupiah, massa dimobilisasi untuk menekan massa yang lain. Sehingga Pilkada menjadi ruang pertarungan, tidak saja oleh elit politik, tetapi juga berimbas pada massa awam yang pendidikan politiknya belum matang. Hal ini terjadi terus menerus tanpa diketahui kapan akan berakhir. Kondisi ini tidak sejalan dengan salah satu sifat dasar manusia yaitu saling mengasihi dan membantu, namun sebaliknya justeru mengamini teori Hobbes tentang homo homini lupus, bahwa manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Saya yakin, kita semua menginginkan teori Hobbes tersebut tidak terjadi pada pelaksanaan Pilkada di Sulsel. Oleh karena itu, kearifan dan kebijaksanaan dari para elit politik untuk seminimal mungkin menghindari konflik terbuka sangat diharapkan untuk mewujudkan pilkada yang sehat dan sistem demokrasi yang kuat.
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Sabtu, 06 Februari 2010
PAN, Amien Rais dan Idealisme yang Tersisa (Catatan Kritis Sebelas Tahun PAN)
Tribun Timur, Rabu 13 Januari 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas dan PusHAM Unhas
Kongres Partai Amanat Nasional yang berlangsung di Batam selama tiga hari akhirnya secara aklamasi mendaulat Hatta Radjasa sebagai Ketua Umum. Menariknya, terpilihnya Hatta Radjasa didahului dengan pengunduran diri Drajad Wibowo yang sebelumnya diprediksi menjadi pesaing kuat Hatta. Jadilah Kongres PAN menjadi pengakuan sepihak atas eksistensi seorang Hatta. Sebuah drama politik minus substansi demokrasi yang dipertontonkan oleh partai yang besar dari rahim reformasi dan mengklaim diri sebagai partai reformis.
Sebagai ‘partai reformis’ yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 1998, tidak lama setelah jatuhnya era despotisme Orba Soeharto, PAN yang didirikan oleh sejumlah tokoh dari sejumlah aktivis LSM, Majelis Amanah Rakyat (WARA) dan beberapa tokoh nasional seperti M Amien Rais, Goenawan Moehammad, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Herawaty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, PAN mengusung idealisme melalui cita-cita yang dicanangkannya yaitu berakar pada moral agama, kemanusiaan, kemajemukan, nonsektarian dan nondiskriminatif. Sejarah pendirian dengan segenap cita-citanya itu secara terus-menerus merupakan spirit yang mendasari eksistensi PAN.
Idealisme yang Tersisa
Naiknya Hatta Radjasa sebagai Ketum PAN menyisakan idealisme yang tersisa dari sang proklamator, HM Amien Rais. Sudah pasti, konsekuensi politik dari naiknya Hatta akan secara radikal mengubah garis perjuangan partai yang mengklaim dirinya sebagai partai reformis. Hatta yang notabene adalah orang dekat SBY dan berkoalisi dengan kabinet SBY-Boediono sudah pasti tidak akan mengambil sikap oposisi, namun akan total dan loyal menyokong pemerintah, sekalipuan harus berseberangan dengan garis konstitusi. Para pendukung PAN pun, yang reformis dan selama ini konsisten menjaga poros poros politik Amin Rais, akhirnya menjadi pesimis dengan visi garis perjuangan PAN, mengawal agenda reformasi yang tersisa.
Apa yang bisa dibaca dari garis politik atau haluan PAN pasca naiknya Hatta? Bahwa selain akan mengubah garis perjuangan PAN, Hatta juga akan lebih condong memakai tenaga orang-orang yang selama ini sekubu dengannya dan menyingkirkan kader yang berseberangan dengannya. Politik adalah pertentangan antara like and dislike. Praktek ”buang membuang’, dan penyingkiran sejumlah kader hanya karena berseberangan sikap politik adalah fenomena biasa yang terjadi dalam sebuah partai. Apalagi dalam partai besar seperti PAN. Sikap politik dan loyalitas kedalam kabinet SBY-Boediono akan memudahkan kader-kader PAN yang haus kekuasaan untuk berlomba mencari muka sekedar untuk memburu dan mendapatkan jabatan. Kata reformasi dan idealisme partai kemungkinan besar hanya akan menjadi sejarah usang dalam buku politik PAN.
Selanjutnya, sejumlah kader yang masih menyisakan idealismenya akan mengalami kegamangan; apakah akan tetap bertahan dalam partai dengan konsekuensi diacuhkan, memutuskan keluar dari partai dan bergabung dengan partai lain dan menyandang status sebagai ’kader buangan”, atau bahkan mendirikan partai baru yang bisa melanjutkan perjuangan idealisme mereka. Sebagaimana PKB, PDK-PDIP, NU-PKNU atau GOLKAR-HANURA. Dalam situasi ini, peran dan ketokohan seorang Amin Rais sebagai begawan PAN yang selama pemerintahan SBY-JK selalu konsisten tampil sebagai oposisi, mengkritisi setiap kebijakan pemerintah akan diuji dan dipertaruhkan. Apakah mampu menyelamatkan idealisme yang dipertahankan selama bertahun-tahun atau bahkan menangis melihat ”kehancuran” PAN.
Sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, selama sebelas tahun berkiprah, PAN tidak konsisten menunjukan identitas sebagai partai reformis dan idealis. Kultur politik yang berwatak oportunistis dan pragmatis, menghalangi cita-cita dan idealisme dari para pemrakarsa PAN, utamanya HM Amin Rais yang menginginkan PAN konsisten dalam garis ’oposisi’. Tak satupun tokoh selain Amin Rais yang mampu ditonjolkan dan laku ’dijual’ ke publik untuk mendapatkan kepercayaan. Amin Rais pun yang mewakili simbol sebagai salah satu tokoh reformis, juga tidak mampu menarik dukungan publik secara maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari Pemilu Presiden 2004 lalu, ketokohan seorang Amin Rais yang berpasangan dengan Siswono, tak mampu membeli suara publik yang menjatuhkan pilihannya pada SBY-JK. Pasangan Amin Rais-Siswono pun akhirnya hanya menduduki nomor buncit dalam perolehan suara. ”Tragedi” ini berulang pada Pilpres 2009 lalu, PAN kalah bersaing dengan partai-partai besar lainnya dalam menjual calon presidennya. Soetrisno Bachrir yang seyogyanya diharapkan mampu bersaing dalam perebutan kursi RI I akhirnya hanya mampu menjadi penonton karena ketokohannya tak laku di mata publik.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena idealisme seorang Amin Rais tentang sebuah ”Indonesia yang mandiri dan bermartabat” tak mampu ditularkan ke sejumlah kader PAN. Kalaupun ada, kader PAN yang mengikuti arah perjuangan Amin Rais hanya sedikit jumlahnya. Tak mampu mengalahkan dominasi kaum demagog yang bercokol dalam tubuh PAN. Kaum demagog adalah orang-orang (politisi, penegak hukum, aktivis yang menjual isu demokrasi untuk kepentingannya sendiri). Kaum demagog ini mengkhianati idealisme dan konsistensi perjuangan PAN.
Kaum demagog dalam tubuh PAN, maupun dalam partai-partai lainnya selama ini menjadi penghambat pewacanaan arus utama demokrasi dalam sistem politik nasional. Penghambaan terhadap materi dan kekuasaan, konflik dalam drama perebutan kekuasaan yang ditampilkan oleh elit selama ini yang telah menjadi racun dan benalu yang menghancurkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia.
Akhirnya kondisi ini mengakibatkan sistem kaderisasi dan pola regenerasi kepemimpinan dalam tubuh PAN pasca mundurnya HM Amin Rais mengalami degradasi. Figur-figur yang naik dan tampil di publik hanya menyontek karakter politik konvensional. Tidak mampu bersaing dengan figur dari partai lain. Konsekuensi ini secara otomatis akan mempertanyakan eksistensi PAN mengawal agenda reformasi sebelum perhelatan Pemilu 2014. Dengan sang nakhoda baru, dilema PAN untuk tetap memperlihatkan diirinya sebagai parta reformis mengalami kegamangan.
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas dan PusHAM Unhas
Kongres Partai Amanat Nasional yang berlangsung di Batam selama tiga hari akhirnya secara aklamasi mendaulat Hatta Radjasa sebagai Ketua Umum. Menariknya, terpilihnya Hatta Radjasa didahului dengan pengunduran diri Drajad Wibowo yang sebelumnya diprediksi menjadi pesaing kuat Hatta. Jadilah Kongres PAN menjadi pengakuan sepihak atas eksistensi seorang Hatta. Sebuah drama politik minus substansi demokrasi yang dipertontonkan oleh partai yang besar dari rahim reformasi dan mengklaim diri sebagai partai reformis.
Sebagai ‘partai reformis’ yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 1998, tidak lama setelah jatuhnya era despotisme Orba Soeharto, PAN yang didirikan oleh sejumlah tokoh dari sejumlah aktivis LSM, Majelis Amanah Rakyat (WARA) dan beberapa tokoh nasional seperti M Amien Rais, Goenawan Moehammad, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Herawaty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, PAN mengusung idealisme melalui cita-cita yang dicanangkannya yaitu berakar pada moral agama, kemanusiaan, kemajemukan, nonsektarian dan nondiskriminatif. Sejarah pendirian dengan segenap cita-citanya itu secara terus-menerus merupakan spirit yang mendasari eksistensi PAN.
Idealisme yang Tersisa
Naiknya Hatta Radjasa sebagai Ketum PAN menyisakan idealisme yang tersisa dari sang proklamator, HM Amien Rais. Sudah pasti, konsekuensi politik dari naiknya Hatta akan secara radikal mengubah garis perjuangan partai yang mengklaim dirinya sebagai partai reformis. Hatta yang notabene adalah orang dekat SBY dan berkoalisi dengan kabinet SBY-Boediono sudah pasti tidak akan mengambil sikap oposisi, namun akan total dan loyal menyokong pemerintah, sekalipuan harus berseberangan dengan garis konstitusi. Para pendukung PAN pun, yang reformis dan selama ini konsisten menjaga poros poros politik Amin Rais, akhirnya menjadi pesimis dengan visi garis perjuangan PAN, mengawal agenda reformasi yang tersisa.
