Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Sabtu, 15 Agustus 2009

BHP; Dosa Sosial Negara (BHP adalah wujud baru kolonialisme lokal)

Wiwin Suwandi
Mantan Ketua dan Dewan Pers Lembaga Pers Mahasiswa Hukum (LPMH) Fak Hukum Unhas, Makassar

Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul ge­lombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Namun tulisan ini hanya mengulas sekilas mengenai gelombang ekonomi dunia dalam hubungannya dengan privatisasi dan komersialisasi aset-aset negara di beberapa negara di dunia, termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satunya dalam proyek swastanisasi pendidikan melalui BHP di Indonesia. (Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me­ngenai gelombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington “Will More Countries Become Democratic?” (1984).
Pada tahun 1970-an, gelombang perubahan di bidang ekonomi berlangsung sangat cepat. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara inter­ven­sionist di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis.

Antara Welfare State vs Nach­wach­taersstaat
Dalam hal ini, terjadi dua kubu perdebatan yang sangat sengit saat itu; antara kaum kapitalisme-liberal yang menganut paham nach­wach­taersstaat vs sosialis-marxist yang menganut paham welfare state. Para penganut paham kapitalisme-liberal yang mengkonsumsi teori Adam Smith menghendaki pembatasan atau pengurangan kekuasaan, peran dan campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi warganya. Mereka menganjurkan agar perputaran ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar. Negara hanya sebagai pengawas dan sekedar berfungsi sebagai penjaga malam saja (nach­wach­taersstaat). Para penganut paham ini beralasan bahwa keadilan ekonomi hanya akan terjadi jika perputaran roda ekonomi bukan menjadi tanggungjawab negara tetapi diserahkan kepada mekanisme pasar.
Sementara para penganut sosialisme lebih menghendaki campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi warganya dengan regulasi yang ketat dan terkontrol. Kaum sosialisme khawatir jika persoalan ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, akan menimbulkan resiko kompetisi yang tidak sehat, monopoli dan praktek bisnis hitam. Terjadi sentralisasi dan polarisasi penguasaan aset-aset ekonomi ke tangan pelaku bisnis raksasa yang kemudian bisa mendikte dan ‘mengendalikan negara’. Kaum sosialis mengkritik cara pandang kaum liberal-kapitalis tentang resiko free market yang tidak dikendalikan melalui regulasi yang ketat oleh negara akan mengakibatkan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi antara kelas-kelas sosial dalam sebuah negara dan antar negara-negara di dunia. Dalam paham negara kesejahteraan (welfare state), negara memiliki tanggungjawab sosial untuk mengurusi ‘kaum tidak berpunya’. Selain negara juga dituntut untuk mengendalikan perputaran dan kepemilikan akses-akses ekonomi seadil-adilnya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih sosial. Tidak sekedar berfungsi sebagai negara penjaga malam sebagaimana doktrin kaum liberal-kapitalis.
Namun pada akhirnya, sebagaimana kasus perang dingin (PD II) perang ideologi ini akhirnya dimenangkan oleh kaum kapitalisme-liberal atas kaum sosialis. Karena sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi besar-besaran di Ing­gris, di Perancis, di Jerman, di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese­jah­teraan (welfare state) yang sebelumnya meng­ideal­kan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un­tuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Beberapa orientasi liberalisasi ekonomi ini juga pada akhirnya mengarah pada dunia pendidikan. Settingan pasar bebas yang ’menjebak’ negara dengan memasukan pendidikan sebagai sasaran privatisasi akhirnya juga berimbas ke beberapa negara berkembang. Dengan alasan menutupi devisit APBN dan menggenjot pertumbuhan ekonomi negara, maka beberapa aset negara yang sebenarnya ’haram’ untuk diprivatisasi, akhirnya juga terkena proyek privatisasi tersebut.
Pendidikan diangap sebagai ladang strategis proyek privatisasi Termasuk Indonesia dengan menggolkan proyek otonomi kampus melalui UU Badan Hukum Pendidikan. Jika dilihat dari sejarahnya, praktek otonomi kampus di Indonesia bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kemudian diperkuat dengan UU No tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencantumkan BHP pada pasal 53. Praktek otonomi kampus yang pada mulanya berbentuk BHMN ini lahir dari PP nomor 60 dan 61 tahun 1999 yang di uji coba di 4 universitas tertinggi di Indonesia yaitu UI, UGM, IPB, dan ITB mulai tahun 2000 kemudian disusul oleh dua universitas lainnya pada tahun 2004 yaitu UPI dan USU.
Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan pra kondisi menuju BHP.
Pada awalnya, BHP menjadi polemik cukup serius ketika baru sebagai rancangan. Demonstrasi yang menuntut pembatalan pengesahan RUU menjadi UU BHP itu marak terjadi di Indonesia. Utamanya dilakukan oleh mahasiswa. Alasan nyata yang disuarakan oleh penentang BHP adalah bahwa negara telah terjebak skenario pasar bebas yang mengincar dunia pendidikan sebagai sasaran bisnis baru. Beberapa aset-aset ekonomi strategis lain selain pendidikan telah jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan raksasa asing atau dalam bahasa ekonominya Multinational Corporation’s (MNCs). Dan pendidikan menjadi target berikutnya. Oleh karenanya, setelah pemberlakukan RUU menjadi UU BHP oleh DPR pada bulan Desember lalu, maka upaya hukum yang bisa dilakukan masyarakat untuk menuntut pembatalan UU BHP ini adalah melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Rahim BHP secara yuridis tertulis didalam Pasal 53 UU N0 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Salah satu ayat dalam Pasal 53 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur keterlibatan warga masyarakat dalam hal pengelolaan keuangan dalam mekanisme BHP. Kemudian lebih rinci dalam UU BHP, aturan ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini berdasar pada pasal 4 ayat 2 dalam undang-undang tersebut tersebut yang berbunyi: “salah satu prinsip dari pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mendiri dalam bidang akademik maupun non akademik.”
Ini berarti dalam BHP, setiap penyelenggara satuan pendidikan, baik formal maupun non formal, baik dari tingkat dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi diberi keleluasaan dalam hal kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Satuan pendidikan bebas melakukan kebijakan secara mendiri membentuk otonomi yang diinginkan dan melibatkan masyarakat sesuai dengan pasal 53 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai batas keterlibatan masyarakat ataupun kalangan masyarakat seperti apa yang dapat terlibat dalam pendidikan dalam UU BHP tersebut. Hal ini yang dikhawatirkan menimbulkan interpretasi ganda terhadap keterlibatan pengusaha (baca: investior) yang ingin berinvestasi dalam dunia pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Sekaligus mereduksi tanggungjawab negara.

