Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Rilis sementara KPU terhadap hasil Pilpres 8 Juli lalu telah memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Kemenangan ini juga dianggap sempurna oleh tim kampanye SBY-Boediono karena Pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Walau masih menunggu proses sengketa di MK, namun rilis KPU tersebut sudah bisa mempengaruhi opini publik tentang siapa pemenang Pilpres. Seolah mengikuti jejak pemilu legislatif 9 April lalu yang memenangkan partai Demokrat, perlahan namun pasti, Demokrat semakin jauh mengungguli Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini. Ketokohan dan kharismatik SBY mampu memikat jutaan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Demokrat dan SBY. Orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien ke corak pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis turut mempengaruhi kemenangan SBY dan Demokrat dalam pemilu kemarin. Amandemen Kelima, Kenapa Tidak? Pasca pemilu ini, tidak kalah dengan panasnya isu perebutan kursi di eksekutif, menarik untuk menyimak kembali warna dan ritme politik yang akan dimainkan dalam kancah legislatif. Sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif untuk memperkuat mekanisme check and balances dalam konsep pembagian kekuasaan (separation of powers) dalam doktrin trias politica, maka secara eksternal, lembaga legislatif perlu diperkuat untuk melakukan counter issu atas kebijakan-kebijakan eksekutif yang tidak sejalan dengan konstitusi. Sedangkan secara internal, keseimbangan peran antara ’pemain’ dalam lembaga legislatif sendiri juga diperlukan untuk memperkuat peran kelembagaan dan menjamin kualitas produk legislasi. Sebagai sebuah keprihatinan yang mungkin dalam ruang ini akan menemukan solusi cerdas, tulisan ini lahir untuk merangsang kembali diskursus polemik konstitusi pada tahun 2006. Masalah perbedaan kewenangan antara DPR dan DPD dalam visi menciptakan strong becameralism, dan memperkuat mekanisme check and balances di legislatif yang tidak memposisikan DPR dan DPD dalam posisi seimbang sehingga menciptakan ketimpangan legislasi. Dalam format kelembagaan kita, ada kesan high level politic dan low level politic yang merepresentasekan kekuatan politik antara DPR dan DPD. Sejak usulan amandemen V UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan DPD diajukan oleh beberapa anggota DPD seperti Irman Gusman, M. Ichsan Loulembah, Husein Rahayaan dan Piet Herman Abik ditembuskan ke MPR melalui surat usulan amandemen DPD bernomor DPD/HM.310/295/2006 pada tahun 2006 lalu, perdebatan tentang perlu tidaknya dilakukan amandemen V untuk menghapus diskriminasi konstitusi ini terus berlanjut dan memanas. Amandemen dianggap jalan terbaik untuk memperkuat kewenangan DPD. Namun untuk kesekian kalinya, mayoritas anggota DPR yang merupakan representasi Parpol kurang merespon keinginan DPD tersebut. DPR terkesan berat hati untuk membagi ’kue legislasi’ dengan DPD. Pada tahun 2007, wacana usulan perubahan pasal 22D UUD 1945 tentang DPD yang dihembuskan DPD hampir mendekati klimaks. Rencana anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mencari tambahan dukungan sebanyak 226 suara sebagai syarat untuk mengajukan usulan perubahan pasal 22D UUD 1945, terus dilakukan. Sampai akhirnya DPD mendapatkan dukungan usulan perubahan baru mencapai 215 tanda tangan. Artinya DPD tinggal membutuhkan 11 suara lagi untuk membawa usulan perubahan itu ke sidang MPR (Kompas, 7/8/2007). Sebagaimana aturan yang tercantum dalam pasal 37 ayat (3) UUD bahwa syarat untuk mengajukan usulan perubahan itu adalah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR atau 452 anggota. Namun lagi-lagi, DPD harus menelan pil pahit, beberapa anggota DPR, dengan alasan ’kebijaksanaan partai’ mencabut dukungan tersebut sehingga usulan amandemen konstitusi berhenti ditengah jalan akibat arogansi DPR. Perjuangan panjang dan penuh tantangan yang dilakukan DPD ini merupakan bentuk kekecewaan dari diskriminasi konstitusi yang hanya membentuk DPD tanpa diberikan kewenangan membentuk undang-undang. Karena menurut pasal 22D UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa DPD hanya diberikan kewenangan mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketika masuk pada ayat (2) lebih lanjut disebutkan bahwa setelah DPD mengusulkan rancangan undang-undang tersebut kepada DPR, maka DPR kemudian memanggil DPD untuk membahasnya sesuai Tatib DPR. Namun ketika tiba pada pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan. Pada posisi ini kemudian diskriminasi konstitusi ini terlihat. DPD hanya dijadikan tameng mendapatkan pengakuan dari rakyat, bahwa pemerintah sudah memperhatikan aspirasi rakyat didaerah dengan membentuk DPD, sementara kekuasaan membentuk undang-undang tetap dimiliki oleh presiden dan DPR. DPD tak ubahnya lembaga penunjang (auxilary agency) DPR yang bertugas memberikan nasehat dan usulan, sementara ketika tahapan pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan. Perselingkuhan politik antara partai-partai di DPR membawa DPD pada bayang-bayang ketidakpastian politik. DPD tetap diberikan kewenangan yang tumpul dan tetap mengekor dibelakang DPR. DPD dan DPR ibarat saudara tiri yang diperlakukan tidak proporsional oleh konstitusi sebagai ibu kandung. Perbandingan Legitimasi Sri Soemantri, guru besar emiretus ilmu hukum Unpad yang juga rektor Universitas Jayabaya Jakarta, dalam wawancara dengan Kompas (29/04/2006) juga menyayangkan ketimpangan kewenangan yang diberikan kepada DPD pasca amandemen III UUD. Menurutnya, ketimpangan kewenangan yang diberikan kepada DPD tidak sejalan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena jika dilihat, DPD lebih memiliki legitimasi yang kuat karena keanggotannya dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan anggota DPR yang perekrutannya melewati gerbong Parpol. Secara sosiologis, format pemilihan langsung dari rakyat lebih mencerminkan konsep kedaulatan rakyat yang pure dibandingkan pemilihan melalui gerbong partai. Maka jika dihitung berat resiko dengan konstituen, maka resiko tanggungjawab anggota DPD lebih berat dari pada anggota DPR, karena pertanggungjawaban anggota DPD adalah pertanggungjawaban secara individu. Berbeda dengan anggota DPR yang diwakili oleh partai. Perbedaan legitimasi yang tidak seimbang ini menyebabkan konsep bikameralisme di Indonesia bersifat tidak penuh. Dalam pandangan politik Agus Haryadi, bahwa konsep bikameralisme Indonesia menganut bicameral lunak (soft bikameralisme) yang diulas dalam bukunya “Bikameral Setengah Hati”. Keberadaan DPD di Indonesia’antara ada dan tiada’. Sementara untuk membangun lembaga legislatif yang kuat, yang akan menunjang kerja-kerja pemerintahan, termasuk dalam hal mekanisme kontrol. Yang kita inginkan adalah terwujudnya dua kamar yang sama kuatnya (strong becameralism) antara DPR dan DPD. Bukan konsep bikameralism lunak (soft/weak bicameralisme), satu kamar mendominasi kamar lainnya (DPR mendominasi DPD). Bukan pula konsep trikameralism, kamar yang satu hanya menjadi ’penonton’ dua kamar lainnya (MPR). Sistem legislatif di Indonesia adalah sistem legislatif ’abstrak-samar’, bukan bikameral, trikameral, maupun unikameral. Sehingga tidak mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif, kritis-tajam. Sebagai perbandingan, jika di Amerika, Kongres yang merupakan keterwakilan dari Senat dan House of Representatif, dimana status, kedudukan, dan kewenangan yang dimiliki oleh Senat dan House of Representatif bersifat seimbang (balances) dan saling menunjang. Atau konsep bikameralisme di Inggris antara House of Lord (upper house) dan House of Common (lower house), dimana produk legislasi mengalami proses dua kali penyaringan sebelum disahkan sehingga mendapatkan produk legislasi yang berkualitas. Bikameralisme Amerika dan Inggris merupakan contoh bikameralisme yang bersifat strong bikameralisme (dua kamar yang sama kuatnya), sementara konsep bikameralisme di Indonesia adalah soft bikameralisme (bikameral lunak). Konsep bikameralisme yang mendominasi kamar yang lain, DPR mendominasi DPD. Namun perlu diingat pula bahwa, wacana penguatan peran DPD ini bukan membuka wilayah perdebatan antara isu negara kesatuan dengan federalisme. Karena itu akan kembali membuka konflik lama pada saat pertama kali pembuatan undang-undang tentang otonomi daerah dilakukan. Sebagai sebuah penghargaan terhadap pengorbanan para founding fathers, maka komitmen Indonesia sebagai negara kesatuan tetap dijunjung tinggi. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, amandemen V untuk memperkuat kewenangan DPD ini perlu dilakukan untuk memperkuat pressure issue di daerah. Dalam konsep negara kesatuan yang pluralistik seperti di Indonesia, terlalu riskan jika semua energi untuk mengurusi negara diserahkan kepada partai. Oleh karenanya, diperlukan lembaga lain yang khusus mengadvokasi isu-isu didaerah, tetapi tetap dalam konsep negara kesatuan republik Indonesia. Lembaga tersebut adalah DPD yang menjadi sharing partner DPR untuk mengawal isu-isu strategis yang bisa membahayakan eksistensi NKRI. Bukan malah menjadi ’anak bawang’ DPR. |
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Jumat, 17 Juli 2009
DPD Bukan Anak Bawang DPR
Selasa, 14 Juli 2009
Menantang Golkar Menjadi Oposisi
Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Setelah melalui proses yang panjang, Pemilu 2009 akhirnya berakhir dengan keputusan sementara KPU yang memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Mengalahkan dua pasangan lainnya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Selain itu, Pemilu 2009 juga melahirkan beberapa kejutan. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sistem politik di Indonesia, perolehan suara pemenang Pemilu diatas 50 persen (SBY-Boediono 60,80 persen). Kedua, karena sesuai undang-undang Pilpres yang menyebutkan jika perolehan suara salah satu pasangan calon melampaui 50 persen, maka pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Sedangkan kejutan lainnya, Demokrat mencatat sejarah baru sebagai partai pemenang Pemilu dengan kemenangan beruntunnya pada Pileg dan Pilpres 2009 serta berhasil menyingkirkan dominasi politik Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini.
Walau masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, namun hangatnya wacana dilingkaran elit dalam pembagian kursi di kabinet pasca Pemilu menarik untuk dicermati. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi.
Menunggu Keberanian Golkar
Wacana menarik yang juga turut menjadi perhatian pasca Pemilu adalah publik menunggu partai yang akan memberanikan diri maju menjadi partai oposisi. Dinegara demokratis, oposisi diperlukan untuk memperkuat mekanisme check and balances antara tiga cabang utama kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam doktrin trias politica. Memperkuat lembaga legislatif sekaligus juga memperkuat sistem presidensil di negara yang menganut sistem presidensil. Selama ini, partai oposisi melekat pada PDIP. Namun melihat kiprah PDIP sebagai partai oposisi yang lalu, maka perlu kiranya untuk menambah amunisi oposisi di parlemen, setidaknya untuk meramaikan diskursus demokrasi di Indonesia. Dan sinyalemen baru muncul untuk mendorong Golkar menjadi partai oposisi.
Puluhan tahun berkiprah di pentas politik Indonesia, baik sebagai organisasi politik non-partai maupun sebagai parpol (Golkar sebagai parpol nanti pada Pemilu 1999), tak sekalipun Golkar berani menyatakan diri sebagai oposisi. Sekian lama, stigma yang melekat dan ’mendarah daging’ di benak sebagian rakyat Indonesia, bahwa Golkar sebagai organisasi politik penyokong Orba. Kebencian sebagian masyarakat yang anti-Orba dan gelombang reformasi yang bergulir pada tahun 1998 akhirnya berpengaruh pada kekalahan Golkar pada Pemilu legislatif tahun 1999. Kekalahan berulang (yang lebih parah) akhirnya dialami Golkar pada Pemilu 2009.
