Wiwin Suwandi
Pengamat Politik, Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Pembahasan Pansus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) yang berencana membentuk Pengadilan Tipikor di 33 propinsi di Indonesia patut untuk diapresiasi. Ini menunjukan motivasi penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukan trend meningkat setelah dikeluarkannya beberapa instrumen hukum terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia seperti UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus serta pembentukan KPK melalui UU No 30 Tahun 2002.
Dilihat dari sejarahnya, motivasi utama dibentuknya Pengadilan Tipikor adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga pengadilan konvensional yang banyak memutus bebas koruptor dengan penerapan norma hukum yang cenderung kaku. Salah satu penyebab lemahnya upaya pemberantasan korupsi pasca reformasi ’98 adalah praktek lembaga pengadilan yang menerapkan pasal-pasal karet KUHP dalam memproses perkara korupsi yang terbukti banyak membebaskan tersangka koruptor sehingga melahirkan isu ’mafia peradilan’, sebuah istilah untuk menyebut fenomena maraknya praktek jual beli perkara di pengadilan yang melibatkan hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Penerapan hukum melalui KUHP inilah yang menjadi celah lolosnya para koruptor dari jerat hukum. Karena jika dilihat, penerapan KUHP secara murni dalam tuntutan jaksa maupun analisa dalam vonis hakim hanya dimungkinkan untuk kasus-kasus pidana ringan, non extra ordinary crime. Sementara korupsi adalah jenis kejahatan yang sudah digolongkan dalam jenis kejahatan berat/serius (extra ordinary crime). Sehingga proses pembuktian dan penyelesaiannya tidak hanya mengacu pada hukum acara konvensional yang juga terbukti banyak mengandung kelemahan, tetapi melalui mekanisme lain seperti diatur dalam Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tipikor yang proses penyelidikan dan penuntutannya dilakukan oleh sebuah lembaga khusus, yaitu KPK yang diatur dalam UU No 30 tahun 2002.
Namun kemudian, kedudukan Pengadilan Tipikor yang hanya berpusat di Jakarta (PN Jakpus) ternyata masih mengandung kelemahan, walaupun sejak dibentuk, prestasi lembaga yang berduet dengan KPK dalam memproses dan memvonis para koruptor ini patut untuk diacungi jempol. Kelemahan ini dikarenakan status hukum Pengadilan Tipikor yang dibentuk hanya berdasarkan Keppres sewaktu-waktu secara sepihak bisa dicabut oleh presiden dengan menggunakan hak prerogatifnya. Sehingga untuk meningkatkan power dan bargaining position-nya, perlu pengaturan tentang Pengadilan Tipikor ini melalui undang-undang tersendiri. Sedangkan kelemahan lainnya, dalam proses penanganan korupsi yang masuk level big corruption oleh Pengadilan Tipikor yang tersentralistik di Jakarta melalui PN Jakpus dianggap belum sepenuhnya menjamin menurunnya angka korupsi di Indonesia.
Paradigma korupsi yang tersentralistis pada masa Orba berangsur-angsur mulai hilang dan berkurang, berganti dengan praktek korupsi yang meluas di seluruh Indonesia. Kran mulai berkuasanya rezim otonomi daerah melalui pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata diselewengkan. Konsep otonomi luas disalahartikan dengan kesempatan untuk menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya dengan melakukan korupsi. Kondisi ini akhirnya membuka peluang korupsi menjadi terbuka lebar, yang dilakukan oleh pejabat lokal. Sementara proses penanganan dan penyelesaian hukum terhadap para tersangka koruptor dari daerah yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan setempat ini terlampau lemah. Hal ini kemudian yang memperkuat tuntutan untuk membentuk Pengadilan Tipikor dan KPK di seluruh propinsi di Indonesia.
RUU Pengadilan Tipikor; Mempertahankan Status Quo?
Menyimak proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor yang sementara berjalan, ada beberapa catatan kritis yang menyertai upaya Pansus RUU Pengadilan Tipikor membentuk Pengadilan Tipikor di seluruh propinsi dalam motivasinya memperluas pemberantasan korupsi di Indonesia. Diantaranya, membentuk Pengadilan Tipikor pada PN setempat dengan mengangkat ketua PN merangkap sebagai ketua Pengadilan Tipikor merupakan tindakan rangkap jabatan yang berlawanan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Praktek rangkap jabatan merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan profesionalisme kerja.
