
Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
(Dimuat dalam Koran FAJAR Makassar, edisi Selasa 3 Agustus 2010)
Sudah terlalu banyak kecaman yang ditujukan untuk menyoroti sikap-perilaku anggota DPR kita, yang dalam melaksanakan tiga fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran sangat jauh panggang dari api. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR tak mampu membuat publik puas dengan menekan pemerintah untuk lebih bertanggungjawab sekaitan dengan maraknya kasus ledakan tabung gas elpiji di beberapa wilayah.
Malah terkait fungsi legislasi, DPR baru menyelesaikan 5 RUU dari target 70 RUU yang akan diselesaikan tahun ini. Senada dengan analisis Syamsuddin Haris, tantangan utama DPR adalah meningkatkan produktifitas dan kualitas legislasi. Masalah terbesar DPR 2004-2009 adalah kegagalannya dalam meningkatkan produktifitas dan kualitas UU yang dihasilkan. DPR lalu juga hanya bisa menyelesaikan 38,6 persen RUU prioritas. Hal ini kemudian membuat publik pesimis dengan prospek DPR kedepan. Kejengkelan publik pun bertambah dengan perilaku beberapa anggota DPR yang sering bolos ketika harus mengikuti rapat paripurna.
Juga karena kejengkelan tersebut, seorang artis senior nekat melakukan “teaterikal” gerakan mahasiswa ’98 dengan memanjat dan mencoret atap gedung DPR untuk memprotes sikap wakil rakyat yang menurutnya tidak tegas, jujur dan adil. Tindakan tersebut adalah bentuk kekecewaan seorang warga Negara terhadap DPR. Sekalipun menurut anggota DPR adalah tidak wajar. Namun, ibarat “anjing menggonggong kafilah berlalu”, beragam kritik publik ini dianggap angin lalu oleh DPR yang tetap saja sibuk dengan urusan masing-masing.
Mengulang Menyalahkan Sistem
Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan DPR kita? Mengapa ketika reformasi sudah berjalan dua belas tahun, DPR tak kunjung memperlihatkan kemajuan berarti sekaitan dengan fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran? DPR kita seolah masih “diperbudak” oleh watak Orba yang cenderung melihat pelaksanaan fungsi dalam kacamata kuda. Bukan berpikir bagaimana agar fungsi tersebut secara benar dan tepat mampu mensejahterakan rakyat.
Satu dari banyak faktor yang bisa dijadikan alasan dalam mengkritisi DPR kita adalah sistem. Sistem ini sebagai biang keladi mengapa DPR kita masih “begitu-begitu saja”. Tanpa mengesampingkan aspek personal anggota DPR yang memang sebagian juga “bermasalah”, sistem ini lebih dikritik karena mengelola energi yang cenderung besar. Untuk lebih jelasnya, mari kita membedah satu persatu kelemahan sistem tersebut. Pertama, Pemilu langsung anggota DPR memiliki plus-minus kualitas demokrasi di indonesia. Disatu sisi, sistem Pemilu langsung memang telah menjamin terpenuhinya kebebasan Sipol masyarakat karena rakyat bisa langsung menilai dan memilih wakil-wakilnya secara lebih terbuka dan transparan.
Namun justeru disinilah masalah itu muncul. Sistem tersebut mengakibatkan pergantian kursi legislator menurut ukuran capital (baca: modal) dan popularitas, bukan kemampuan. Orang-orang yang dulunya kompeten dan masih layak dipertahankan, terpaksa harus meninggalkan empuknya kursi senayan karena perolehan suaranya tidak mencukupi. Mereka yang tadinya kapabel, kritis dan lantang digantikan oleh “gerombolan artis” yang entah dari mana datangnya tiba-tiba masuk hanya dengan bermodalkan popularitas. Jadilah DPR ibarat lakon “Opera Van Java” versi DPR. Dari 560 anggota DPR, sekitar 70 persen adalah orang baru yang belum memiliki pengalaman politik cukup.