Faktor utama yang memberi sumbangan terhadap kekalahan Golkar pada Pemilu 2009 adalah ada kesan terlampau percaya diri (over confidence) dan kesalahan berpikir yang lama tertanam di benak sebagian elit Golkar bahwa kejayaan Golkar selamanya akan bertahan, walau sistem Pemilu berganti, dari Pemilu tidak langsung ke sistem Pemilu langsung. Padahal, justeru pada sistem Pemilu langsung, tanda-tanda keruntuhan Golkar mulai terlihat. Pada sistem Pemilu tidak langsung, Golkar mendapat label ’istimewa’ dari penguasa Orba sehingga memungkinkan Golkar selalu menang pada setiap Pemilu. Sokongan politik secara total yang diberikan Golkar kepada Soeharto melalui kendali terhadap sipil dan militer saat itu menjadikan Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden RI.
Status sebagai ’anak emas’ Orba dan kemenangan mutlak Golkar pada beberapa Pemilu sebelum Pemilu tahun 1999 menjadikan alasan faktor terlampau percaya diri tersebut tertanam kuat. Imbasnya, pasca amandemen III UUD 1945 pada tahun 2001, mesin politik Golkar yang selama periode Orba mengendalikan kekuatan sipil dan militer, kebingungan mencari dukungan ketika sistem pemilihan langsung digulirkan pada tahun 2004 dan dilanjutkan pada Pemilu 2009. Militer diperintahkan untuk tidak lagi terjun ke dunia politik dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI di parlemen. Sementara ide demokratisasi yang bergulir pada tahun 1998 membuat kendali politik terhadap sipil mulai berkurang dan mengendur. Tumbuhnya organisasi masyarakat sipil seperti LSM dan NGO turut memberikan sumbangan bagi penyadaran politik masyarakat setelah sekian tahun berada dibawah halusinasi politik Orba.
Hilangnya dua sokongan utama kekuatan politik Orba ini akhirnya mempengaruhi menurunnya perolehan suara Golkar. Sehingga pada pemilu 2009, Golkar seakan tidak siap untuk menerima kekalahan. Publik seakan tidak percaya perolehan suara Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto pada Pemilu 2009 sangat minim. Walau kalah dan menang dalam dunia politik adalah hal yang lumrah, namun untuk Golkar sebagai Parpol besar, kekalahan pada Pemilu 2009 merupakan sebuah tamparan dan aib.
Oleh karena itu, melihat kiprah Golkar pada Pileg dan Pilpres lalu yang menuai banyak kekalahan, revitalisasi peran politik perlu dilakukan Golkar untuk kembali memperkuat amunisi menjelang Pemilu 2014. Pada Pemilu 2009, banyak suara pendukung Golkar beralih ke parpol lain. Termasuk massa ideologis Golkar yang bertahun-tahun setia memilih Golkar. Demikian pula pada pertarungan Pilkada di beberapa daerah lalu, Golkar terbukti keok menghadapi lawan-lawan politiknya. Banyak jagoan-jagoan Golkar yang tersungkur (baca:kalah).
Maka sebagai partai yang kalah baik dalam Pileg maupun Piplres kemarin, sudah saatnya Golkar melakukan refleksi dan instropeksi untuk mengkaji ulang kekuatan, daya saing, dan besaran legitimasi rakyat terhadap Golkar. Pasca runtuhnya kekuasaan Orba dan pasca pemilu 1999, Golkar seolah kehilangan sentuhan sebagai organisasi politik yang sudah makan asam garam kehidupan politik di negeri ini. Kekalahan Golkar pada beberapa Pilkada di tanah air dan terakhir pada Pileg dan Pilpres kemarin semakin kuat menunjukan rapuhnya infrastruktur dan konsolidasi partai. Walaupun kalah dan menang adalah hal lumrah dalam dunia politik, namun sebagai partai yang sarat pengalaman, beberapa kasus kekalahan sebagai imbas dari mekanisme pemilihan langsung pada beberapa arena pertarungan pada Pilkada di beberapa daerah lalu mengisyaratkan menurunnya legitimasi rakyat terhadap kader-kader Golkar. Pergeseran orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien, ke pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis juga menjadi faktor kekalahan Golkar.
Menyadari hal ini, maka tidak ada cara lain bagi elit Golkar selain memikirkan format politik apa yang akan digunakan Golkar untuk kembali meraih kepercayaan rakyat. Dan salah satu solusi dari sekian banyak solusi yang ada adalah Golkar bisa menjadi oposisi. Namun pertanyaannya kemudian, beranikah Golkar menjadi partai oposisi setelah sekian tahun identik sebagai organisasi politik penyokong Orde Baru? Selain bahwa Golkar belum punya pengalaman menjadi partai oposisi.
Menjadi oposisi bukan sebuah pandangan politik turunnya strata politik sebuah partai. Menjadi oposisi juga bukan berarti menghalangi kerja-kerja pemerintahan. Justeru sebaliknya, pilihan menjadi oposisi akan semakin memperkuat identitas ideologis partai tersebut. Oposisi adalah salah satu kekuatan politik negara demokratis. Melalui kiprahnya sebagai partai oposisi, Golkar bisa meraih simpati rakyat dengan peran-peran mereka, turut menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang benar-benar tertuju kepada rakyat, sekaligus melakukan counter issue atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Mungkin dengan menjadi oposisi, Golkar akan kembali menemukan ’sentuhan aslinya’.
Jika Golkar menjadi oposisi, maka dipastikan peta kekuatan oposisi di parlemen semakin kuat karena PDIP dan Gerindra hampir pasti menjadi oposisi. Kekuatan ini bisa bertambah jika Golkar dan Hanura bergabung dalam koalisi oposisi bersama PDIP dan Gerindra. Koalisi empat partai ini akan menjadi oposisi yang paling kuat karena menguasai 43, 9 persen dari 560 kursi di parlemen.
Sebagai perbandingan, salah satu faktor keberhasilan sistem presidensil di AS adalah karena konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu.
Maka untuk mengawal wacana pasca Pilpres ini, publik menunggu langkah politik dan kepiawaian SBY dalam meramu kabinet untuk mengamankan perahunya mengarungi samudra yang luas dan dalam selama lima tahun kedepan. Perahu yang akan dinakhodainya, membawa dua ratus dua puluh juta nyawa, dibantu para abdi yang ahli dalam bidangnya. Publik juga menunggu kiprah partai yang berani menjadi oposisi sebagai salah satu kekuatan politik negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Beranikah Golkar menjadi oposisi?
tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi 3 Agustus 2009
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Setelah melalui proses yang panjang, Pemilu 2009 akhirnya berakhir dengan keputusan sementara KPU yang memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Mengalahkan dua pasangan lainnya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Selain itu, Pemilu 2009 juga melahirkan beberapa kejutan. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sistem politik di Indonesia, perolehan suara pemenang Pemilu diatas 50 persen (SBY-Boediono 60,80 persen). Kedua, karena sesuai undang-undang Pilpres yang menyebutkan jika perolehan suara salah satu pasangan calon melampaui 50 persen, maka pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Sedangkan kejutan lainnya, Demokrat mencatat sejarah baru sebagai partai pemenang Pemilu dengan kemenangan beruntunnya pada Pileg dan Pilpres 2009 serta berhasil menyingkirkan dominasi politik Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini.
Walau masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, namun hangatnya wacana dilingkaran elit dalam pembagian kursi di kabinet pasca Pemilu menarik untuk dicermati. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi.
Menunggu Keberanian Golkar
Wacana menarik yang juga turut menjadi perhatian pasca Pemilu adalah publik menunggu partai yang akan memberanikan diri maju menjadi partai oposisi. Dinegara demokratis, oposisi diperlukan untuk memperkuat mekanisme check and balances antara tiga cabang utama kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam doktrin trias politica. Memperkuat lembaga legislatif sekaligus juga memperkuat sistem presidensil di negara yang menganut sistem presidensil. Selama ini, partai oposisi melekat pada PDIP. Namun melihat kiprah PDIP sebagai partai oposisi yang lalu, maka perlu kiranya untuk menambah amunisi oposisi di parlemen, setidaknya untuk meramaikan diskursus demokrasi di Indonesia. Dan sinyalemen baru muncul untuk mendorong Golkar menjadi partai oposisi.
Puluhan tahun berkiprah di pentas politik Indonesia, baik sebagai organisasi politik non-partai maupun sebagai parpol (Golkar sebagai parpol nanti pada Pemilu 1999), tak sekalipun Golkar berani menyatakan diri sebagai oposisi. Sekian lama, stigma yang melekat dan ’mendarah daging’ di benak sebagian rakyat Indonesia, bahwa Golkar sebagai organisasi politik penyokong Orba. Kebencian sebagian masyarakat yang anti-Orba dan gelombang reformasi yang bergulir pada tahun 1998 akhirnya berpengaruh pada kekalahan Golkar pada Pemilu legislatif tahun 1999. Kekalahan berulang (yang lebih parah) akhirnya dialami Golkar pada Pemilu 2009.
Faktor utama yang memberi sumbangan terhadap kekalahan Golkar pada Pemilu 2009 adalah ada kesan terlampau percaya diri (over confidence) dan kesalahan berpikir yang lama tertanam di benak sebagian elit Golkar bahwa kejayaan Golkar selamanya akan bertahan, walau sistem Pemilu berganti, dari Pemilu tidak langsung ke sistem Pemilu langsung. Padahal, justeru pada sistem Pemilu langsung, tanda-tanda keruntuhan Golkar mulai terlihat. Pada sistem Pemilu tidak langsung, Golkar mendapat label ’istimewa’ dari penguasa Orba sehingga memungkinkan Golkar selalu menang pada setiap Pemilu. Sokongan politik secara total yang diberikan Golkar kepada Soeharto melalui kendali terhadap sipil dan militer saat itu menjadikan Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden RI.
Status sebagai ’anak emas’ Orba dan kemenangan mutlak Golkar pada beberapa Pemilu sebelum Pemilu tahun 1999 menjadikan alasan faktor terlampau percaya diri tersebut tertanam kuat. Imbasnya, pasca amandemen III UUD 1945 pada tahun 2001, mesin politik Golkar yang selama periode Orba mengendalikan kekuatan sipil dan militer, kebingungan mencari dukungan ketika sistem pemilihan langsung digulirkan pada tahun 2004 dan dilanjutkan pada Pemilu 2009. Militer diperintahkan untuk tidak lagi terjun ke dunia politik dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI di parlemen. Sementara ide demokratisasi yang bergulir pada tahun 1998 membuat kendali politik terhadap sipil mulai berkurang dan mengendur. Tumbuhnya organisasi masyarakat sipil seperti LSM dan NGO turut memberikan sumbangan bagi penyadaran politik masyarakat setelah sekian tahun berada dibawah halusinasi politik Orba.
Hilangnya dua sokongan utama kekuatan politik Orba ini akhirnya mempengaruhi menurunnya perolehan suara Golkar. Sehingga pada pemilu 2009, Golkar seakan tidak siap untuk menerima kekalahan. Publik seakan tidak percaya perolehan suara Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto pada Pemilu 2009 sangat minim. Walau kalah dan menang dalam dunia politik adalah hal yang lumrah, namun untuk Golkar sebagai Parpol besar, kekalahan pada Pemilu 2009 merupakan sebuah tamparan dan aib.