Namun yang lebih mengkhawatirkan dari tindakan rangkap jabatan tersebut adalah mengangkat ketua PN setempat yang juga merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tipikor merupakan sinyal kuning proses penyelesaian perkara korupsi di daerah akan terkatung-katung serta hanya akan melanggengkan status quo proses pemberantasan korupsi di daerah. Selama ini, upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di sejumlah daerah menunjukan rapor merah. Hal ini dikarenakan praktek lembaga pengadilan setempat yang menerapkan pola konvensional dalam memvonis sejumlah kasus korupsi. Banyak data yang menunjukan vonis terhadap perkara korupsi yang dilakoni PN daerah selama ini berputar-putar pada dua jenis vonis; membebaskan para tersangka korupsi atau memvonis lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Vonis hakim PN tersebut dalam prakteknya telah berlawanan dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebuah instrumen hukum yang mana ingin membangun komitmen praktek penyelenggaraan negara jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance and clean government). Upaya untuk menimbulkan efek jera (shock therapy) kepada para koruptor dan calon koruptor untuk tidak mengulangi perbuatannya juga akhirnya tidak terlaksana akibat vonis tersebut.
Sementara pada sisi yang lain, vonis hakim-hakim PN setempat yang sering membebaskan atau memvonis rendah para koruptor dalam prakteknya telah menciderai tiga tujuan utama hukum; kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Membebaskan koruptor atau memvonis lebih rendah dari tuntutan JPU (atau vonis minimal 4 tahun penjara dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) sejatinya telah menghilangkan atau bahkan mengurangi terpenuhinya nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat.
Hal lain yang juga patut untuk dikritisi adalah pengaturan kedudukan Pengadilan Tipikor pada PN setempat dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor ini berpotensi menghilangkan kemandirian Pengadilan Tipikor sebagai lembaga pengadilan yang merdeka. Pengadilan Tipikor adalah lembaga pengadilan yang dalam menjalankan kewenangannya terlepas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan lain. Terbebas dari intervensi pihak-pihak yang secara internal dan eksternal berupaya menghambat jalannya pemeriksaan perkara korupsi guna mewujudkan independensi Pengadilan Tipikor.
Oleh karena itu idealnya, sebagaimana KPK yang berdiri independen dan profesional, Pansus RUU Pengadilan Tipikor juga seyogyanya mengupayakan Pengadilan Tipikor agar bisa berdiri dan bekerja secara mandiri dan profesional dengan tidak melibatkannya dalam birokrasi lembaga pengadilan lain. Hal ini didukung alasan kuat bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus, jenis kasus yang ditangani juga adalah korupsi yang merupakan kasus pidana khusus, bukan seperti kasus pidana konvensional lainnya seperti pencurian, pembunuhan dan semacamnya. Selain itu, pengaturan komposisi hakim dalam Pengadilan Tipikor yang akan dibentuk nantinya juga diupayakan sebagaimana praktek Pengadilan Tipikor di PN Jakpus selama ini, tetap melibatkan penggabungan hakim karir dengan hakim ad hoc dengan perbandingan tiga berbanding dua, tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. Dengan komposisi tersebut, tiga tujuan hukum yang ingin dicapai; keadilan, kepastian dan kemanfaatan lebih mungkin tercapai.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Satjipto Rhardjo dalam tulisannya di Kompas 6 Maret 2006, (Determinasi Anti Korupsi), bahwa dalam menjalankan fungsinya terdapat dua tipe pengadilan. Pertama, pengadilan yang berjalan seperti mesin, yang menerapkan hukum seperti dibaca dari prosedur dan pasal-pasalnya (penafsiran normatif), praktik mengadili hanya mengeja undang-undang. Kedua, pengadilan termasuk hakimnya yang menjalankan hukum dengan nurani (conscience of the court), Menurutnya bahwa saat ini Indonesia membutuhkan pengadilan tipe kedua. Dan hal ini telah dimiliki oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.