Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Jumat, 14 Januari 2011

Pemilu dan Krisis Legitimasi Parpol

Koran FAJAR, Makassar, Kamis 12 Januari 2011
Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan

Pemilu 2014 masih tiga tahun lagi, namun isunya mulai berhembus hangat sejak kini. Termasuk perebutan kursi RI 1, serta pertanyaan dan prediksi seputar siapa parpol pemenang Pemilu 2014 setidaknya mulai ramai dibicarakan.
Hal ini mengundang “decak kagum” sekaligus kekhawatiran akan masa depan demokrasi politik di Indonesia. “Decak kagum” manakala melihat tingginya antusiasme elit menyongsong Pemilu 2014. Seakan-akan semua orang dianggap melek politik, padahal tidak demikian. Seolah-olah persoalan negara hanya seputar politik Pemilu. Hal ini kemudian melahirkan kekhawatiran ketika rakyat menyadari bahwa selama ini, aspirasi mereka telah gagal dipenuhi pemerintah, termasuk parpol. Ketika rakyat sadar, bahwa mereka hanya dijadikan “sapi perah” atas sumbangan suara yang diberikan pada pemilu.
Memang, salah satu prasyarat suksesnya Pemilu adalah tingginya angka partisipasi pemilih. Namun pada Pemilu 2004 dan 2009, Golput tampil menjadi “pemenang”. Dengan persentase 23,34% dari total pemilih terdaftar. Angka ini lebih besar dari angka parpol pemenang pemilu. seperti Golkar (16,54%), PDIP (14,21%), dan PKB (8,10%). Pada Pemilu 2009, Golput kembali menjadi pemenang (39,1%) dengan menyingkirkan partai pemenang Pemilu seperti Demokrat (20,85%), Golkar (14,45%), PDIP (14,03%) (Sumber:KPU).
Golput memberi sinyal bahaya terhadap kelangsungan demokrasi. Golput memberi fakta tentang rendahnya apresiasi rakyat terhadap Pemilu, secara khusus terhadap Parpol sebagai penyokong. Memang benar bahwa, Pemilu tidak semua tentang parpol, seperti pemilihan anggota DPD yang tidak melewati pintu Parpol. Akan tetapi secara keseluruhan, Pemilu terlanjur identik dengan parpol. Maka berarti, kegagalan Pemilu dengan tingginya angka Golput, berarti juga kegagalan Parpol dalam mendekatkan diri dan meraih kepercayaan rakyat sebagai konstituennya.