Membuka Peluang Korupsi
Berbeda dengan BHMN yang masih menggunakan kata NEGARA dalam redaksinya. Maka dalam BHP, peran negara betul-betul telah direduksi secara sistematis. Walaupun ada salah satu pasal dalam UU BHP yang mengatur kewajiban negara mendanai 50% untuk biaya operasional dalam PT tersebut, namun hal ini masih disangsikan. Mengingat dalam redaksi konstitusi saja telah ditegaskan negara wajib menjamin anggaran 20 persen untuk biaya pendidikan di Indonesia, tetapi nyatanya tidak pernah terealisasi. Oleh karena itu dalam BHP, PT seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan.
Hal lain yang juga dikhawatirkan jika penyelenggaraan satuan pendidikan melalui mekanisme BHP adalah terbukanya peluang korupsi secara sistematis. Tentunya kita masih ingat dengan berita tentang dugaan korupsi di beberapa PTN yang dimuat koran nasional dan lokal beberapa waktu lalu. Menurut keyakinan penulis, ibarat durian, bau korupsi itu sebenarnya sudah tercium namun langkah hukum untuk menyelesaikannya terkendala prosedur acara. Disamping ada konspirasi politik yang medelegitimasi independensi hukum.
Oleh karenanya, jika pada saat belum BHP saja yang pengelolaan keuangan masih diawasi oleh pemerintah pusat, praktek korupsi itu sudah terjadi, bagaimana jika pengelolaan keuangan itu dikerjakan secara mandiri (baca: otonomi)? Karena ketika dulu sistem pelaporan keuangan masih secara hierarkis (struktural), maka pada BHP, pengelolaan termasuk pelaporan keuangan tersebut dilakukan secara internal yang membuka peluang konspirasi (baca: kongkalikong) terjadinya praktek korupsi yang dilakukan pejabat PT. Dan ini bisa saja terjadi karena pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pengelolaan keuangan selain yang 50 persen tersebut (50 persen sisanya dilaporkan kemana?).


