Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Selasa, 08 Juni 2010

Waspadai Korupsi Kekuasaan



Koran FAJAR Makassar, Sabtu 5 Juni 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konsitusi Unhas

Untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan extra ordinary dan abuse of public office, tidak saja mengandalkan perangkat undang-undang yang juga terkadang tidak bertuah. Lebih dari itu, political will pemerintah ditambah dengan dukungan kelembagaan yang kuat, akan menjadi pembuktian sukses tidaknya program pemberantasan korupsi dijalankan. Korupsi harus dipandang sebagai musuh bersama (common enemy). Dukungan kelembagaan berupa hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memudahkan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Bersama Polri dan Kejaksaan, KPK menjadi amunisi baru dalam kampanye perang melawan korupsi.
Saat ini, Panitia Seleksi (Pansel) sudah mulai bekerja untuk merekrut dua calon pimpinan KPK yang akan direkomendasikan ke DPR dan dipilih salah satunya. Masyarakat tentu berharap agar proses seleksi pimpinan KPK yang baru, berjalan secara demokratis dan transparan. Hal ini agar terpilih figur pimpinan yang bersih, tanpa cacat, mampu menjaga independensi KPK dengan tidak membawa KPK pada arus politik, dan tentunya disegani oleh para koruptor.

KPK Jilid I
Sejak lahirnya, KPK mengemban tugas teramat berat; mengembalikan makna supremasi hukum yang “bersembunyi” dibalik Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Supremasi hukum yang selama tiga puluh dua tahun “dipenjara” oleh rezim Orba dengan memelihara kultur koruptif melalui kendali Istana. Mengakibatkan makna Negara hukum (rechstaat) berbalik menjadi Negara kekuasaan (machstaat).
KPK Jilid I bekerja dibawah tekanan maraknya praktek korupsi dikalangan pejabat Negara serta terbebani kegagalan pendahulunya yang lebih dulu “mangkat” atau “sengaja dibubarkan”. Seperti Tim Pemberantasan Korupsi (TPK/ 1967), Komisi Anti Korupsi (KAK/1970), Komisi Empat (1970), OBSTIB (1977), Tim Pemberantasan Korupsi (TPK/1982), Timtastipikor (2004). Walaupun kita sudah memiliki tiga undang-undang anti korupsi (31/1971, 31/1999 dan 20/2001)
Dimulai dengan penangkapan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh dalam kasus pengadaan helikopter tahun 2004 lalu, KPK Jilid I dibawah Taufiqrachman Ruki secara perlahan berhasil menumbuhkan spirit pemberantasan korupsi. KPK berhasil membalikan persepsi masyarakat yang semula pesimis dengan segala tetek bengek kampanye pemberantasan korupsi, menjadi optimis. Dalam kasus Puteh, KPK berhasil mendobrak tembok tebal politisasi korupsi pada era Orba yang banyak melindungi pejabat. KPK telah membuktikan bahwa prinsip equality before the law bukan sebuah mitos.
Selanjutnya, pemeriksaan korupsi Probosutedjo bersama pengacaranya, Harini Wijoso dalam kasus Hutan Tanaman Industri, yang menggoyang gedung Mahkamah Agung tahun 2005 lalu semakin mengukuhkan kiprah KPK. Apalagi ditengah munculya isu judicial corruption saat itu membuat KPK semakin bersemangat. Namun sayang, KPK Jilid I tidak mampu menuntaskan kasus korupsi rezim Orba yang melibatkan Cendana. Bersama kasus BLBI dan dugaan korupsi penjualan kapal Tanker Pertamina yang kemudian hilang bak ditelan bumi, KPK akhirnya tak berdaya melawan keputusan Jaksa Agung yang meng-SP3-kan kasus korupsi Soeharto.

