Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Rabu, 31 Maret 2010

“Nyanyian” Susno dan Tantangan Satgas Mafia Hukum



Koran FAJAR, Senin 29 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Dan Institute Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta

Ujian terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia seolah tak ada habisnya. Belum usai kasus hukum skandal bailout Century, dunia hukum di Negara kita kembali geger dengan kasus Komjenpol Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri yang berseteru dengan Mabes Polri dalam perkara penggelapan pajak oleh oknum pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan yang disinyalir melibatkan dua petinggi Mabes Polri.
Seolah mengulang drama Cicak vs Buaya beberapa waktu lalu, “nyanyian” Susno ini telah membuat “perang terbuka” antara Susno dan Mabes Polri, institusi tempatnya meniti karir kepolisian selama ini. Ibarat pertarungan antara David vs Goliath, Susno berani menyuarakan fakta yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran yang sudah seharusnya disuarakan. Sekalipun harus melawan atasan dan pertaruhan status sebagai seorang Jenderal Bintang Tiga Mabes Polri.
Dikemudian hari, kontroversi Susno ini memunculkan pro-kontra. Oleh Mabes Polri, tuduhan Susno ini dinilai sebagai pelecehan terhadap institusi Polri, melanggar kode etik, pencemaran nama baik terhadap dua Jenderal, serta pelanggaran terhadap peraturan internal Polri lainnya. Sehingga Susno disudutkan, bahkan kemudian di-tersangka-kan. Namun kemudian, konsistensi Susno dalam melakukan perlawanan membuat ritme opini menjadi simpatik, dengan publik sebagai “hakim”nya. Dengan memakai logika suara mayoritas lebih mendekati kebenaran ketimbang pembelaan yang dilayangkan oleh Mabes Polri. Siapa sebenarnya “tersangka”; Susno atau Mabes Polri? Karena publik menilai apa yang dilakukan oleh Susno merupakan “jihad” amar ma’ruf nahi mungkar, sebagai seorang muslim, terlepas dari status Susno sebagai seorang Jenderal Bintang Tiga.



Siapa Berani?
Siapa berani? Pertanyaan ini kemudian lahir. Apakah Polri, KPK atau Satgas Mafia Hukum yang berani mengambil kasus ini. Kasus Susno Duadji dan Gayus Tambunan bukan kasus hukum “kelas teri”, tetapi kasus “kelas kakap” yang penanganannya membutuhkan konsentrasi dan keberanian ekstra. Memang untuk sementara, alur kasus ini masih menjadi otoritas Mabes Polri yang memeriksa Susno dengan beragam tuduhan pelanggaran internal. Tapi (jika) seandainya kasus ini kemudian melebar, dengan fakta-fakta yang mendukung keterangan Susno. beranikah KPK atau Satgas Mafia Hukum menanganinya? Karena dimata publik, Mabes Polri sudah menjadi “tersangka”
Irama kasus ini menjadi menarik karena dalam keterangannya, Susno telah menyebut inisial pihak yang diduga melibatkan diri dalam dugaan penggelapan pajak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, pihak yang disebut itu adalah orang dalam Mabes Polri sendiri bersama Gayus Tambunan. Sebuah keberanian yang amat jarang dimiliki oleh penegak hukum lainnya sekelas Susno.
Kasusnya menjadi semakin seru karena pihak yang kemudian “ditersangkakan” adalah Susno, yang notabene adalah orang dalam Mabes Polri. Yang di-tersangka-kan pun bukan masyarakat biasa, namun seorang Jenderal Bintang Tiga yang masih punya pengaruh cukup kuat di Mabes. Sekali lagi pertanyaannya, siapa yang berani mengambil kasus Susno Duadji?
Dengan tetap menghormati asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah), kita memang tidak boleh menuduh seseorang telah melakukan perbuatan pidana sebelum pengadilan membuktikannya. Tapi dalam kasus ini, atas dasar (kepentingan) apa Susno berbohong? Dengan perjalanan yang sudah semakin jauh, berliku dan terjal, ketika publik sudah bisa mengukur kredebilitas Polri, mungkinkah Susno akan menyerah dan mengatakan dirinya berbohong?