Oleh karena itu, melihat kiprah Golkar pada Pileg dan Pilpres lalu yang menuai banyak kekalahan, revitalisasi peran politik perlu dilakukan Golkar untuk kembali memperkuat amunisi menjelang Pemilu 2014. Pada Pemilu 2009, banyak suara pendukung Golkar beralih ke parpol lain. Termasuk massa ideologis Golkar yang bertahun-tahun setia memilih Golkar. Demikian pula pada pertarungan Pilkada di beberapa daerah lalu, Golkar terbukti keok menghadapi lawan-lawan politiknya. Banyak jagoan-jagoan Golkar yang tersungkur (baca:kalah).
Maka sebagai partai yang kalah baik dalam Pileg maupun Piplres kemarin, sudah saatnya Golkar melakukan refleksi dan instropeksi untuk mengkaji ulang kekuatan, daya saing, dan besaran legitimasi rakyat terhadap Golkar. Pasca runtuhnya kekuasaan Orba dan pasca pemilu 1999, Golkar seolah kehilangan sentuhan sebagai organisasi politik yang sudah makan asam garam kehidupan politik di negeri ini. Kekalahan Golkar pada beberapa Pilkada di tanah air dan terakhir pada Pileg dan Pilpres kemarin semakin kuat menunjukan rapuhnya infrastruktur dan konsolidasi partai. Walaupun kalah dan menang adalah hal lumrah dalam dunia politik, namun sebagai partai yang sarat pengalaman, beberapa kasus kekalahan sebagai imbas dari mekanisme pemilihan langsung pada beberapa arena pertarungan pada Pilkada di beberapa daerah lalu mengisyaratkan menurunnya legitimasi rakyat terhadap kader-kader Golkar. Pergeseran orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien, ke pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis juga menjadi faktor kekalahan Golkar.
Menyadari hal ini, maka tidak ada cara lain bagi elit Golkar selain memikirkan format politik apa yang akan digunakan Golkar untuk kembali meraih kepercayaan rakyat. Dan salah satu solusi dari sekian banyak solusi yang ada adalah Golkar bisa menjadi oposisi. Namun pertanyaannya kemudian, beranikah Golkar menjadi partai oposisi setelah sekian tahun identik sebagai organisasi politik penyokong Orde Baru? Selain bahwa Golkar belum punya pengalaman menjadi partai oposisi.
Menjadi oposisi bukan sebuah pandangan politik turunnya strata politik sebuah partai. Menjadi oposisi juga bukan berarti menghalangi kerja-kerja pemerintahan. Justeru sebaliknya, pilihan menjadi oposisi akan semakin memperkuat identitas ideologis partai tersebut. Oposisi adalah salah satu kekuatan politik negara demokratis. Melalui kiprahnya sebagai partai oposisi, Golkar bisa meraih simpati rakyat dengan peran-peran mereka, turut menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang benar-benar tertuju kepada rakyat, sekaligus melakukan counter issue atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Mungkin dengan menjadi oposisi, Golkar akan kembali menemukan ’sentuhan aslinya’.
Jika Golkar menjadi oposisi, maka dipastikan peta kekuatan oposisi di parlemen semakin kuat karena PDIP dan Gerindra hampir pasti menjadi oposisi. Kekuatan ini bisa bertambah jika Golkar dan Hanura bergabung dalam koalisi oposisi bersama PDIP dan Gerindra. Koalisi empat partai ini akan menjadi oposisi yang paling kuat karena menguasai 43, 9 persen dari 560 kursi di parlemen.
Sebagai perbandingan, salah satu faktor keberhasilan sistem presidensil di AS adalah karena konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu.
Maka untuk mengawal wacana pasca Pilpres ini, publik menunggu langkah politik dan kepiawaian SBY dalam meramu kabinet untuk mengamankan perahunya mengarungi samudra yang luas dan dalam selama lima tahun kedepan. Perahu yang akan dinakhodainya, membawa dua ratus dua puluh juta nyawa, dibantu para abdi yang ahli dalam bidangnya. Publik juga menunggu kiprah partai yang berani menjadi oposisi sebagai salah satu kekuatan politik negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Beranikah Golkar menjadi oposisi?
tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi 3 Agustus 2009
Memperkuat Sistem Presidensil, Mencegah Kabinet "Badut"
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Rilis beberapa lembaga survey terhadap hasil Pilpres 8 Juli lalu telah memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara diatas 50 persen. Jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Kemenangan ini juga dianggap sempurna oleh tim kampanye SBY-Boediono karena Pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Walau masih menunggu hasil resmi dari KPU pada 22-24 Juli mendatang, namun rilis lembaga survey tersebut sudah bisa mempengaruhi opini publik tentang siapa pemenang Pilpres. Seolah mengikuti jejak pemilu legislatif 9 April lalu yang memenangkan partai Demokrat, perlahan namun pasti, Demokrat semakin jauh mengungguli Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini. Ketokohan dan kharismatik SBY mampu memikat jutaan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Demokrat dan SBY. Sambil menunggu hasil resmi dari KPU, kemenangan SBY-Boediono tersebut untuk sementara meramaikan wacana koalisi kabinet dikalangan elit partai yang masuk dalam koalisi pemenangan SBY-Boediono maupun yang tidak. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar politik untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi. Tapi lepas dari itu, sinyal bahwa SBY ingin memperkuat sistem presidensil ketika memutuskan menggandeng Boediono sebagai cawapres dari kalangan profesional alias non partai (walaupun menuai kekecewaan dari peserta koalisi) sebelum Pilpres lalu perlu untuk dinantikan. Apakah untuk kedua kalinya SBY berani tegas dengan melibatkan banyak kalangan profesional, teknokrat/akademisi dibanding politisi dalam penyusunan kabinet dalam visi memperkuat sistem presidensil nantinya, atau bahkan keinginan untuk membangun sistem presidensil yang kuat terhalang oleh tawar menawar dan tagih utang politik partai peserta koalisi? Kalkulasi politik ini penting untuk dipelajari dan diperhitungkan mengingat jangan sampai komposisi kabinet nantinya bukan diduduki oleh kalangan profesional, jauh dari sentimen partai, tetapi diduduki oleh kalangan partai yang tidak sedikit diantaranya mengirimkan ’badut’ sebagai menteri hanya dengan pertimbangan balas jasa. Presiden juga betul-betul mengetahui kompetensi, kapabilitas dan kredebilitas menteri-menteri yang dipilihnya sendiri atau ditawarkan oleh partai, mencegah agar presiden tidak ’membeli kucing dalam karung’ yang dikhawatirkan bisa menciderai kinerja kabinet. Memperkuat Sistem Presidensil Di beberapa negara yang menganut sistem presidensil seperti Amerika Serikat misalnya, sistem presidensil menjadi kuat karena setidaknya ditopang oleh dua faktor utama; besarnya dukungan partai di parlemen. Dukungan mayoritas di parlemen ini memudahkan presiden dalam meramu kabinet tanpa terlalu khawatir akan tekanan dari pihak oposisi, setidaknya dalam mengamankan kebijakan-kebijakan strategis yang akan mendapatkan tantangan dari kalangan oposisi. Faktor kedua adalah kemampuan presiden untuk meramu kabinet yang aman dan akomodatif, selain karena kompetensi dan figuritas seorang presiden. Aman dan akomodatif dalam arti sang presiden mampu menempatkan figur yang tepat pada posisi yang tepat pula (right man in the right place) sehingga kebijakan yang dijalankan juga tidak setengah-setengah dan over lapping. Hal ini cenderung didasari pertimbangan kompetensi dan profesionalisme mengingat masa pemerintahan berlangsung selama lima tahun dan sangat beresiko menempatkan figur yang tidak sesuai. Walaupun ada mekanisme reshuffle. Di Amerika serikat, sistem presidensil begitu kuat juga karena faktor konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan kekuasaan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan melakukan counter issue dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu. Untuk faktor yang pertama ini, SBY tidak perlu berpikir keras tentang dukungan partai di parlemen. Demokrat sebagai kendaraan politiknya yang memenangi pemilu legisaltif lalu dengan perolehan suara cukup besar tentu akan loyal mendukung program-program strategis pemerintah. Ditambah lagi dengan dukungan partai peserta koalisi yang lain seperti PKS, PPP, PKB, maka posisi presiden sudah cukup kuat dan tidak perlu terlalu khawatir dengan tekanan oposisi. Komunikasi politik dengan wakil presiden pun tidak terlalu rumit dan politis dikarenakan Boediono adalah seorang profesional, bukan dari kalangan partai. Hal ini akan semakin memudahkan dan mengharmoniskan kinerja pemerintahan antara presiden dan wapres. Untuk meramu format presidensil yang kuat, maka SBY-Boediono secara cermat harus mempertimbangkan beberapa faktor. Diantaranya adalah dukungan ideologis dalam kabinet. Pertimbangan ideologis ini memiliki nilai sensifitas tinggi dikarenakan massa ideologis antara partai-partai di Indonesia juga sangat banyak dan mengakar sampai ke grass root, masing-masing memiliki rasa fanatisme tinggi serta didukung dengan infrastruktur politik yang mumpuni. Peta ideologi partai politik di Indonesia secara umum dibedakan dalam dua golongan besar, nasionalis dan agamis. Penggolongan dan pergumulan ideologi antara nasionalis dan agamis ini telah terjadi jauh sebelum Indonesia berdiri dan menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dua ideologi ini yang juga turut andil dalam memberikan sumbangsih terhadap pembentukan infrastruktur negara hingga kini. Sembilan partai yang masuk parlimentary treshold dalam Pileg 9 April lalu, empat diantaranya adalah parpol yang mengenakan simbol Islam (PKS, PPP, PKB, PAN), sedangkan lima lainnya adalah partai nasionalis (PD, PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura). Terlepas dari apakah kabinet SBY-Boediono akan memakai tenaga PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres lalu dalam meramu kabinet, namun penting juga untuk menghitung kekuatan empat partai ini. Hanya empat partai ini dalam format parlimentary treshold yang tidak masuk dalam koalisi pemenangan SBY-Boediono pada Pilpres lalu. Maka jelas bahwa kepiawaian SBY dalam meramu kabinet yang akomodatif dari kombinasi ideologis ini juga turut menentukan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang akan dijalankan lima tahun kedepan. Tulisan ini pernah dimuat dalam Opini Tribun Timur, Rabu 29 Juli 2009 |
Demokrasi (Tidak) Untuk Dijual