Perjanjian Investasi; Berpotensi Rugikan PT
Hal lain yang juga patut kita cermati dalam UU BHP adalah keterlibatan modal asing atau investasi diluar subsidi pemerintah yang akan menopang penyelenggaraan satuan pendidikan tersebut. Pengaturan tentang ini juga terdapat dalam PP No 77 Tahun 2007 tentang keterlibatan modal asing dalam pendidikan. Alasan ‘sakral’ pemerintah menggolkan proyek BHP tersebut adalah agar masyarakat bisa membantu menangani biaya operasional. Salah satu komponen masyarakat disini dalam bahasa ekonominya bisa ditafsirkan pengusaha atau investor yang memiliki modal. Disamping alasan lain bahwa negara tidak memiliki cukup modal untuk membiayai keseluruhan anggaran pendidikan, maka perlibatan modal asing dan modal investasi dimungkinkan (walaupun alasan ini sudah terbantahkan dengan fakta banyaknya sumber-sumber ekonomi lain yang bisa dialokasikan untuk membantu biaya pendidikan).
Oleh karena itu, kita bisa mengkaji persoalan ini secara lebih obyektif. Dalam hukum perjanjian, syarat dasar timbulnya perjanjian adalah bermula dari adanya itikad baik oleh kedua belah pihak untuk saling bekerjasama, sebab yang halal, dan saling menguntungkan (dalam arti tidak ada kecurangan didalamnya). Nah, karena PT membutuhkan modal untuk membantu pembiayaan sektor pendidikan (diluar subsidi negara), maka PT tersebut akan mengadakan kerjasama bantuan modal pendidikan dengan beberapa perusahaan (asing atau lokal).
Disinilah potensi konflik itu kemudian muncul. Selama ini tanggapan balik (kalau tidak dibilang upaya penyelamatan) yang sering dilontarkan oleh para perumus UU BHP maupun yang pro terhadap UU BHP adalah hanya melihat dari sudut pandang positif perjanjiannya saja, bahwa perjanjian akan membawa keuntungan kedua belah pihak. Bagaimana jika kita membalik paradigmanya kearah negatif thingkingnya. Bagaimana jika dalam proses berjalannya perjanjian tersebut, pihak PT melakukan ingkar janji (bahasa hukumnya; wanprestasi) yang resikonya bisa menimbulkan kerugian bagi mitra dalam perjanjian itu. Maka dalam resiko perjanjian, pihak yang tidak melaksanakan kewajiban harus membayar denda atas kelalaian hukum yang diakibatkan olehnya.
Jika ini terjadi, maka pihak PT akan membayar kerugian tersebut dengan mengambil alokasi 50 persen yang berasal dari bantuan pemerintah. Jika itu tidak cukup, maka PT akan menempuh kebijakan klasik, menaikan SPP mahasiswa untuk menutupi defisit anggaran pendidikan sebagai konsekuensi logis dari praktek otonomi tersebut.
Pertanyaan lainnya adalah bagaimana jika dalam perjanjian tersebut, salah satu pihak (taruhlah PT atau mitra perusahaan) memiliki itikad buruk? Yang dimaksud disini adalah, karena dikampus terdapat ilmuwan dan peneliti-peneliti yang jasanya bisa dipakai dan dibeli dengan uang untuk kepentingan perusahaan, maka tidak menutup kemungkinan, kecerdasan intelektual itu diselewengkan untuk kepentingan perusahaan yang tidak pro rakyat. Banyak kasus yang menyebutkan fenomena pelacuran intelektual yang memback-up proyek-proyek hitam pemerintah maupun perusahaan-perusahaan lintah. Jika hal ini terjadi maka pihak PT akan dimintai pertanggungjawaban dan memikul dosa sosial yang teramat berat dikemudian hari. Kampus yang seyogyanya menjadi mitra masyarakat dengan penemuan-penemuan ilmiahnya yang membantu meringankan beban masyarakat terjebak pada godaan shyahwat materi dan melacurkan intelektualnya.
Oleh karenanya, semakin jelas potensi kerugian itu terjadi jika melalui penerapan BHP dibandingkan jika penyelenggaraan pendidikan masih menjadi tanggungjawab pemerintah. Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pendidikan bertujuan untuk mencerahkan, membebaskan dari perbudakan, bukan untuk membodohkan, menciptakan kolonialisme lokal Dan BHP adalah bentuk baru dari kolonialisme lokal itu. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu ayat dalam al-qur’an yang kurang lebih isinya berbunyi”bersekutulah kamu dalam amal kebaikan dan jangan bersekutu dalam kejahatan”. Bagi para perumus dan pihak yang pro BHP, BHP adalah sistem setan yang tidak harus diterapkan.

Tulisan ini dimuat di Jurnal Eksepsi, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Fakultas Hukum Unhas..