Disforia Multipartai
Ironisnya, pertambahan jumlah parpol tidak berkorelasi positif dengn apresiasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Parpol. Sehingga kemudian muncul pertanyaan, mengapa Golput begitu tinggi dalam sistem multipartai? Bukankah multipartai adalah solusi dari kekakuan sistem Pemilu selama ini sehingga seharusnya rakyat mengapresiasi Pemilu dalam sistem multipartai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijawab oleh semua pelaku/aktor.
Namun setidaknya, hal ini mengindikasikan bahwa, euforia demokrasi pada Pemilu 1999-2009 yang mengulang “sukses” Pemilu 1955 dalam melahirkan multipartai, berubah menjadi disforia. Ketika Parpol sebagai penyokong demokrasi telah mengalami krisis legitimasi dari rakyat sebagai konstituennya (pemegang hak suara) dengan masih tingginya angka Golput.
Seyogyanya, kehadiran multipartai pada Pemilu 1999, 2004, 2009 (walaupun pernah terjadi pada Pemilu 1955) yang kemudian meramaikan konsep lembaga legislatif (walaupun yang lolos parliamentary treshold hanya 9 parpol) harus diapresiasi secara adil dan berimbang. Adil dalam pengertian, sistem multipartai dianggap mengakomodasi hak sipil-politik rakyat, untuk ukuran Indonesia sebagai negara multi dan plural. Sedangkan berimbang, artinya bahwa sistem multiparpol harus dibarengi dengan kualitas kinerja parpol. Utamanya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat sebagai konstituennya. Tidak hanya menjadikan rakyat sebagai “sapi perah”, ketika suaranya hanya dibutuhkan pada saat Pemilu. jika demikian, maka yang nampak bukan demokrasi, tapi oligarki.
Sesungguhnya, sistem multipartai melahirkan resiko ganda. Pada satu sisi, multipartai dirasa perlu untuk mengakomodasi beragam kepentingan yang tidak terwakili dalam sistem dwi partai (PDI dan PPP, Golkar menjadi Parpol nanti pada Pemilu 1999) pada masa Orba dulu. Multipartai dianggap cocok mewakili keragaman bangsa dan kepentingan rakyat yang berbeda.
Pada sisi lain, multipartai menjadi masalah ketika Pemilu menghasilkan pemerintahan terbelah, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Juan Liz. Ketika pemenang pilpres dalam pemilu langsung tidak mendapatkan dukungan signifikan di DPR karena perolehan suara partai pengusung capres/cawapres, dianggap tidak cukup untuk memback up program-program pemerintah. Yang muncul kemudian adalah tarik menarik dukungan politik. Pasangan capres/cwapres terpilih akan lebih sibuk membangun komunikasi dengan parpol yang mendapat suara mayoritas di DPR ketimbang mengurusi masalah rakyat.
Namun pada kenyataannya, kerumitan konsep multipartai sesungguhnya dirasakan oleh rakyat. Masalah besar kemudian muncul ketika rakyat menjadi bingung dan seolah tidak siap dengan perubahan sistem kepartaian, dari dwi partai ke multipartai. Rakyat, yang kesadaran politiknya masih hijau “terpaksa” ikut Pemilu dalam “ketidaktahuannya”, partai mana dan siapa yang akan dicoblos.


Krisis Identitas
Hal ini terjadi karena Parpol mengalami krisis identitas. Krisis identitas ini akhirnya membawa dampak pada krisis legitimasi rakyat terhadap parpol. Krisis identitas terjadi karena parpol tidak menampilkan sosok idealnya sebagai parpol. Dalam tataran ideal, parpol adalah sarana penyaluran aspirasi masyarakat ke lembaga perwakilan. Utang budi suara yang diberikan rakyat pada pemilu harus dibalas dengan kinerja yang memuaskan rakyat. Ibarat transaksi jual beli, penjual dan pembeli sama-sama puas. Hak dan kewajiban ditunaikan masing-masing pihak. Dalam konteks pemilu, rakyat sebagai penjual suara dan parpol sebagai pembeli suara harus sama-sama puas dan untung. Rakyat dan parpol harus satu visi. Sehingga rakyat betul-betul menganggap parpol sebagai mitra.
Rakyat menjadi kecewa ketika melihat Parpol nanti hadir pada saat momen Pemilu. Ketika membutuhkan suara rakyat. Parpol baru muncul dengn beragam jualan isu. Namun ketika pemilu usai, rakyat ditinggalkan dengan tetap dalam kondisi miskin dan terbelakang. Padahal, dalam negara demokrasi, parpol dan rakyat adalah pilar. Keduanya tidak bisa bekerja sendiri, namun harus ditopang oleh lainnya. Keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan. Parpol membutuhkan rakyat sebagai pemegang hak suara. Sedangkan rakyat juga membutuhkan Parpol untuk memperjuangkan aspirasinya.
Partai politik tidak hanya didirikan untuk mencapai suatu cita-cita dan aspirasi politik tertentu. Parpol tidak sekedar alat atau kendaraan politik. Jika demikian maka parpol hanya akan menjadi milik dan hanya untuk memuaskan libido kekuasaan segelintir orang. Seharusnya gagasan utama parpol adalah perjuangan parpol berdasarkan sistem nilai dan visi yang diembannya, yang diselaraskan dengan visi rakyat.