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Selama 10 tahun reformasi yang didahului dengan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Pemilu Tahun 1999 yang diikuti oleh 48 Parpol kemudian dilanjutkan dengan pemilu demokratis pada tahun 2004 dan 2009 telah menandai babak baru pertumbuhan embrio demokrasi di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan juga dibuat untuk memperkokoh fondasi demokrasi dan menciptakan civil society yang kuat. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibuat untuk memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban antara negara dan warga negara sekaligus sebagai pembatas kekuasaan penyelenggara negara. Era kebebasan dan transparansi informasi mendapat jaminan dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik semakin memperluas partisipasi dan pendidikan politik (political education) masyarakat. Jaminan kebebasan berkumpul, bersuara dan berpendapat mendapat ruang dalam perluasan pasal 28 (A-J) Amandemen ke-4 UUD 1945. Untuk memperkuat hal tersebut UU No 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Isipol/ICCPR) semakin menyemarakkan kehidupan politik di Indonesia. Secara kelembagaan, demokrasi diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dibentuk pada Amandemen ke-3 UUD 1945, semakin memperluas partisipasi politik masyarakat di daerah untuk berkomunikasi dengan pusat tanpa harus melalui partai politik. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat tepat sebagai tempat ’mengeluh’ warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar UUD untuk mengajukan judicial review UU terhadap UUD (MA UU terhadap peraturan dibawah UU). Selain itu UU No 22 Tahun 2004 tentang KY juga membuat diskrsus tentang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka (independent of judiciary) antara cabang kekuasaan kehakiman semakin seru dan menarik. Kemudian, untuk menghapus trauma sentralisasi kekuasaan pada masa Orba, pembuatan UU No 12 Tahun 2008 sebagai perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 yang mengantikan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah semakin membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan. Pemilihan Umum secara langsung tahun 2004 dan 2009 juga membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu berdemokrasi setelah selama 32 tahun lamanya, cerita demokrasi di Indonesia menjadi sangat mahal harganya pada masa rezim Orba. Namun ada sebuah kegelisahan yang muncul dibalik semua kisah ’kesuksesan’ itu. Benarkah kita sudah membangun sebuah fondasi kenegaraan melalui sistem demokrasi yang kuat? Demokrasi Kontekstual Kisah kesuksesan yang penulis kemukakan dalam pandangan diatas, hanyalah kulit luar dari lapisan dalam demokrasi kita yang sebenarnya sangat rapuh. Ketika Parpol menjamur pasca reformasi ’98 dan mengikuti Pemilu ’99 dan 2004, muncul secercah harapan akan perkembangan sistem kenegaraan dan menjamin peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Ruang kebebasan publik dibuka selebar-lebarnya, hal yang tidak terjadi ketika rezim Orba berkuasa. Tetapi siapa yang sangka, euforia pembentukan Parpol juga diikuti dengan nafsu kekuasaan yang menyebabkan demokrasi kita hanya mampu bertahan jika disokong dengan ‘gizi’ yang banyak. Seharusnya, setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan diatas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, semestinya reformasi kita berjalan mulus. Tetapi mengapa malah sebaliknya, reformasi dan demokrasi di Indonesia seolah stagnan. Ibarat kapal kehabisan bahan bakar, nyaris karam dihantam gelombang dilautan lepas. Demokrasi kita cenderung menyemarakkan perilaku korupsi yang bukannya menurun, tetapi mengalami peningkatan secara kuantitas dan kualitas. Ketika rezim Orba berkuasa, korupsi terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Ini dikarenakan sistem sentralisasi kekuasaan memungkinkan elit Orba menjadi pemain kunci dalam ’pembagian lahan’ proyek di Indonesia. Tetapi ketika rezim Orba runtuh, skala korupsi menjadi lebih kecil tetapi menjamur sampi ke level paling bawah. UU No 12 Tahun 2008 sebagai perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disatu sisi, tidak hanya membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan, tetapi membuka peluang korupsi menjadi lebih besar. Korupsi dikerjakan secara ’beramai-ramai’, walaupun dengan skala yang lebih kecil. Akibatnya tiap tahun, Transparansi Internasional selalu menyindir kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Memang benar, demokrasi kita menang secara kuantitas, tidak secara kualitas. Demokrasi kita juga menang pada tataran legislasi, tetapi lemah pada implementasi. Pembentukan lembaga-lembaga negara, pembuatan peraturan perundang-undangan dan penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tahun 2004 dan 2009 sebagai instrumen demokrasi, hanya nampak pada tataran normatif dan sekilas mampu menghapus traumatik demokrasi yang dibungkam rezim Orde Baru dulu. Tapi sekali lagi kita harus ingat dan sadar, bahwa untuk mengukur kesuksesan demokrasi, tidak dilihat dari peningkatan kuantitas. Demokrasi harus diukur secara kualitas. Demokrasi kita adalah demokrasi kontekstual. Ketika pesta demokrasi berupa pemilihan presiden dan wakil presiden maupun Pilkada di beberapa daerah melanda, yang dijadikan patokan adalah seberapa besar para ’petarung’ membayar upeti kepada Parpol. Demokrasi kita tidak lebih sekedar demokrasi uang. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek ’money politik’ dianggap lumrah dinegeri yang mengaku berdemokrasi ini. Tiap kali ada Pemilu maupun Pilkada, media massa ramai-ramai menyoroti biaya kampanye yang berkisar milyaran rupiah. Tiap orang yang ingin menjadi pejabat publik, ’wajib’ menyetor sepersekian milyar pada parpol. Parpol lebih sibuk mencari nasabah yang mau menyumbang biaya kampanye partai ketimbang memikirkan nasib sepersekian persen rakyat Indonesia yang masih terperangkap dijaring kemiskinan. Parpol tidak lebih sebagai mesin proyek. Demokrasi kita sudah dijual. Demokrasi kita sudah dibajak! Seyogyanya, untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia, harus dilihat sejauh mana keterlibatan warga negara dalam mengakses hak dan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan dalam konstitusi tentang pemerataan sosial. Selama ini dalam praktek, umumnya rakyat masih sekedar obyek (client). Untuk menikmati sumber daya yang dikuasai negara (menurut versi pasal 33 UUD 1945), terkadang rakyat dikorbankan sebagai subordinat bagi pelaku kekuasaan. Bukan sebagai subyek yang menentukan sendiri dan mampu mengkomunikasikan secara proporsional hak-hak dan kewajibannya melalui ruang-ruang demokrasi yang dibentuk. Dalam rezim otoritarianisme, subordinasi politik itu cenderung dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Dalam demokrasi minimalis, hukumannya bisa berbentuk penutupan akses ke sumberdaya publik. Dua konsep diatas cenderung merugikan ”citizenship rights”, atau status rakyat sebagai warga negara yang merdeka. Mancur Olson, dalam karyanya Power and Prosperity, menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil. Tesis Olson diatas, dapat kita cerna sedikit untuk mencermati kondisi kenegaraan pada masa rezim Orba berkuasa. Orba, dengan kekuasaannya mampu ’menjinakkan’ oposisi, bahkan menyingkirkannya. Orba mengundang investor untuk berinvestasi dengan mengenakan regulasi longgar dan membuka peluang eksploitasi sebesar-besarnya. IMF dan Worl Bank mengepung dan menjerat Indonesia dengan pinjaman luar negeri melalui Letter of Intent (LoI) yang juga pada akhirnya membuat Indonesia terlilit utang triliunan rupiah dan bunga yang menggunung. Setelah Orba jatuh, penguasa-penguasa lokal memanfaatkan peluang tersebut untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga ke daerah. Investasi asing dibuka melalui undang-undang pertambangan, perkebunan, dan penanaman modal asing. Akibatnya tanah masyarakat adat (indigenous people) tergusur oleh roda pembangunan. Kebijakan luar negeri kita juga tidak mampu membentengi kedaulatan negara hingga kita harus kelimpungan ketika dampak kenaikan minyak dunia membuat perusahaan lokal gulung tikar dan ribuan orang kehilangan mata pencahariannya. Globalisasi melalui liberalisasi pasar modal yang kita masuki ternyata menyeret kita (negara berkembang) pada pusaran arus yang menghanyutkan Akibat keputusan kenaikan BBM, nelayan meratap tidak bisa melaut karena harga solar tinggi. Petani meradang karena harga pupuk melangit. Jumlah angka putus sekolah mengalami peningkatan, utamanya anak-anak yang terpaksa banting tulang membantu mencukupi nafkah keluarga. Angkutan darat juga merugi karena harus antre berjam-jam untuk mendapatkan BBM. Para ibu rumah tangga harus rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan satu liter minyak tanah yang hanya bisa dipakai sehari, sudah itu dua atau tiga hari lambung kompor kembali kosong. Industri banyak yang gulung tikar karena tidak bisa beroperasi. Akibatnya jumlah pengangguran bertambah dan angka kriminalitas juga mengalami peningkatan. Inikah demokrasi yang setiap hari kita bangga-banggakan diruang seminar? saya pikir sudah saatnya kita, para penggiat demokrasi mengkaji ulang sistem demokrasi yang kita terapkan kini. |
Senin, 13 Juli 2009
Surat Untuk Wakil Rakyat
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Tanggal 9 Mei kemarin KPU pusat telah mengumumkan rekapitulasi akhir hasil suara pemilu legislatif yang menghasilkan 9 partai lolos parlimentary treshold, dengan kejutan partai Demokrat yang memenangi pemilu dengan perolehan suara diatas dua puluh persen. Mengalahkan Golkar dan PDIP yang harus puas diurutan kedua dan ketiga. Dalam hal ini, demokrasi menghasilkan proses regenerasi pemerintahan melalui proses pemilu. Di seluruh penjuru tanah air, caleg yang lolos menjadi anggota DPR, DPD maupun DPRD bergembira ria mendapat pekerjaan baru, dan terlebih gelar baru sebagai wakil rakyat yang terhormat. Aib ’Yang Terhormat’ Pemilu merupakan sarana untuk mematangkan konsep demokrasi dan menciptakan renegerasi pemerintahan. Disisi lain, regenerasi pemerintahan juga berbanding lurus dan membuka peluang praktek korupsi. Sudah menjadi image bahwa selama ini gedung dewan selalu dikaitkan dengan korupsi. Asumsi ini mendasar karena beberapa hasil penelitian mengungkapkan gedung dewan menjadi tempat yang ideal untuk regenerasi koruptor. Gedung dewan adalah tempat terhormat dan ’sakral’. Terhormat karena hanya lima ratus enam puluh rakyat Indonesia yang berkesempatan menduduki kursi empuk senayan dan menyandang predikat sebagai wakil rakyat yang terhormat. Sakral, karena dirumah itulah, nasib dua ratus juta lebih rakyat Indonesia ditentukan lewat legislasi yang dibuat bersama dengan eksekutif untuk kemudian dijalankan. Lima ratus lima puluh orang mengatur dan menentukan nasib dua ratus juta rakyat dalam suatu negara. Tetapi pertanyaannya kemudian, bagaimana jika anggota dewan sendiri tidak bisa mengatur dan mengontrol dirinya dari godaan materi dan syahwat? Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini gedung dewan adalah ’sarang tikus’, istilah untuk menyebut fenomena korupsi yang marak terjadi pada lembaga tersebut. Sebagai lembaga yang merepresentasekan kedaulatan rakyat, sangat naif jika rumah rakyat yang terhormat, suci dan ’sakral’, dicemari perilaku anggotanya yang senang bermain-main dengan skandal seperti korupsi. Sekedar kilas balik dalam mengamati jejak parlemen kita. Selama ini harga diri parlemen telah cukup telak ditampar dengan berbagai skandal yang membuat wibawa parlemen jatuh. Dalam beberapa surveynya, ICW maupun TI selalu menempatkan gedung dewan sebagai lembaga terkorup. Semasa Orde Baru, korupsi di lembaga legislatif ibarat membungkus durian dalam karung. Tidak terlihat tapi baunya tercium sampai kemana-mana. Bertahun-tahun, korupsi di DPR dianggap lumrah dan sulit tersentuh hukum karena mereka yang menyusun peraturan tentang tugas dan kewenangan lembaga penyidik. Sehingga tahu, kelebihan dan kelemahannya. Selain karena rasa solidaritas dan kekompakan sesama legislator untuk saling melindungi. Jika ada kasus korupsi yang tercium, Kepolisian dan Kejaksaan segan untuk menuduh, sekalipun ada bukti permulaan yang cukup. Media juga tidak berani menyoroti, apalagi pelakunya dari partai-partai besar. Takut SIUP dan SIT dicabut oleh pemerintah dengan tuduhan pencemaran nama baik (character assanation). Kekuasaan rezim Orba yang terlalu kuat menyebabkan kedaulatan hukum tidak bermakna dan para pelanggar hukum menikmati kebebasannya. Jadilah gedung dewan ‘tempat sakral’, yang sulit untuk ‘digagahi’. Maka jangan salahkan pengamat yang menilai bahwa korupsi di Indonesia sulit untuk dihilangkan. Persoalannya sederhana, disamping faktor budaya, korupsi di Indonesia bersifat hierarki. Maka ketika sang ‘big boss’ korupsi, anak buah secara otomatis juga akan ikut. Dulu, ada stigma yang berkembang bahwa parlemen haram untuk disentuh hukum. Karena disana duduk orang-orang terhormat yang membuat peraturan. Ketika Abdurrahman Saleh sewaktu menjabat Jaksa Agung melontarkan wacana ‘kampung maling’ karena maraknya praktik korupsi dan suap yang melibatkan anggota DPR, reaksi yang muncul bermacam-macam. Ada yang murka, setengah murka, bahkan ada yang adem ayem. Karena menganggap korupsi di Indonesia sudah masuk dalam kategori ‘korupsi berjamaah’. Jadi kesan yang muncul, maling tidak usah meneriaki maling. Dalam praktek, gedung dewan sering menjadi lokasi pembuatan ‘surat sakti’ yang ujung-ujungnya juga diseret arus korupsi. Surat sakti tersebut kemudian ‘dilelang’ melalui modus konsep desentralisasi pemerintahan menggunakan politik nepotis seperti kasus Bintan dan Tanjung Api-Api. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga daerah. Gedung dewan menjadi tempat stempel tender proyek ilegal yang merusak citra otonomi murni. Orde baru memang meninggalkan kursi tapi tidak meninggalkan jejak, jejak ini kemudian diikuti beramai-ramai. Parahnya, mental yang dibangun Orba adalah mental penjarah. Mental ini yang diperlihatkan legislator kita. Gedung dewan adalah tempat terhormat. Karena yang mendudukinya adalah wakil-wakil rakyat, repersentasi dari keterwakilan Partai Politik sebagai simbol negara demokrasi. Dalam pola rekruitmen, Parpol mempercayakan figur untuk menduduki jabatan tersebut dengan beberapa pertimbangan, salah satunya integritas dan moralitas. Walaupun kecenderungan selama ini, yang jadi motivasi utama adalah faktor ‘gizi’. Ketika figur yang ditetapkan sudah ditempatkan, secara otomatis sang legislator tidak hanya mempertaruhkan kredibilitas individual sebagai anggota dewan, tetapi lebih menyeluruh, kredebilitas Parpol juga menjadi taruhan. Kasus Bintan dan Tanjung Api-Api telah menampar muka sang legislator dan parpol yang mengusung. Inilah imbas dari demokrasi yang hanya bisa bertahan jika disokong dengan ‘gizi’ yang banyak. Demokrasi yang over lapping, karena diserahkan semua pada parpol untuk mengurusi negara yang juga sulit untuk diatur. Sementara Parpol juga tidak profesional dalam menempatkan kompetensi figur. Sebagai legislator, mungkin karena merasa terhormat, segalanya bisa dilakukan. Normativitas aturan dikesampingkan demi tercapainya tujuan pribadi. Merasa istimewa karena memiliki fungi ganda. Sebagai subyek pembuat undang-undang, dan perumus anggaran negara. Merasa terhormat karena memiliki kekebalan politik (impunity), jadi hukum sewaktu-waktu bisa tunduk dihadapan pembuat undang-undang. Membersihkan ’Sarang Tikus’ Pasca pemilu legislatif 9 April lalu, kini para caleg yang terpilih diperhadapkan pada tanggungjawab besar sebagai wakil rakyat. Nasib jutaan rakyat indonesia ditentukan oleh kecakapan dan keahlian dalam merumuskan peraturan yang akomodatif. Proses demokrasi yang mulai dibangun pada tahun 1998 ditentukan oleh kecakapan sang kegislator. Demokrasi yang matang bukan ditentukan oleh kedekatan personal atau hubungan kekerabatan, karena itu akan beresiko membangun negara aristrokrat. Bukan pula ditentukan oleh besarnya asupan ’gizi’ karena akan membawa implikasi pada peluang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Demokrasi yang matang adalah demokrasi yang akomodatif, aspiratif, dan menghargai keragaman sebagai sebuah kekayaan. Sebenarnya, praktek korupsi di Indonesia bukannya tidak bisa dihilangkan, namun ada kesalahan berpikir yang membuat korupsi senantiasa beranak pinak. Salah satunya, korupsi tidak akan bisa hilang jika cara berpikir kita masih ‘inlander’ dan over materialism. Hukum dan aturan disepelekan oleh anggapan bahwa uang dapat mengalahkan segala-galanya. Bahwa sewaktu-waktu uang dapat membeli keadilan. Cara berpikir seperti ini yang terkesan masih menjangkiti para pejabat negara dan penegak hukum di Indonesia. Korupsi telah menjadi budaya karena direproduksi oleh sistem sehingga membuat setiap orang sulit menghindar dari jebakan korupsi jika sedang dalam posisi memegang kekuasaan. Korupsi telah meruntuhkan tatanan nilai dan moral ke-Indonesiaan yang tercermin dalam konsep negara kesatuan. Dalam sepuluh tahun terakhir, laporan Transparency International (TI) dan PERC selalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia dan di Asia. Edgargo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Análisis of the Causes of Corruption in the Judiciary mengatakan, perang melawan korupsi ádalah tugas utama yang harus diselesaikan dimasa reformasi. Termasuk Indonesia, ádalah mustahil untuk mereformasi suatu negara jikalau korupsi masih merajalela. Maka jika ingin melihat Indonesia bermartabat dimata dunia, maka tidak ada jalan lain selain menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (the common enemy). Pernah dimuat di Opini TRIBUN TIMUR Makasar, Edisi 21 Mei 2009 |
Demokrasi dan Regenerasi Koruptor
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Terungkapnya kasus suap yang dibeberkan oleh Artalyta Suryani sebagai saksi kunci pada persidangan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan yang mengakibatkan gedung bundar (Kejagung) dan gedung dewan (DPR) ‘kebakaran jenggot’ dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan dan beberapa anggota DPR dalam kasus suap BLBI mengindikasikan bahwa demokrasi yang selama ini digulirkan hanya sebatas wacana. Demokrasi di Indonesia tidak mengurangi budaya korup yang menunjukan grafik menanjak secara bertahap. Selama 10 tahun reformasi, capaian terbesar demokrasi kita hanya mendidik dan melahirkan koruptor. Budaya korup di Indonesia bermetamorfosa sesuai perkembangan zaman dan menciptakan regenerasi koruptor. Tidak salah kiranya jika tiap tahun TI dan PERC selalu menampar Indonesia dengan risetnya yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. Dalam konteks ini, semakin jelas kiranya bahwa praktek demokrasi kita hanya senantiasa memupuk dan mengembangbiakan koruptor. Kasus suap yang melibatkan beberapa anggota DPR dan Menteri dalam kasus pengalihan fungsi hutan maupun misteri suap aliran dana BI yang sementara hangat diperbincangkan, kembali mencoreng citra Indonesia dimata dunia dan semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah tempat potensial ‘perkembangbiakan’ sehingga melahirkan regenerasi koruptor. Sindiran ini mungkin sedikit menyakitkan bagi kita yang mendambakan terciptanya clean dan good governance pasca bergulirnya 10 tahun reformasi. Ditengah drama perburuan koruptor dan aset negara diluar negeri yang belum selesai. Ditengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, para wakil rakyat dan beberapa penegak hukum seperti Jaksa Urip malah melawan arus. Wakil rakyat telah ‘menodai’ kesucian rumah rakyat. Korupsi telah meruntuhkan iman wakil rakyat untuk tidak menodai rumah rakyat yang suci tersebut dengan bersama-sama melakukan korupsi. Disisi yang lain, kedekatan Urip, seorang jaksa senior di Kejagung dengan Artalyta, seorang pengusaha, menegaskan bahwa hukum dinegeri ini begitu mudah diintervensi oleh kuasa politik. Kepatuhan Urip terhadap Artalyta dalam salah satu rekaman percakapan di persidangan, memaksa nalar rasional kita untuk mencari alasan hukum apa yang membuat seorang jaksa senior begitu mudahnya tunduk dan hormat hingga menggadaikan idealismenya demi kepuasan materi, dan menjual keadilan kepada seorang pengusaha. Korupsi dan Demokrasi yang Kebablasan Mancur Olson, dalam salah satu karyanya Power and Prosperity, menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil. Tesis Olson diatas, dapat kita cerna sedikit untuk mencermati kondisi kenegaraan pada masa rezim Orba berkuasa. Orba, dengan kekuasaannya mampu ’menjinakkan’ oposisi, bahkan menyingkirkannya. Orba mengundang investor untuk berinvestasi dengan mengenakan regulasi longgar dan membuka peluang eksploitasi sebesar-besarnya. IMF dan Worl Bank mengepung dan menjerat Indonesia dengan pinjaman luar negeri melalui Letter of Intent (LoI) yang juga pada akhirnya membuat Indonesia terlilit utang triliunan rupiah dan bunga yang menggunung. Ketika rezim Orba, korupsi terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Ini dikarenakan sistem sentralisasi kekuasaan memungkinkan elit Orba menjadi pemain kunci dalam ’pembagian lahan’ proyek di Indonesia. Tetapi ketika rezim Orba runtuh, skala korupsi menjadi lebih kecil tetapi menjamur sampi ke level paling bawah. Disatu sisi, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak hanya membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan, tetapi membuka peluang korupsi menjadi lebih besar. Korupsi dikerjakan secara ’beramai-ramai’, walaupun dengan skala yang lebih kecil. Kasus Tanjung Bintang dan Tanjung Api-Api adalah bukti lemahnya sistem hukum kita. Setelah Orba jatuh, penguasa-penguasa lokal memanfaatkan peluang tersebut untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga ke daerah. Investasi asing dibuka melalui undang-undang pertambangan, perkebunan, dan penanaman modal asing. Kasus Migas, pembalakan liar dll, adalah bukti nyata sisi lemah sistem hukum kita yang menyerahkan kekuasaan kepada kapitalis. Akibatnya tanah masyarakat adat (indigenous people) tergusur oleh roda pembangunan. Kebijakan luar negeri kita juga tidak mampu membentengi kedaulatan negara hingga kita harus kelimpungan ketika dampak kenaikan minyak dunia membuat perusahaan lokal gulung tikar dan ribuan orang kehilangan mata pencahariannya. Globalisasi melalui liberalisasi pasar modal yang kita masuki ternyata menyeret kita (negara berkembang) pada pusaran arus yang menghanyutkan Pada kenyataannya, penegakan hukum (law enforcement) terhadap kasus korupsi selama satu dasawarsa tidak menunjukan perubahan dan hasil yang signifikan terhadap perubahan sikap, komitmen, perilaku, dan kinerja birokrasi. Termasuk kinerja lembaga penegak hukum (Opini Kompas 22 Agustus 2008). Ketika UU N0 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan keputusan politik pemilihan Presiden dan Pilkada secara langsung disahkan, ada harapan akan adanya peningkatan kualitas berdemokrasi dalam kehidupan bernegara hingga melahirkan civil society yang kuat melalui konsep desentralisasi pemerintahan untuk menghapus sentralisasi pemerintahan ala Orba yang memupuk budaya korup di pemerintahan. Namun seperti yang sudah terjadi, UU Pemda melalui konsep desentralisasi juga tidak bisa mencegah mewabahnya virus korupsi hingga ke daerah. Mekanisme pemilihan langsung juga terbukti tidak mampu menjinakkan korupsi. Dalam kehidupan politik kita, sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek ’money politik’ dianggap lumrah dinegeri yang mengaku berdemokrasi ini. Tiap kali ada Pemilu maupun Pilkada, media massa ramai-ramai menyoroti biaya kampanye yang berkisar milyaran rupiah. Tiap orang yang ingin menjadi pejabat publik, ’wajib’ menyetor sepersekian milyar pada parpol. Parpol lebih sibuk mencari nasabah yang mau menyumbang biaya kampanye partai ketimbang memikirkan nasib sepersekian persen rakyat Indonesia yang masih terperangkap dijaring kemiskinan. Seyogyanya, untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia, harus dilihat sejauh mana keterlibatan warga negara dalam mengakses hak dan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan dalam konstitusi tentang pemerataan sosial. Selama ini dalam praktek, umumnya rakyat masih sekedar obyek (client). Untuk menikmati sumber daya yang dikuasai negara (menurut versi pasal 33 UUD 1945), terkadang rakyat dikorbankan sebagai subordinat bagi pelaku kekuasaan. Bukan sebagai subyek yang menentukan sendiri dan mampu mengkomunikasikan secara proporsional hak-hak dan kewajibannya melalui ruang-ruang demokrasi yang dibentuk. Dalam rezim otoritarianisme, subordinasi politik itu cenderung dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Dalam demokrasi minimalis, hukumannya bisa berbentuk penutupan akses ke sumberdaya publik. Dua konsep diatas cenderung merugikan ”citizenship rights”, atau status rakyat sebagai warga negara yang merdeka. Pernah dimuat di Opini Tribun Timur Makassar, Edisi Nopember 2008 |