Apa yang bisa dibaca dari garis politik atau haluan PAN pasca naiknya Hatta? Bahwa selain akan mengubah garis perjuangan PAN, Hatta juga akan lebih condong memakai tenaga orang-orang yang selama ini sekubu dengannya dan menyingkirkan kader yang berseberangan dengannya. Politik adalah pertentangan antara like and dislike. Praktek ”buang membuang’, dan penyingkiran sejumlah kader hanya karena berseberangan sikap politik adalah fenomena biasa yang terjadi dalam sebuah partai. Apalagi dalam partai besar seperti PAN. Sikap politik dan loyalitas kedalam kabinet SBY-Boediono akan memudahkan kader-kader PAN yang haus kekuasaan untuk berlomba mencari muka sekedar untuk memburu dan mendapatkan jabatan. Kata reformasi dan idealisme partai kemungkinan besar hanya akan menjadi sejarah usang dalam buku politik PAN.
Selanjutnya, sejumlah kader yang masih menyisakan idealismenya akan mengalami kegamangan; apakah akan tetap bertahan dalam partai dengan konsekuensi diacuhkan, memutuskan keluar dari partai dan bergabung dengan partai lain dan menyandang status sebagai ’kader buangan”, atau bahkan mendirikan partai baru yang bisa melanjutkan perjuangan idealisme mereka. Sebagaimana PKB, PDK-PDIP, NU-PKNU atau GOLKAR-HANURA. Dalam situasi ini, peran dan ketokohan seorang Amin Rais sebagai begawan PAN yang selama pemerintahan SBY-JK selalu konsisten tampil sebagai oposisi, mengkritisi setiap kebijakan pemerintah akan diuji dan dipertaruhkan. Apakah mampu menyelamatkan idealisme yang dipertahankan selama bertahun-tahun atau bahkan menangis melihat ”kehancuran” PAN.
Sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, selama sebelas tahun berkiprah, PAN tidak konsisten menunjukan identitas sebagai partai reformis dan idealis. Kultur politik yang berwatak oportunistis dan pragmatis, menghalangi cita-cita dan idealisme dari para pemrakarsa PAN, utamanya HM Amin Rais yang menginginkan PAN konsisten dalam garis ’oposisi’. Tak satupun tokoh selain Amin Rais yang mampu ditonjolkan dan laku ’dijual’ ke publik untuk mendapatkan kepercayaan. Amin Rais pun yang mewakili simbol sebagai salah satu tokoh reformis, juga tidak mampu menarik dukungan publik secara maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari Pemilu Presiden 2004 lalu, ketokohan seorang Amin Rais yang berpasangan dengan Siswono, tak mampu membeli suara publik yang menjatuhkan pilihannya pada SBY-JK. Pasangan Amin Rais-Siswono pun akhirnya hanya menduduki nomor buncit dalam perolehan suara. ”Tragedi” ini berulang pada Pilpres 2009 lalu, PAN kalah bersaing dengan partai-partai besar lainnya dalam menjual calon presidennya. Soetrisno Bachrir yang seyogyanya diharapkan mampu bersaing dalam perebutan kursi RI I akhirnya hanya mampu menjadi penonton karena ketokohannya tak laku di mata publik.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena idealisme seorang Amin Rais tentang sebuah ”Indonesia yang mandiri dan bermartabat” tak mampu ditularkan ke sejumlah kader PAN. Kalaupun ada, kader PAN yang mengikuti arah perjuangan Amin Rais hanya sedikit jumlahnya. Tak mampu mengalahkan dominasi kaum demagog yang bercokol dalam tubuh PAN. Kaum demagog adalah orang-orang (politisi, penegak hukum, aktivis yang menjual isu demokrasi untuk kepentingannya sendiri). Kaum demagog ini mengkhianati idealisme dan konsistensi perjuangan PAN.
Kaum demagog dalam tubuh PAN, maupun dalam partai-partai lainnya selama ini menjadi penghambat pewacanaan arus utama demokrasi dalam sistem politik nasional. Penghambaan terhadap materi dan kekuasaan, konflik dalam drama perebutan kekuasaan yang ditampilkan oleh elit selama ini yang telah menjadi racun dan benalu yang menghancurkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia.
Akhirnya kondisi ini mengakibatkan sistem kaderisasi dan pola regenerasi kepemimpinan dalam tubuh PAN pasca mundurnya HM Amin Rais mengalami degradasi. Figur-figur yang naik dan tampil di publik hanya menyontek karakter politik konvensional. Tidak mampu bersaing dengan figur dari partai lain. Konsekuensi ini secara otomatis akan mempertanyakan eksistensi PAN mengawal agenda reformasi sebelum perhelatan Pemilu 2014. Dengan sang nakhoda baru, dilema PAN untuk tetap memperlihatkan diirinya sebagai parta reformis mengalami kegamangan.
Langganan:
Postingan (Atom)