KPK, Seriuslah Bekerja

Oleh; Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan

Busyro Muqoddas akhirnya terpilih menjadi Pimpinan KPK setelah melewati serangkaian test yang panjang dan melelahkan. Namun, ujian sesungguhnya menunggu sang pimpinan KPK terpilih untuk menyelesaikan beberapa kasus korupsi besar (big corruption). Diantaranya; kasus korupsi mafia pajak dengan tersangka utama Gayus Tambunan, dugaan korupsi skandal bailout Century, kasus rekening gendut beberapa perwira tinggi Mabes Polri, dugaan korupsi dalam penjualan saham PT Krakatau Steel, serta kasus korupsi lain yang harus tuntas.

Superbody dan Powerfull
Saat ini KPK boleh berbangga, karena dibanding komponen penegak hukum lain yang diserahi tanggungjawab dalam upaya pemberantasan korupsi, publik lebih berharap pada KPK. Mengapa? Ada beberapa faktor pemicu mengapa ekspektasi publik pada KPK begitu tinggi.
Pertama, saat ini dunia penegakan hukum (law enforcement) sedang mengalami masa-masa sulit. Korupsi telah memporakporandakan sistem penegakan hukum. Tidak sedikit diantaranya melibatkan oknum penegak hukum. Mulai hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Kondisi ini melahirkan gejala ketidakpercayaan publik (public distrust) atas kinerja lembaga penegak hukum yang dipandang tidak optimal. Bahkan gejala public distrust ini melebar pada sentimen pemerintah.
Pada beberapa kasus yang muncul, publik menilai profesionalisme dan idealisme penegak hukum sangat mudah dibeli. Seperti dalam kasus penyuapan beberapa oknum Rutan Mako Brimob oleh Gayus Tambunan. Maupun dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan oleh pengusaha Artalita Suryani beberapa waktu lalu. Uang terlihat sangat digdaya dan menjadi raja. Sampai-sampai sumpah setia abdi Negara untuk bekerja jujur dan professional dilanggar hanya karena uang. Oleh karenanya, KPK dibentuk untuk mendorong maksimalisasi dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, bersama Polri dan Kejaksaan (terdapat dalam risalah pembentukan undang-undang KPK).
Kedua, KPK hadir sebagai pendobrak (burglar) dan penghancur (destroyer) korupsi ketika dua kompatriotnya; Polri dan Kejaksaan lemah. Beberapa kewenangan istimewa diberikan UU No 30/2002 (Pasal 12) kepada KPK sebagai senjata untuk menambah tekanan dan daya dobrak. Senjata tersebut diantaranya dalam hal; melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; perintah kepada bank untuk memblokir rekening tersangka jika diduga uang tersebut hasil korupsi; termasuk menghentikan sementara suatu transaksi keuangan yang berdasarkan bukti awal diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sebagian kewenangan ini tidak dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Ketiga, sebagai Komisi Negara, KPK adalah satu-satunya Komisi Negara yang diberikan kewenangan penuntutan (ke Pengadilan Tipikor) atas hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukannya. Kewenangan penuntutan ini tidak dimilik oleh Komisi Negara lainnya seperti Komnas HAM dan Komisi Yudisial. Membuat objektifvitas hasil penyelidikan dan penyidikan KPK tetap terjaga. Hasilnya bisa dilihat, koruptor yang diadili di Pengadilan Tipikor semuanya berakhir di penjara.
Keempat, untuk memperkuat kewenangan, maka Pasal 39 ayat (3) UU KPK ”memerintahkan” KPK untuk merekrut penyidik yang berasal dari Polri dan Kejaksaan. Hal yang sama tidak berlaku untuk Polri dan Kejaksaan serta Komisi Negara lainnya dalam konteks ketatanegaraan saat ini. Hal ini membuat organisasi KPK semakin kuat karena penyidik Polri dan Kejaksaan yang ditugaskan di KPK adalah orang-orang pilihan. Sehingga lebih professional ketika melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Keempat ( ini yang lebih penting), hingga saat ini, publik melihat KPK relatif bersih dari korupsi. Pasca merebaknya isu suap terhadap dua pimpinan KPK; Bibit dan Chandra yang kemudian tidak terbukti, simpati dan dukungan publik terhadap KPK semakin meningkat. Berbeda halnya dengan sentimen negatif publik terhadap lembaga penegak hukum lainnya.

