Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 10 Mei 2010

“Memaafkan” Sri Mulyani, Bergesernya Teori Rule of Law


Koran FAJAR Makassar, Senin 10 Mei 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konsitusi
pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas

Tampaknya konstitusi kita yang mengatakan bawa Negara kita adalah Negara hukum (rechstaat), harus dirubah sebagai negara kekuasaan (machstaat). Doktrin rule of law yang (secara teori) kita anut telah bergeser menjadi rule of polithic dengan begitu dominannya kekuatan politik yang mengendalikan independensi hukum.
Para pihak yang selama ini ngotot menginginkan agar Sri Mulyani dan Boediono diproses secara hukum karena dinilai sebagai pihak yang dianggap paling bertanggungjawab dalam kisruh skandal bailout Century beberapa waktu lalu tampaknya harus siap gigit jari. Sebagaimana laporan media, bahwa Sri Mulyani telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan kepada SBY karena diminta oleh Bank Dunia (World Bank) untuk menjadi salah satu Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Keputusan pengunduran diri ini jelas menguntungkan Sri Mulyani secara politis. Karena untuk sementara bisa aman dari kejaran tuntutan hukum penyelesaian kasus Century yang melibatkannya. SBY telah membuka “jalan pintas” untuk selamat dari tuntutan hukum kepada Sri Mulyani. Sementara pada sisi yang lain, sikap SBY menerima pengunduran diri Sri Mulyani dianggap menguatkan posisi diplomasi keuangan Indonesia yang ingin mengamankan kepentingannya dengan Bank Dunia dengan menempatkan Sri Muyani sebagai salah satu pejabat penting Bank Dunia.

Rule of Law yang Hilang
Jika benar teori pengamat bahwa politik determinan atas hukum (determinan-dominan, bisa juga dikatakan mengendalikan), maka teori tersebut benar adanya jika melihat bagaimana negara memberikan “pengampunan” kepada Sri Mulyani, sosok yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap kebijakan bailout Century lalu bersama Boediono. Teori politik determinan hukum dalam kasus Sri Mulyani membuktikan bergesernya konsep rule of law “ala Indonesia’, bukan sebagai sebagai Negara hukum (rechstaat) namun kembali menjadi negara kekuasaan (machstaat) sebagaimana yang pernah terjadi pada rezim Orba dulu.
Salah satu tujuan hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial, sebagaimana teori R. Pound. Dalam pandangan sosiologi hukum, fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini dimaksudkan agar tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, dengan tidak melanggar norma-norma hukum. Namun demikian, akhir-akhir ini, fungsi ini cenderung disalahgunakan menjadi hukum sebagai “alat rekayasa kepentingan”. Dengan mengutamakan kepentingan politik minus substansi diatas kepentingan hukum dan nilai-nilai keadilan.
Rule of law kita adalah rule of law yang hilang atau disembunyikan. Kenapa? Karena sejatinya rule of law dimunculkan dalam setiap tindakan, bukan malah disembunyikan, atau mungkin “sengaja” dihilangkan. Ketika rezim Orba, konsep rule of law dihilangkan dengan tampilnya politik sebagai kekuatan dominan, mengikis independensi hukum. Kekuasaan Negara hanya berada dibawah kendali satu tangan.
Kini setelah reformasi ’98, roh rule of law itu coba dimunculkan kembali melalui empat tahap Perubahan UUD 1945 (1999-2002). Namun ibarat bayi, rule of law melalui supremasi hukum itu masih berjalan tertatih-tatih. Diterpa banyak tantangan dan hambatan. Hambatan untuk mewujudkan rule of law ini semakin terasa ketika negara tunduk dibawah intervensi politik dan mengamputasi independensi hukum.

Politik Impunity dan Matinya Rule of Law
Semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai Negara hukum hendaknya menjadikan hukum sebagai ujung tombak proses pencarian keadilan. Bukan menggunakannya untuk melegitimasi kekuasaan yang meyimpang. Prinsip rule of law diutamakan. Karena jika hukum hanya digunakan untuk “mengamini ceramah” penguasa, maka Negara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Negara hukum (rechstaat), namun Negara kekuasaan (machstaat). Siapapun yang melanggar hukum, maka prinsip equality before the law diprioritaskan.
Sejak awal, skandal Century telah memunculkan dua kubu berseberangan diantara para ekonom. Antara yang pro dan kontra dilandasi argumentasi pembenaran masing-masing terhadap kebijakan bailout tersebut. Pertentangan tersebut telah melahirkan kebingungan ditengah-tengah masyarakat dan kisruh politik nasional.
Kini, masalah tersebut berlanjut. Bagi pihak yang selama ini kontra terhadap kebijakan bailout dan mendukung penyelesaian proses hukum terhadap Sri Mulyani dan Boediono, menilai keputusan SBY menerima pengunduran diri tersebut sebagai langkah mundur penegakan hukum, utamanya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, seorang Presiden seyogyanya mendukung upaya penegakan hukum dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan prinsip equality before the law. Bukan malah memberikan “pengampunan” terhadap pelanggar hukum. Langkah tersebut seolah memberikan lampu hijau bagi lahirnya politik impunitas terhadap seorang pejabat yang perah terjadi selama rezim Orba berkuasa.
Sementara yang pro kebijakan bailout, menganggap langkah SBY tersebut sebagai langkah yang tepat guna mengamankan kepentingan diplomasi keuangan Indonesia terhadap Bank Dunia. Asumsinya, dengan masuknya Sri Mulyani, Indonesia akan mudah mendapat bantuan dana maupun fasilitas program yang didanai oleh Bank Dunia.
Polemik Sri Mulyani saat ini adalah dilema pemerintahan yang juga pernah dialami oleh sebagian negara selain Indonesia. Ketika seorang pejabat penting, apalagi menjabat sebagai pejabat keuangan yang sangat “diistimewakan” karena peran dan pengalamannya dinilai mampu menaikan pertumbuhan ekonomi secara signifikan namun kemudian terkena masalah hukum, maka beban berat berada dipundak Presiden/PM untuk mengambil sikap; apakah mengikuti tuntutan oposisi untuk memberhentikan pejabat yang bersangkutan atau bahkan melindunginya dengan memberikan perlindungan (impunity) secara politik agar terbebas dari tuntutan hukum.
Politik impunity adalah hal yang paling ditakutkan dalam Negara hukum. Karena politik impunity hanya melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat Negara. Sebagaimana yang terjadi pada rezim Orba dulu, politik impunity telah menghasilkan kekuasaan yang koruptif. Politik impunity telah melemahkan kinerja lembaga-lembaga hukum Negara karena keputusan tentang bersalah atau tidaknya seseorang bukan dipengadilan, namun diputuskan oleh penguasa Orde Baru.