Menanti Gebrakan Satgas Mafia Hukum
Ketika kasus ini bergulir, ketika KPK masih disibukan dengan kasus Century, Satgas Mafia Hukum telah bekerja duluan dengan mengumpulkan bukti awal. Seolah tidak ingin dipandang sebagai “pemain kelas dua” dengan status sebagai “anak bawang”, Satgas unjuk gigi dan menampilkan diri sebagai lembaga yang bisa dipercaya dengan bekerja mengumpulkan data dari pihak-pihak terkait, termasuk Susno.
Dengan tetap mengusung optimisme, kita semua berharap agar Satgas mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun demikian, sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, tetap saja ada beberapa point penting menyertai perjalanan Satgas Mafia Hukum. Keterlibatannya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Menarik karena dari sekian banyak lembaga penegak hukum yang dibentuk (Polri, Kejaksaan, KPK), Satgas Mafia Hukum adalah lembaga yang terakhir dibentuk. Itupun dengan kewenangan yang tumpul. Lembaga dengan model serupa pernah ada pada tahun 2004 yaitu Tim Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi (Timtastipikor) melalui keppres No 59 Tahun 2004 yang kemudian dibubarkan oleh Presiden beberapa waktu kemudian.
Pertama, banyak orang meragukan kemampuan Satgas dalam mengawali perang terbuka dengan para mafia hukum di Indonesia. Karena secara kelembagaan, Satgas tidak cukup senjata mematikan untuk melumpuhkan para mafia hukum. Satgas tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat karena dibentuk hanya dengan Keppres yang notabene merupakan hak prerogatif presiden, yang juga sewaktu-waktu bisa dicabut oleh presiden jika dianggap mengganggu tugas-tugas eksekutif.
Pembentuannya tidak seperti lembaga penegak hukum lainnya (Polri, KPK dan Kejaksaan) melalui undang-undang yang merupakan kompromi politik antara DPR dan Presiden, sehingga posisi Satgas tidak cukup memiliki kekuatan (power) dan posisi tawar (bargaining position) yang kuat untuk bisa melakukan penekanan. Oleh karenanya, seperti halnya rekomendasi Tim 9 bentukan Presiden dalam perkara kriminalisasi KPK beberapa waktu lalu tidak dilaksanakan oleh Presiden, bisa ditebak jika hasil penyelidikan Satgas nantinya hanya bersifat rekomendasi biasa sehingga bisa dengan mudah diacuhkan Presiden.
Kedua, sebagaimana nasib Tim 9 yang kemudian dibubarkan Presiden karena dianggap terlampau berani mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Kapolri dan Ketua Jaksa Agung sehingga dinilai sudah memasuki ranah kekuasaan Presiden, maka tidak menutup kemungkinan nasib Satgas akan sama dengan dengan Tim 9 jika rekomendasi yang dihasilkan nantinya “sama galaknya” dengan rekomendasi Tim 9 beberapa waktu lalu. Dengan status sebagai lembaga “nomor dua” atau bahkan “anak bawang” dalam “permainan” penegakan hukum di Indonesia bersama Polri, Kejaksaan dan KPK membuat kredebilitas Satgas Mafia Hukum dipandang lemah oleh masyarakat.
Oleh karenanya, agar tidak dipandang sebagai “anak bawang”, tidak ada cara yang ditunjukan Satgas Mafia Hukum selain bekerja secara maksimal dan berani mengungkap kebenaran yang terselubung sekalipun harus berseberangan dengan penguasa sehingga publik menganggap Satgas mampu mewakili aspirasi mereka yang mendambakan Indonesia yang bermartabat dan bersih dari para mafia hukum. Semoga.