Penegakan Hukum, Antara Law in Book dan Law in Action
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konsitusi PuKAP-Indonesia Dalam Indonesia Law and Society (1999), Timothy Lindsey mengatakan bahwa negara hukum adalah negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada aturan main. Ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998, banyak pihak berharap konsistensi penegakan aturan hukum tanpa pandang bulu berdasarkan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) dilaksanakan. Peralihan kekuasaan antar-rezim menjanjikan sebuah harapan ke arah kehidupan demokrasi yang lebih baik. Sejarah kelam rezim Orba yang menomorduakan penegakan hukum dan merekayasa bahasa hukum untuk melanggengkan kekuasaan mengakibatkan hilangnya tiga tujuan utama hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Hukum di jalankan di atas pembungkaman dan kepura-puraan. Harapan para pihak agar reformasi yang digulirkan melahirkan tatanan kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan bernegara bukannya tanpa alasan. Dalam proses kelahirannya, era reformasi merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap keadaan lama (status quo) rezim Orba yang menerapkan monopoli politik. Monopoli yang tidak juga membawa Indonesia keluar dari kungkungan krisis ekonomi pada paruh 1997. Angka kemiskinan dan pengangguran meningkat, utang luar negeri menumpuk, korupsi merajalela, delegitimasi politik atas hukum yang sedemikian kuat, dan menurunnya kepercayaan rakyat atas kepemimpinan elite hingga menimbulkan reaksi keras menuntut perubahan merupakan gejala sosial yang menuntut pemecahan secara cepat dan cermat. Dalam konsep penegakan hukum, era reformasi menginginkan suatu perubahan paradigma hukum yang dapat menciptakan sistem sosial yang lebih demokratis dan dapat menyerap aspirasi rakyat tanpa pandang bulu. Sebuah paradigma yang tidak hanya melihat hukum sebagai huruf-huruf mati sebagaimana tertulis dalam KUHP/KUHAP dan beberapa peraturan tertulis lainnya. Bukan pula paradigma hukum yang tidak mampu menembus tembok-tembok birokrasi yang buta dan tuli dalam tujuannya menciptakan keadilan bagi rakyat. Namun sebuah paradigma yang memiliki visi yang jelas. Visi mewujudkan negara hukum yang demokratis, aspiratif dan akomodatif. Penegakan hukum tanpa pandang bulu sebagai penghargaan terhadap konsep kedaulatan rakyat. Hukum dan Politik; Hubungan Tuan dan Budak Tidak salah memang ketika banyak pihak yang mengatakan bahwa dalam proses pemilu yang sementara berjalan, kedaulatan hukum telah digadai demi tujuan politik. Hal ini wajar mengingat hukum adalah produk politik. Hukum dan politik adalah hubungan "tuan" dan "budak", atasan dan anak buah. Hukum dari awal keberadaannya tetap sebagai ilmu yang konsisten menjaga prinsip-prinsip independensi dan universalitasnya, namun intervensi politik yang terkadang membuat hukum lebih menonjolkan sisi individualitas sehingga kehilangan makna aslinya. Dalam hal ini undang-undang pemilu ibarat pisau bermata dua, tidak saja menjadi sarana politik sebagai proses regenerasi pemerintahan namun juga menjadi pintu yang penuh dengan "jebakan". Pintu jebakan bagi pihak-pihak yang tidak berdedikasi. Dalam beberapa kasus yang terjadi, proses pelaksanaan pemilu diwarnai cerita-cerita memilukan dari aib demokrasi. Kilauan materi dan mahalnya ongkos politik telah mempreteli idealisme aparat hukum yang melanggar sumpahnya mewujudkan pemilu yang transparan, jujur, adil dan bermartabat dengan terlibat dalam skandal seperti manipulasi suara. Abdi negara yang bekerja dibawah sumpah undang-undang pemilu, telah memilih jalan yamg salah dengan menggadaikan kepercayaan rakyat. Bahasa hukum melalui undang-undang pemilu tidak dimaknai sebagai sarana dalam menyampaikan aspirasi politik secara jujur dan bertanggungjawab untuk membangun kualitas kehidupan bernegara yang lebih kuat. Tetapi lebih dilihat sebagai objek menjanjikan eksploitasi materi dari skandal manipulasi suara. Dedikasi dan profesionalisme menjadi barang usang yang bisa digadaikan sewaktu-waktu. Pelaksanaan pemilu telah melahirkan fenomena baru, fenomena "tuan" dan "budak". Dalam kekisruhan pemilu yang sementara ramai dibicarakan, elite politik yang merasa kepentingannya dilanggar maupun karena jumlah perolehan suaranya relatif kecil, menganggap kacaunya pelaksanaan pemilu diakibatkan lemahnya koordinasi dalam hierarkis satuan kerja hingga tidak sedikit di antara mereka yang mengugat KPU karena dinilai gagal dalam permasalahan DPT. KPU sebagai pihak yang merasa dipojokkan membela diri dengan berpatokan pada undang-undang pemilu. Saling tuding sebagai pihak yang paling benar membuat legitimasi pemilu diragukan menurut sebagian orang. Jadilah proses pemilu sebuah sinetron politik yang sarat kepentingan dan jauh dari substansi demokrasi. Dalam proses ini kemudian, pesimisme rakyat akan lahirnya sebuah pemerintahan yang kuat kian terbukti dengan menurunnya legitimasi hasil pemilu. Respons masyarakat sangatlah sederhana. Bagaimana mungkin menggantungkan harapan pada sebuah sistem yang proses pelaksanaannya diragukan karena cacat hukum? Bagaimana mungkin keterwakilan aspirasi politik masyarakat hanya berkisar sepersekian persen dari jumlah dua ratus dua puluh juta penduduk? Dan bagaimana mungkin nasib dua ratus dua puluh juta penduduk ditentukan oleh kalkulasi politik partai yang juga terbukti hanya mementingkan kepentingannya sendiri-sendiri? Setengah Hati Di Indonesia, konsistensi penegakan hukum untuk mewujudkan kedaulatan hukum masih terkesan diterapkan setengah hati. Bahasa hukum masih dimaknai hanya sebatas teks-teks mati, bukan sebagai alat rekayasa sosial untuk mewujudkan tiga tujuan hukum; keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Klimaks dari proses pemilihan umum sebagai bagian dari alur perjalanan demokrasi yang mulai digulirkan pada tahun 1999, terlihat belum mampu menghasilkan formula baku yang mampu membuktikan bahwa kita adalah negara yang betul-betul menerapkan konsep negara hukum secara konsisten. Ibarat kain yang sobek, negara hukum kita penuh dengan tambalan-tambalan. Prestasi empat kali amandemen UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002 belum mampu membersihkan lembaga-lembaga negara dari praktik haram korupsi. Perkembangan korupsi di Indonesia bukan karena kekurangan instrumen hukum. Bahkan (kalau boleh saya simpulkan), dibandingkan negara lain, Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak instrumen hukum pemberantasan korupsi. Ditambah lagi dengan lembaga superbody seperti KPK dan Pengadilan Tipikor yang membuat nyali koruptor menjadi ciut. Namun korupsi tumbuh subur dan sulit dihilangkan di Indonesia karena kita masih belum menghargai dan menghormati hukum. Kita masih memandang setengah hati konsep penegakan hukum yang diwacanakan. Membaca klimaks dari alur pemilu, setidaknya ada beberapa masalah yang untuk beberapa tahun ke depan, masih sulit untuk bisa diselesaikan. Pertama; penegakan hukum akan selamanya menjadi mimpi di siang bolong karena karakter politik yang cenderung membatasi kedaulatan hukum. Ketika berhubungan dengan kepentingan elite, maka bahasa hukum diselewengkan untuk sekadar mencari selamat dan nama baik partai terjaga. Hal ini dimaklumi mengingat produk hukum yang dihasilkan cenderung mengikuti selera partai di parlemen. Kedua, konsep kemandirian ekonomi masih jauh dari harapan (jauh panggang dari api) karena formula regulasi ekonomi yang dihasilkan di parlemen terjebak konsep kapitalisme global yang mengikuti selera pasar (market). Dalam mekanisme free market, konsep ekonomi kerakyatan akan susah bertahan di tengah serbuan produk asing yang tidak saja unggul dari segi merek dan kualitas, tetapi karena faktor teknologi. Dengan model ekonomi yang diterapkan sekarang ini, Indonesia dengan kekayaan alamnya, selamanya akan menjadi negara penyokong utama sumber bahan baku yang ketika di produksi di negara-negara industri besar, dikirim kembali ke Indonesia dengan harga pasar yang jauh lebih mahal. Ketiga, regulasi yang melindungi objek-objek vital negara (yang perlindungannya dijamin dalam pasal 33 UUD 1945) masih cenderung membuka wilayah eksploitasi yang luas bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Banyak fakta yang menunjukkan kerusakan ekologi akibat eksploitasi berlebihan sumberdaya alam diakibatkan regulasi lokal dan nasional yang terlalu longgar terhadap investasi asing. Namun sumber utama dari permasalahan ini adalah aturan hukum (rule of law) kita yang tidak konsisten membahasakan Indonesia sebagai negara hukum. Aturan hukum kita hanya sebatas slogan, bukan tindakan. Law in book (hukum dalam teks/bahasa) berbeda dengan law in action (hukum dalam penerapannya). (**) Tulisan ini dimuat di Opini FAJAR, edisi 11 Mei 2009 |
Tragedi TKI, "Sinetron" yang Berulang