Seriuslah Bekerja
Maka dengan tingginya ekspektasi publik, serta kewenangan yang ekstra, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak serius bekerja. Apalagi ditambah dengan dukungan anggaran yang besar dari APBN, KPK harus mampu membayar semuanya. Kinerja yang maksimal adalah harga pantas yang harus dibayar oleh KPK.
Mengapa? Alasan pertama, karena kita sudah letih saban hari direcoki dengan persoalan korupsi yang seakan tidak akan pernah berakhir. Ketika negara lain sudah jauh melesat, kita masih berkutat dengan persoalan korupsi; korupsi pajak, korupsi bantuan sosial, mark up anggaran dan lain sebagainya. Kita sudah cukup lama malu dikenal sebagai negara korup, baik di Asia maupun di dunia.
Kedua, karena biaya operasional KPK bersumber dari APBN. APBN adalah uang rakyat, maka pertanggungjawabannya pun harus ke rakyat; baik transparansi penggunaan anggaran maupun bobot kinerja yang dihasilkan. Dalam hal ini KPK harus bisa membuktikan bahwa besarnya anggaran operasional yang dialokasikan APBN harus sebanding kinerja yang maksimal. Bahwa uang rakyat dipergunakan sebaik-baiknya untuk menangkap dan menghukum mereka (baca: koruptor) yang merampok uang rakyat.
Kedua, karena korupsi adalah musuh utama bangsa saat ini. Hingga saat ini korupsi masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia, karena korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi membuat sistem ekonomi macet, penegakan hukum lemah, menghambat jalannya pemerintahan yang bersih dan demokratis sehingga menyulitkan terwujudnya pemerintahan yang baik. Dalam aspek Ekosob, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Ketika Politik Citra Mengalahkan Kinerja

Koran FAJAR, Makassar, 21 Oktober 2010
Oleh Wiwin Suwandi (Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan)

Tanpa terasa sudah setahun, perahu bernama “Indonesia” yang dinakhodai SBY dan Boediono menyeberangi lautan samudera. Belum juga tiba di tepian, terjangan ombak dan badai tak henti menggoyang perahu hingga nyaris “karam”. Sang nakhoda pun dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan perahu agar tidak karam dihempas badai.
Ditengah setahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II sejak dilantik Oktober tahun lalu, isu reshuffle kabinet kembali dimunculkan untuk menggoyang pemerintahan SBY-Boediono. Namun seperti yang terlihat, isu reshuffle tidak mampu menjatuhkan citra SBY dimata rakyat. Sekalipun survey terhadap elektabilitas terhadap SBY dikatakan turun, namun secara umum citra SBY masih lebih populer dibanding elit lainnya.
Tampaknya, tim politik pencitraan Istana “sukses” memainkan perannya untuk menjaga popularitas SBY. Sampai-sampai sebuah soal ujian CPNS disebuah departemen memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak, sudah cukup bagi seorang Tjipta Lesmana untuk menilai hal ini sebagai bentuk politik “jilat menjilat” dan budaya “menghamba” seorang “budak” terhadap “tuan”nya.