Pemilu langsung juga telah memanaskan peta politik yang tidak jarang berujung konflik; baik antar pasangan calon, maupun antar massa pasangan calon. Sebagaimana yang juga terjadi pada Pemilukada dan Pilpres. Parpol juga ketiban berkah karena banyak yang mendaftar sebagai Caleg. Karena UU Pemilu DPR/DPD/DPRD mengatur persyaratan pencalonan harus melalui Parpol. Selain itu, praktek money politic juga menjadi fenomena yang terus berulang tiap kali hajatan pesta demokrasi Pemilukada atau Pilpres digelar .
Kedua, sistem rekrutmen kader Parpol selama ini cenderung mengutamakan faktor materi dan status sosial, bukan kemampuan kader dalam menjawab berbagai permasalahan bangsa. Untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, Parpol memperlihatkan diri sebagai “rentenir” yang aktif mencari nasabah. Dengan kata lain, lebih memprioritaskan “gizi” sebagai ukuran, bukan kemampuan sang calon. Jadilah si calon lenggak-lenggok ke Senayan sekalipun minim kemampuan.
Hal ini juga yang menjadi kelemahan undang-undang Pemilu DPR/DPD/DPRD karena kurang memperhatikan aspek personalia caleg. Urusan pencalonan seluruhnya diserahkan pada Parpol yang terbukti juga hanya menjadi rentenir yang sibuk mencari nasabah yang ingin berinvestasi politik sebagai Caleg. Syarat pencalonan melalui Parpol yang longgar, telah membuka fenomena praktek pemerasan oleh Parpol terhadap siapa saja yang berniat menjadi Caleg. Yang berduit akan diprioritaskan dan lebih berpeluang duduk di kursi dewan ketimbang yang “miskin”. Imbasnya, mahalnya ongkos politik yang telah dikeluarkan ketika mengikuti tahapan Pileg membuat sebagian anggota DPR menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan korupsi. Seperti yang dilakukan oleh Al Amin Nasution dkk.
Juga undang-undang parpol yang tidak sedikitpun menyinggung soal rekrutmen personal yang kapabel. Undang-undang Parpol hanya mengatur aspek teknis-formal terkait syarat pendirian Parpol dan lain sebagainya. Tidak menyinggung bagaimana agar Parpol memiliki kader yang kompeten
Ketiga, politik kartel di DPR yang sering dipraktekan selama ini sejatinya juga telah melemahkan tugas dan fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan. Utamanya dalam menjalankan fungsi pengawasan. Politik kartel menjadi alat bartel bagi parta berkuasa (the rulling party) agar kelompok oposisi tidak melangkah lebih jauh. Beberapa masalah yang seharusnya memerlukan pengawasan dan menuntut penyelesaian, tidak dilaksanakan oleh DPR. Kita bisa melihat bagaimana mudahnya beberapa anggota DPR dari partai pro pemerintah mengatakan “lebih baik kasus Century di peti es-kan saja”. Termasuk kelambanan DPR dalam menekan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ledakan tabung gas elpiji.
Beberapa masalah tentang DPR diatas membuat konsep lembaga perwakilan di negara ini menjadi ambigu. Pada satu sisi, lembaga perwakilan dituntut lebih pro aktif mendengarkan suara rakyat yang tidak menembus gedung parlemen. Mampu menjalankan tiga fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran secara lebih nyata dan bertanggungjawab. Namun pada sisi lain, kelemahan sistem perekrutan. Minimnya kemampuan personalia anggota DPR, dan beberapa masalah lainnya membuat DPR kita kehilangan kepercayaan dari rakyat. Masih untung hanya satu orang yang kemarin memanjat gedung DPR. Bisa dibayangkan jika yang memanjat gedung DPR itu adalah ribuan mahasiswa yang kecewa dengan DPR seperti demonstrasi mahasiswa tahun 1998 lalu.