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Merebaknya kasus penganiayaan yang menimpa TKI utamanya Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita di Malaysia ibarat sinetron yang selalu terulang tanpa diketahui ending ceritanya. Keseluruhan naskah cerita tentang TKI ini membuktikan sang sutradara (baca:negara) tidak serius memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap TKI. Dalam hal perjanjian kerja, 70% ternyata melegitimasi eksploitasi TKI dan menguntungkan majikan (Tajuk Kompas, 29/06/09). Dari tahun ke tahun, masalah TKI yang selalu terulang ini cukup menganggu’keharmonisan’ hubungan RI-Malaysia. Apa yang terjadi dalam ’sinetron’ TKI ini membuka mata kita akan kurangnya kepedulian pemerintah dalam hal perlindungan hukum terhadap TKI di luar negeri. Perangkat hukum yang diantaranya telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri ibarat senapan tanpa peluru. Dalam Pasal 2 undang-undang tersebut jelas dikatakan bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI adalah berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Namun aspek hukum dan kemanusiaan dalam prosedur penempatan TKI ini tidak mendapatkan porsi utuh dari negara. Fakta ini sekali lagi membuktikan bahwa negara hanya bisa memproduksi dan menghasilkan peraturan, namun di sisi lain lemah pada wilayah implementasi. Memang sejak beberapa tahun lalu, pengiriman TKI keluar negeri dianggap salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia. Sebagai negara yang masuk kategori miskin di Asia, pemerintah menempuh cara penyaluran tenaga kerja di negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja, seperti Malaysia dan Arab Saudi dengan harapan bahwa devisa yang disumbangkan dari sektor ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Persepsi ini tidak sepenuhnya keliru, namun juga memiliki kadar resiko tinggi jika tidak dikerjakan dengan cara yang benar. Pemerintah hanya melihat satu sisi sumbangan devisa dari jasa TKI tersebut, namun sisi lain seperti perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan tidak dipikirkan. Sistem pengawasan secara penuh untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan para TKI juga tidak diperhatikan. Para TKI dilepas begitu saja dengan bekal kemampuan SDM yang masih minim. Perjanjian kontrak antara TKI, majikan dan PJTKI juga tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban masing-masing sehingga TKI berada dalam posisi pasif. Sehingga TKI sangat rawan dieksploitasi dan mengalami kasus kekerasan. Banyak indikator untuk mengukur lemahnya komitmen negara dalam perlindungan TKI. Namun diantara itu; kurangnya perangkat perlindungan, lemahnya posisi tawar (bargaining position), hingga tumpang tindihnya peran pemerintah menjadi faktor penyebab utama penanganan TKI di luar negeri terbengkalai. Dalam hal perangkat perlindungan, secara domestik, perangkat hukum terlihat jelas tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban antara TKI, Majikan dan PJTKI. TKI cenderung dijadikan obyek pemerasan dan ladang eksploitasi majikan dan PJTKI. Sedangkan dalam Pasal 7 UU No 39/2004 dikatakan bahwa negara wajib menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI, baik yang berangkat melalui pelaksanaan penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri; mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI; membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri; melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; memberikan perlindungan pada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan. Dalam aspek politik, lemahnya posisi tawar (bargaining position) pemerintah dalam melakukan upaya diplomasi untuk sinkronisasi bahasa hukum regulasi nasional antara kedua negara (INA-Malaysia) dalam hal prosedur penempatan dan perlindungan terhadap TKI juga menjadi masalah serius. Antara pihak-pihak terkait, Deplu dan Depnaker seyogyanya proaktif membuat formulasi bahasa hukum perjanjian kerja yang bisa disepakati kedua negara. Sinkronisasi bahasa hukum antara kedua negara tentang perjanjian kerja dan perlindungan hukum terhadap TKI ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap para TKI. Namun upaya ini tidak mendapat perhatian serius, sehingga saban hari KBRI Malaysia terus disesaki laporan tentang kasus kekerasan yang menimpa TKI. Belum lagi kasus Manohara dan sengketa Blok Ambalat antara kedua negara yang sementara ramai diperbincangkan. Padahal jika dikaji dari segi kadar kebutuhan, Malaysia termasuk negara yang sangat bergantung pada stok tenaga migrant asal Indonesia. Industri perkebunan dan rumah tangga di Malaysia kesulitan mendapatkan tenaga kerja lokal sehingga sangat bergantung pada stok tenaga asal Indonesia yang 50% tenaga kerja migrant di Malaysia berasal dari Indonesia (Kompas 30/06/09). Fakta ini seyogyanya bisa dijadikan amunisi dan alasan hukum untuk ’menekan’ pemerintah Malaysia dalam hal perlindungan terhadap TKI. Erosi Wibawa Maraknya kasus kekerasan yang menimpa TKI di Malaysia ibarat jarum jam yang selalu berulang. Dalam masalah TKI ini wibawa dan kedaulatan negara sedang diuji dan dipertaruhkan. Wibawa negara mengalami pengikisan (baca: erosi) akibat keteledoran aparaturnya. Keteledoran yang terlampau percaya dan yakin pada keampuhan undang-undang tetapi kurang mempertimbangkan dan menghargai aspek kemanusiaan dalam prosedur penempatan TKI. Sekian lama, ada kesalahan berpikir yang kemudian menjadi sebuah stigma bahwa TKI di luar negeri adalah orang-orang bodoh, tak berpendidikan (mayoritas demikian), yang mempertaruhkan harga diri bangsa dan negara dan menyandang status sebagai ’anak bangsa yang terbuang’ sehingga tidak perlu diurusi, tanpa kepedulian dan perlindungan hukum yang memadai dari negara. Dari aspek kemanusiaan, persepsi ini sepenuhnya keliru dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang menekankan kesetaraan derajat dan martabat manusia. UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya/Ekosob (ICESCR) dan beberapa peraturan lainnya telah menekankan bahwa hak hidup merupakan hak asasi setiap orang untuk mendapatkan kehidupan yang layak demi kemanusiaan. Terlepas dari mampu atau tidaknya negara dalam memenuhi kebutuhan ekonomi warganya, maka setiap orang tidak boleh diganggu atau dibatasi kemampuannya dalam mencari nafkah. Negaralah sebagai organisasi pengayom yang kemudian berkewajiban menyediakan pranata hukum untuk perlindungan terhadap akses ekonomi dan hukum bagi warganya. Kasus kekerasan terhadap TKI adalah bagian kecil dari keseluruhan tragedi kemanusiaan yang menimpa pahlawan devisa di negeri orang. Upah yang minim, beratnya pekerjaan yang berbanding terbalik dengan kemampuan fisik, jam kerja yang padat dan kurangnya waktu istirahat adalah kompleksitas masalah TKI di luar negeri disamping masalah lainnya yang kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Tulisan ini dimuat di Opini FAJAR, edisi 2 Juli 2009 |
Manohara-Manohara Lain di Malaysia
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konsitusi PuKAP-Indonesia Akhir-akhir ini, media massa ramai mengangkat kasus penganiayaan dan kekerasan fisik yang dialami seorang model asal Indonesia yang diperistri pangeran kerajaan Kelantan, Malaysia, Manohara Odelia Phinot. Ribut-ribut kasus Manohara hampir-hampir menenggelamkan hiruk-pikuk isu Pilpres 2009 maupun sengketa Blok Ambalat antara Pemerintah RI dengan pemerintah Malaysia. Jadilah Manohara selebriti di dua negara. Melalui bahasa jurnalistik, publik dibuat simpati atas tragedi yang menimpa Manohara. Publik melihat kasus Manohara sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia kaum perempuan yang dalam hukum internasional telah diatur dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang di Indonesia telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 1984. Namun ada fenomena lain dari ribut-ribut kasus Manohara yang luput dari perhatian hingga membuat miris nurani kita. Dari perspektif gender, opini ini terlihat tidak berimbang. Masalah yang kemudian melahirkan protes dari sebagian Ormas atas kasus Manohara seakan menenggelamkan kenyataan selama ini bahwa di Malaysia, ribuan ’Manohara-Manohara’ lain yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) telah sekian lama mengalami kekerasan fisik dan psikis, mempertaruhkan harga diri bangsa dan negara dan menyandang status sebagai ’anak bangsa yang terbuang’ tanpa kepedulian dan perlindungan hukum yang memadai dari negara. Banyak dari perempuan-perempuan tersebut yang mungkin mengalami situasi yang jauh lebih sulit dari apa yang dialami oleh Manohara sekarang. Hukum memang terkadang tidak adil. Membandingkan status sosial antara Manohara, seseorang yang disebut-sebut memiliki darah ningrat, dengan ribuan TKW Indonesia di Malaysia yang ’tidak memiliki’ status sosial apapun sangatlah tidak proporsional. Manohara adalah seorang model dengan kualitas fisik mumpuni. Memiliki sesuatu yang mampu memikat kejantanan seorang pangeran Kelantan yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan lainnya. Sedangkan TKW kita di Malaysia adalah sekumpulan ’orang-orang terlantar’ yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi, tapi kurang mendapatkan perlindungan hukum sebagai hak selayaknya warga negara lain. Dalam kasus Manohara vs TKW, sangat tidak adil kita yang mengaku sebagai bangsa yang berpancasila dan berkeadilan sosial tetapi berpikir dan bertindak tidak pancasilais. Sangat tidak fair memberikan respon simpati yang berbeda terhadap kasus yang kadar resikonya sangat berbeda jauh. Fenomena Gunung Es; Pelanggaran Konstitusi oleh Negara Apa yang dialami Manohara berupa kekerasan fisik dan psikis merupakan bagian kecil dari keseluruhan naskah cerita tragedi kemanusiaan yang menimpa perempuan-perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW di luar negeri. Perempuan-perempuan perkasa yang berani melabrak feodalisme budaya selama ini yang terkesan menempatkan kasta sosial perempuan sebagai ’ban serep’ laki-laki. Perempuan-perempuan perkasa yang melalui keberaniannya, mencoba melawan dominasi laki-laki dan mengatakan bahwa kami juga bisa. Perempuan-perempuan perkasa yang tidak diam dan berpangkutangan ketika melihat lemahnya peran negara dalam memenuhi kesejahteraan warganya melalui lapangan kerja yang disediakan. Kasus Manohara jika dikaitkan dengan kekerasan fisik dan psikis yang menimpa TKW di luar negeri merupakan fenomena gunung es, terlihat diatas saja tetapi siklus alaminya sampai kedasar. Sekian tahun, TKW Indonesia mengalami tekanan fisik dan psikis di negeri tetangga yang selama ini sering dianggap sebagai bangsa serumpun. Atau jangan-jangan kita yang selama ini telah salah berpikir menganggap Malaysia sebagai bangsa serumpun sementara (jangan sampai) mereka justeru tidak berpikir demikian dengan cara mendiksriminasikan status sosial TKI kita? Dengan standar pendidikan dan kemampuan sumberdaya yang relatif standar, mereka diperalat oleh cukong-culong penyalur jasa tenaga kerja yang hanya bisa mengeksploitasi. Ditelantarkan oleh pemerintah Malaysia dan oleh negaranya sendiri tanpa perlindungan hukum yang memadai. Sedikit diantaranya yang menerima perlindungan hukum seperti dalam kasus Nirmala Bomat, TKW asal NTT yang mengalami penganiayaan fisik oleh majikannya. Sementara disisi lain, pirinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) menjamin semua manusia mendapatkan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi oleh negaranya. Seharusnya sejak dari dulu, kisah yang menimpa Nirmala mampu menjadi pemantik untuk membangun kesadaran kritis kita atas nasib ribuan TKW yang terlantar di negeri orang sekaligus mempertanyakan arah kebijakan negara atas prosedur penempatan TKI di luar negeri. Selain mengatur perlindungan terhadap nyawa, tubuh manusia beserta segala properti yang melekat padanya, melalui perangkat hukum yang dibuat, negara juga berkewajiban melakukan pembelaan maupun gugatan hukum untuk mewakili warga negara yang merasa hak-hak dasarnya dilanggar. ’Sinetron Manohara’ cenderung mengaburkan opini terhadap fenomena gunung es selama ini. Kesadaran publik direkayasa sedemikian rupa agar memfokuskan simpati pada Manohara saja dan menutup mata pada ratusan kasus kekerasan yang menimpa TKW Indonesia di luar negeri. Dalam ’sinetron’ ini, terlihat Manohara sebagai pemain utama dan TKW sebagai figuran. Kisah Manohara vs TKW adalah naskah yang ditulis secara tidak proporsional oleh negara sebagai sutradara terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia secara menyeluruh, termasuk terhadap warga negaranya diluar negeri. ’Manohara-manohara’ lain (baca: TKW) yang peran mereka selama ini jarang diceritakan oleh sutradara (baca: negara) merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam konstitusi sangat jelas disebutkan bahwa negara wajib memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan kepada warga negaranya tanpa diskiriminasi. Selama ini negara hanya mengangkat sekilas dari prestasi TKI dengan memberikan predikat sebagai pahlawan devisa. Sementara kewajiban menyeluruh yang mencakup kesejahteraan dan perlindungan hukum terhadap para TKI telah gagal dilaksanakan. Kisah pilu dari tragedi kemanusiaan yang dialami TKW kita di luar negeri merupakan satu contoh dari kegagalan negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Terlihat jelas bahwa negara cenderung melakukan pembiaran dan pendiaman (omission) atas pelanggaran HAM terhadap nasib ribuan TKI di luar negeri. Kewajiban negara dalam memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial kepada para TKI di luar negeri memang mutlak diperlukan sebagai tanggungjawab hukum dan hak asasi manusia. TKI selama ini terkesan diekploitasi untuk keuntungan segelintir pihak. Perjanjian kontrak yang dibuat terkadang tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kurangnya perangkat perlindungan, lemahnya posisi tawar (bargaining position), hingga tumpang tindihnya peran pemerintah menjadi faktor penyebab penanganan TKI di luar negeri terbengkalai. Tentunya kita berharap agar kasus ini tidak terjadi pada Manohara-Manohara lain di kemudian hari. Negara wajib membentengi keselamatan dan perlindungan TKI di luar negeri dengan regulasi nasional yang ketat untuk menutup ruang gerak calo-calo TKI yang selama ini telah menampar harga diri bangsa dan negara di mata dunia dalam kasus TKI. Kasus kekerasan yang menimpa TKW di Malaysia seharunya menjadi pemantik bagi kita sebagai bangsa yang mengaku berkeadilan sosial. Tulisan ini pernah dimuat di Opini FAJAR, edisi 16 Juni 2009 |