KPK Jilid II
Dibawah kendali Antasari Azhar, KPK semakin unjuk gigi. Penangkapan Jaksa Urip dan pengusaha Artalita dalam kasus suap menguatkan desakan reformasi total kejaksaan. Tertangkapnya Jaksa Urip saat itu membuat masyarakat menuntut agar Kejagung melakukan reformasi kejaksaan untuk menghilangkan praktek korupsi. Mendorong terwujudnya good governance dan clean government di instansi Kejaksaan.
Sukses dalam kasus Urip, KPK kembali memperlihatkan “taji”nya dengan menangkap komisioner Komisi Yudisial (KY) Irawadi Joannes dalam kasus suap. Beberapa anggota DPR pun tidak luput dari pemeriksaan. Gedung Dewan yang saat rezim Orba terkesan “sakral” dan “angker”untuk dimasuki akhirnya didobrak oleh KPK dengan tertangkapnya Al Amin Nasution dan Yusuf Emir Faisal dalam kasus korupsi pengalihan fungsi hutan di Tanjung Bintan dan Tanjung Api-Api. Era otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak tahun 1999 juga membuka pintu masuk bagi KPK untuk membidik beberapa pejabat daerah setingkat Bupati dan Gubernur dalam dugaan korupsi. Hasilnya, beberapa pejabat tersebut divonis di Pengadilan khusus Tipikor.
Namun sayang, penahanan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin membuat KPK berada pada titik nadir. Banyak pihak memprediksi inilah akhir dari sepak terjang KPK. Mulai saat itu, beberapa serangan balik yang dialamatkan kepada KPK membuat lembaga superbody ini kehilangan digdaya. Apalagi dengan penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dengan tuduhan menerima suap dalam kasus Anggoro membuat KPK dan Mabes Polri telibat “perang dingin”. Terakhir, dugaan korupsi dalam skandal bailout Century menanti penyelesaian oleh KPK.

KPK Jilid III; Waspadai Korupsi Kekuasaan
Berkaca pada sepak terjang KPK Jilid I dan II, maka kiprah KPK Jilid III tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Bergigi menangani kasus korupsi pejabat Negara, namun tak bernyali jika sudah menyentuh jenis korupsi kronism dan clientalism. Apalagi yang menyentuh ring satu Istana seperti yang terjadi dalam kasus skandal bailout Century lalu.
KPK Jilid I dan II hanya menang jika berhadapan dengan jenis korupsi “ringan” seperti pencurian aset negara ( pillaging of state assets) sebagai bentuk korupsi yang paling banyak dan paling mudah dilakukan. Bentuk aset yang dicuri jenisnya sangat luas, mulai dari peralatan kantor, mesin-mesin, sampai pada BUMN. Sistim administrasi yang lemah, serta tidak adanya control yang memadai menyebabkan keberadaan aset tidak terkontrol. Juga korupsi jenis distorsi anggaran belanja pemerintah; pengeluaran APBN untuk sesuatu proyek mengalami distorsi karena adanya mark-up yang dilakukan pejabat yang berwenang untuk sesuatu proyek yang berakibat biaya proyek lebih tinggi dari yang sebenarnya dengan kelebihan biaya masuk kekantong pribadi.
KPK tumpul jika berhadapan dengan modul korupsi patronisme (clientalism.) Korupsi ini bisa terjadi manakala pejabat memperoleh jabatan politik dengan memberi imbalan materi pada pendukungnya. Seperti yang terjadi pada kasus Miranda Goeltom. Ini adalah money politik seperti yang dipahami secara luas oleh publik selama ini. KPK juga masih lemah dan ”sungkan” jika berhadapan dengan korupsi kronism. Adalah bentuk korupsi yang terjadi manakala pengangkatan jabatan publik dan pemberian hak-hak ekonomi didasarkan atas hubungan family seperti yang terjadi pada masa Orba.
Dalam persiapan menjelang Pemilu 2014 mendatang. Baik Pileg maupun dan Pilpres, korupsi kekuasaan dengan model patronisme dan kronism besar kemungkinan akan terjadi.