Dari Reformasi ke Revitalisasi: Upaya Mengembalikan Wibawa Hukum


Koran FAJAR, 17 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas

Sebelas tahun sudah kita lalui dalam upaya rekonstruksi untuk memurnikan idealisme hukum kita dari virus Orba. Rekonstruksi paradigma hukum pasca reformasi ’98 yang dimulai dari amandemen pertama UUD 1945 pada 1999 silam adalah upaya awal bagaimana sistem hukum kita lebih demokratis. Beragam konsep telah dijalankan. Dari sentralisasi ke desentralisasi. Dari otoritarian ke demokratisasi, liberalisasi politik menjadi wacana yang lantang disuarakan. Pada titik ini kemudian, paham konstitusionalisme modern ini mulai dikembangkan di Indonesia. Konstitusi yang menekankan supremasi hukum diatas segalanya.
Dalam konstruksi hukum di Indonesia, konstitusi menjadi pintu masuk bagi penerapan hukum tersebut. Konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 secara tertulis telah memberi rule bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan Negara itu harus selalu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok. Karena konstitusi dibuat atas dasar kepentingan umum, bukan pribadi atau kelompok.
Namun apa yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2009-2010) sungguh jauh panggang dari api. Idealisme konstitusi di indonesia diuji dengan berbagai masalah. Mulai dari kasus Prita, KPK, hingga Century yang telah memunculkan demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana sejatinya telah memberi sinyal kuning bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi “macet” karena seluruh energi terfokus pada satu isu yang juga sebenarnya menguntungkan pihak lain secara politis. Mulai dari obrolan warung kopi, lesehan pinggir jalan hingga lobi hotel bintang lima mengupas topik Century sebagai menu utama.
Dalam sudut pandang yang plural, masyarakat kemudian menilai dan mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, yang tidak sedikit diantaranya menghakimi hukum sehingga hukum menjadi pesakitan dan ‘diadili’. Para sarjana hukum, mulai yang bergelar S1 hingga guru besar. Mulai yang bergelar “pengangguran” hingga yang sudah menduduki jabatan selalu ditanya oleh masyarakat awam, kenapa hal itu bisa terjadi?
Benarkah hukum kita sejahat itu? Jika jawabannya adalah TIDAK, maka bagaimana (kita sebagai pelaku hukum) menjelaskan pada masyarakat atas beragam kasus diatas. Akankah kita membohongi masyarakat dengan mengatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia baik-baik saja, berada dalam kondisi fit alias tidak terkena penyakit “muntaber” sementara dalam kenyatannya hukum di Negara kita (memang) lagi terserang penyakit muntaber sehingga sering “mencret”?
Kemudian, kalaupun kita (secara ksatria) mengatakan YA, sudahkah kita melakukan instropeksi atas apa yang telah terjadi? Instropeksi secara personal dengan melakukan revitalisasi moral untuk menjadi penegak hukum yang berintegritas dan kredibel, kemudian dilanjutkan dengan revitalisasi secara struktural-kelembagaan dengan melakukan reformasi institusi, merekrut yang bersih dan membuang yang kotor dan “bervirus”. Kemudian setelah itu, ramuan apa yang akan digunakan untuk mengobati penyakit “muntaber” dunia hukum kita saat ini agar tidak terjadi lagi selanjutnya?

Keniscayaan Konsep Revitalisasi
Ketika mendiskusikan problematika masalah hukum di Indonesia, banyak orang menyodorkan konsep reformasi. Ada yang menggagas reformasi total, ada pula usulan konsep reformasi setengah-setengah. Pertanyaan yang lahir kemudian. Apakah selamanya solusi atas keterpurukan hukum adalah dengan mewacanakan REFORMASI? Benarkah reformasi menjadi kartu As solusi atas keterpurukan hukum di Indonesia? Jika jawabannya adalah YA, mengapa 11 tahun perjalanan reformasi pasca ’98, keterpurukan hukum kita masih terlihat. Lantas apa masalahnya? Mungkinkah reformasi dikambinghitamkan atas masalah-masalah hukum yang terjadi akhir-akhir ini?
Saya pikir sangat tidak bijaksana jika reformasi dikambinghitamkan atas masalah hukum yang terjadi saat ini. Reformasi bukan tujuan. Ia hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan kenegaraan yang lebih baik sebagai tujuan utama. Secara ksatria kita harus mengapresiasi upaya dari tokoh yang berhasil melahirkan reformasi. Karena jika tidak, maka sampai saat ini kita masih hidup di zaman jahiliyah Orba.
Menjawab masalah atas keterpurukan hukum di Indonesia tidak hanya mengandalkan hukum secara normatif, yang terkadang juga sering dilanggar oleh pelaku hukum itu sendiri. Kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan aparat penegak hukum adalah masalah moral dan persoalan rekrutmen personal yang nepotis. Bukan karena kita kekurangan pasal untuk menjerat pelaku korupsi maupun menekan praktek korupsi. Berarti solusinya lebih pada revitalisasi moral dan sistem. Merekonstruksi ulang bangunan sistem hukum kita harus menekankan pada pembentukan moral dan mental aparat hukum yang berintegritas. Jadi konsep menjadi bergeser dari reformasi ke revitalisasi.
Empat komponen utama dalam sistem penegakan hukum; hakim, polisi, jaksa dan pengacara adalah pemegang kartu As berhasil atau gagalnya upaya penegakan hukum di Indonesia. Kenapa? Karena keempat komponen ini adalah pemain utama dunia hukum. Mereka adalah pendekar-pendekar hukum yang harus bekerja bersama, bahu membahu dalam upaya penegakan hukum.
Berarti revitalisasi dimulai dari keempat komponen ini. Kenapa? Karena disitulah awalnya. Awal dari keberhasilan penegakan hukum mulai dilaksanakan. Juga sekaligus awal kehancuran sistem hukum jika kendali hukum dipegang oleh penguasa lalim yang tidak berperikemanusiaan.