Politik Citra yang Kebablasan
Politik pencitraan secara berlebihan dan kebablasan terhadap seorang SBY telah menihilkan konsep presidensialisme untuk mewujudkan kinerja kabinet yang maksimal. Energi untuk membentuk citra SBY terlalu besar, kelewatan (over dosis) dan mengesampingkan hal yang lebih substansial, seperti pemberantasan korupsi dan pengurangan kemiskinan.
Konsep kinerja kabinet yang dibangun bukan mengutamakan aspek profesionalisme, namun faktor kedekatan dan politik utang budi. Akibatnya, beberapa Menteri tidak memiliki konsep kerja selama lima tahun kedepan. Konsep kerja biasanya hasil ciplakan dari menteri sebelumnya. Baru setahun usia kabinet, UKP4 telah berulang kali merilis raport merah pada beberapa kementerian. Termasuk kementerian hukum dan hak asasi manusia.
Semasa dua periode kepemimpinan, SBY cenderung mementingkan politik pencitraan. Dan terbukti bagaimana politik pencitraan yang dibangun mampu mempertahankan elektabilitas SBY. Hingga membuat SBY jadi “penyanyi dadakan” dengan membuat tiga album lagu. Termasuk harus merekayasa soal CPNS untuk memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Publik dihipnotis oleh politik citra yang ditampilkan bahwa selama Indonesia berdiri, hanya satu presiden yang berhasil membuat tiga album lagu, yaitu SBY. Dalam kasus soal CPNS, politik “pengkultusan” terhadap SBY oleh menterinya, menunjukan rendahnya integritas seorang bawahan terhadap atasannya.
Juga bagaimana politik citra dimainkan hingga membuat seorang Ruhut Sitompul melempar wacana amandemen kelima UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Agar SBY mampu “oppo” untuk ketiga kalinya. Semuanya terjadi bukan secara kebetulan atau tidak disengaja. Melainkan sudah disetting sedemikian rupa untuk melanggengkan dinasti.
Inilah yang disebut Haryatmoko dalam buku Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik didalam Era Virtualitas sebagai “politik citra”. Bagaimana momen kebenaran telah digantikan oleh momen citra. Sehingga politik terperangkap didalam permainan bebas citra dan teks. Dengan demikian, politik kehilangan fondasinya. Penciptaan citra dan manipulasi teks demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri (Y.A. Piliang: 2005).
Politik citra melalui manipulasi teks terhadap fakta yang terjadi ini dapat ditemui dalam kasus banjir badang Wasior. Bagaimana kemudian fakta tentang illegal loging yang menyebabkan banjir di Wasior, Papua Barat, dibantah dengan retorika bahwa banjir bandang di Wasior adalah gejala alam. Sementara data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh dua perusahaan kayu di Wasior sudah melampaui batas. Negara lebih melindungi pelaku illegal loging hanya karena pertimbangan devisa, ketimbang menegakan hak asasi rakyatnya sebagai pihak yang berdaulat.
Juga dalam rapor merah Polri terkait dugaan korupsi beberapa oknum jenderal Mabes Polri dalam kasus suap gayus tambunan. SBY lebih mengkonsentrasikan isu pada penggantian Kapolri ketimbang mendukung pemeriksaan terhadap aktor mafia kasus yang bermain dalam internal Mabes Polri untuk mensupport upaya reformasi kepolisian. Suara-suara yang menuntut SBY segera melakukan reformasi di tubuh Polri tidak diindahkan. SBY tidak mampu “melunakkan” Polri dengan mendorong reformasi Polri.

Berkuasanya Kaum Demagog
Lebih jauh, sistem politik yang terbangun selama dua periode pemerintahan SBY cenderung melindungi dan mempertahankan dominasi kaum demagog. Demagog dalam istilah Yunani kuno adalah para perusak sistem politik, penjilat, berwatak culas dan licik. Para kaum demagog ini bisa dari kalangan politisi, penegak hukum, pengusaha, dan lain sebagainya. Kaum demagog adalah musuh demokrasi.
Mahfud M.D., dalam tulisannya di Majalah Gatra pada 5 September 2007 menyebut para demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan. Hampir setiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan maupun institusi yang membohongi rakyat. Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.
Secara umum, Indonesia dimasa kepemimpinan SBY, baik dalam KIB Jilid I maupun setahun perjalanan KIB Jilid II hanya membangun politik pencitraan, namun minus kinerja. Angka korupsi masih tinggi, tidak sedikit diantaranya dilakukan oleh kalangan penegak hukum. Retorika pemberantasan korupsi hanya dibangun dalam logika undang-undang, bukan berupaya menghilangkan cara berpikir koruptif para penyelenggara Negara. Amburadulnya sistem manajemen perhubungan memicu terjadinya kecelakaan (baik darat, laut, maupun udara) dalam intensitas yang cukup tiinggi. Serta beragam kasus lainnya yang hanya diselesaikan melalui pidato.