Menciptakan Demokrasi yang Demokratis
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Pada dasarnya demokrasi bukan sebuah aturan atau norma. Demokrasi adalah sebuah nilai. Nilai dari demokrasi tersebut kemudian dijewantahkan dalam bentuk aturan formal. Dalam konsep negara hukum, baik yang bertipe rechstaat (civil law) maupun anglo saxon (common law), nilai dari demokrasi tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks Indonesia, nilai dari demokrasi dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, maupun ketentuan tentang kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul (freedom to assembly) yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945 hasil Amandemen ke empat. Sedangkan secara kelembagaan, demokrasi diberikan ruang melalui pembentukan lembaga-lembaga negara seperti MPR/DPR/DPD/DPRD, serta lembaga-lembaga negara lain pada tingkat pusat maupun daerah. Menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, dan Parpol pasca reformasi ’98 juga menandakan adanya peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia yang pada masa Orba tidak dibiarkan tumbuh dalam kehidupan bernegara. Pengesahan UU No 32 Tahun 2004 yang mengantikan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan corak pemerintahan sentralistik sebagai warisan Orba semakin membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 yang memiliki kewenangan Judicial Review (peninjauan kembali) UU terhadap UUD (MA UU terhadap peraturan dibawah UU), membuka peluang bagi warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh undang-undang, untuk mengajukan Judicial Review ke MK dengan tujuan agar undang-undang tersebut dicabut atau di revisi karena bertentangan dengan UUD 1945. Secara teori, demokrasi sebagai sebuah nilai tidaklah berdiri sendiri, namun tetap bersinggungan dengan dimensi maupun disiplin ilmu pengetahuan lain, khususnya bidang kajian politik. Dalam hubungan inilah, nilai dari demokrasi tersebut bisa berubah, tergantung dari sudut pandang mana setiap orang menilai dan memainkan alur demokrasi. Demokrasi dari persepsi awam adalah bagaimana menyalurkan aspirasinya dan sebisa mungkin di laksanakan oleh legislator yang telah mereka pilih. Demokrasi dari persepsi politisi adalah bagaimana membangun relasi kekuasaan yang melibatkan beberapa aktor politik. Sedangkan demokrasi menurut kalangan intelektual adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif melalui gerakan moral (moral force). Demokrasi yang tidak dimaknai secara murni juga bisa menjadi potensi konflik. Kualitas Demokrasi Sulsel akhir-akhir ini sedang diramaikan oleh kegiatan suksesi demokrasi pemilihan kepala daerah. Di beberapa sudut kota, perang spanduk, baliho, maupun stiker-stiker membuat kota nampak seperti lautan kampanye. Tim sukses masing-masing kandidat bergerilya mencari simpati masyarakat. Masing-masing kandidat juga berlomba merebut simpati rakyat melalui simbol-simbol politik yang memungkinkan untuk meraih suara. Istilah-istilah kampanye dalam kamus politik, dipelajari dan digunakan untuk mempengaruhi psikologi massa. Tetapi kemudian muncul pertanyaan. Apakah keputusan akhir dari hasil Pilkada merupakan substansi nilai dari demokrasi itu sendiri? Dalam hal ini, demokrasi idealnya menciptakan pihak yang kalah dan menang dalam posisi yang seimbang (balance). Konsep yang terbangun dari hasil Pilkada secara normatif memang memaksa harus ada pihak yang kalah dan menang. Pilkada ibarat pertandingan Tinju atau Sepakbola. Selalu ada pihak yang kalah dan menang. Tergantung bagaimana para pemain dalam pertandingan tersebut memainkan aturan main (rule of game) secara fair dan menerima hasil pertandingan. Untuk membangun kualitas demokrasi, yang harus tercipta adalah win-win solution (sama-sama merasa menang), bukan win-lose (menang-kalah) sekalipun secara normatif mengharuskan itu. Kualitas Demokrasi dalam konteks kenegaraan adalah melahirkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang memposisikan secara seimbang antara hak-hak rakyat dan penguasa. Untuk mengetahui bahwa demokrasi berjalan dengan baik dalam proses Pilkada, maka salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana para politisi dan penguasa yang terlibat sebagai aktor utama dalam konflik tersebut menentukan posisi dan sikapnya. Penentuan sikap dalam hal ini bukan karena pengaruh loyalitas partai, bukan pula karena sentimen primordialisme. Sikap politik dalam hal ini dibuktikan dengan mengusung konsep gerakan moral (moral force) dan kerelaan mayoritas yang tidak dibangun dari ego kultur, partai dan primordialisme untuk mengusung isu Pilkada damai dalam motivasi membangun kualitas pendidikan politik (political education) yang positif pada masyarakat. Masyarakat sekarang sudah bisa menilai figur pemimpin yang baik menurut kacamata politik mereka. Kegagalan demokrasi yang dibangun selama Orde Baru telah memberi referensi berharga bagi masyarakat untuk menentukan sikap politiknya. Dalam kisruh Pilkada Sulsel beberapa waktu lalu, legitimasi masyarakat terhadap politisi, Parpol, dan institusi hukum telah menurun. Imej yang terbentuk dalam frame politik masyarakat adalah sikap politisi yang arogan dan sangat tidak dewasa. Para politisi tidak memperhatikan etika politik dalam memainkan alur politik. Apa yang mereka harapkan dari etika berpolitik berupa Pilkada damai, menjadi ’medan perang’ dalam budaya Barbar. Dalam perjalanan kenegaraan, memilih pemimpin berkualitas memang sulit, namun juga bukan mustahil. Tinggal formulasi sistem yang perlu diperbaharui untuk mencari figur pemimpin yang memiliki sifat to’manurung yang dikenal dalam budaya lokal masyarakat Sulsel. Agar kesan terhadap pemimpin yang naik dan memegang tampuk kekuasaan, bukan pesanan Parpol, melainkan keputusan masyarakat yang lahir dari keinginan bersama membangun Sulsel. Maka pola pembagian kekuasaan yang terbangun juga tidak primordial. Keputusan yang dihasilkan juga bukan pesanan Parpol. Suara yang dihasilkan juga tidak terkesan ’suara uang’. Kegagalan membangun motivasi win-win solution sebagai nilai demokrasi pada suksesi Pilkada pada beberapa daerah di Indonesia seperti Pilkada Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan jika dipelajari membuktikan kegagalan Parpol dalam membangun regenerasi dan kederisasi melalui pendidikan politik dan demokrasi hingga semakin mempersempit ruang demokrasi yang mencoba bangkit dan berdiri tegak dalam negara yang sedang membangun fondasi ideologi yang kuat. Untuk menciptakan demokrasi berkualitas, materi (baca:uang) bukan menjadi prioritas. Yang utama adalah bagaimana semua pihak mengusung gerakan kolektif dan kerelaan mayoritas untuk bangkit dari keterbelakangan. Konsep demokrasi memang diciptakan untuk menghubungkan relasi-relasi sosial tersebut berada dalam posisi seimbang. Penguasa dengan kekuasaannya, membentuk peraturan tidak secara diskriminasi. Masyarakat juga dapat memainkan peran mereka berdasarkan aturan main yang ditetapkan penguasa. Memang kita sadari bahwa, demokrasi di Indonesia baru berjalan sembilan tahun. Terlalu dini untuk berharap, agar selama sembilan tahun tersebut, Indonesia sudah mampu mewujudkan konsep masyarakat madani (civil society). Stabilitas negara masih goyah dengan isu makar. Konstitusi masih sering diributkan apakah perlu di amandemen atau tidak. Bencana alam menjadi tamu yang sering datang tanpa diundang. Amerika Serikat yang sudah mempraktekan konsep demokrasi selama puluhan tahun juga terbukti belum menemukan bingkai demokrasi yang pure. Dilihat dari sejarah yang ada, tidak mudah membangun sebuah negara yang bernama Indonesia. Sejak berdiri enam puluh dua tahun lalu, negara ini tidak pernah stabil secara politik dan ekonomi. Konflik disintegrasi akibat isu etnisitas secara politik mewarnai perjalanan negara hingga saat ini. Kepungan lembaga bantuan keuangan selama rezim Orba berkuasa membuat negara ini terjerat utang hingga triliunan rupiah. Kondisi ini akhirnya menimbulkan keinginan disintegrasi pada beberapa wilayah di Indonesia. Jika bukan karena kepiawaian pendiri negara yang berhasil merumuskan arti ”Bhineka Tunggal Ika”, maka nama Indonesia mungkin tidak akan ada dalam peta dunia. Yang ada hanyalah negara Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan negara-negara kecil lainnya. Jadi kita sebagai pelaku demokrasi, harusnya bisa bersikap lebih dewasa dan bijaksana dalam menentukan sikap politik. Tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, Opini Edisi 5 Mei 2008 |
Demokrasi Jahiliyah
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Berabad lalu, ketika generasi pemikiran Yunani kuno melahirkan tokoh-tokoh pencetus demokrasi seperti Socrates, Plato dan Aris Toteles, bahwa demokrasi adalah sebuah konsep dimana setiap pribadi merasa dihargai sebagai makhluk sosial dan zoon politicon. Demokrasi menekankan kesetaraan dan kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk turut serta dalam proses pembuatan keputusan politik dengan instrumen pendukung yang dibuat. Tetapi jangan dilupakan bahwa demokrasi juga menuntut pertanggungjawaban atas resiko keputusan politik yang dijalankan. Pertanggungjawaban yang tidak secara individu, tetapi kolektif. Karena memang demokrasi adalah sebuah keputusan kolektif. Demokrasi tidak menghendaki tirani menjadi sebuah sistem politik. Karena tirani hanya mengagungkan ketokohan seseorang yang dianggap sebagai ’tuhan’, yang memaksakan suara individu atau kelompok sebagai sebuah ’wahyu’ yang harus dipatuhi tanpa perlu di’edit’ Bertumbangnya rezim-rezim otoritarian dari kisah sejarah yang tertulis, menandakan bahwa tirani dan otoritarian tidak menghargai pluralitas dan heterogenitas. Karena sejarah tirani selalu melahirkan penindasan kaum elit atas kaum papa. Sementara demokrasi membuka ruang bagi kesempatan yang sama tanpa perbedaan warna. Demokrasi juga tidak menghendaki adanya dominasi atau hegemoni atas yang lain. Karena itu akan kembali melahirkan konsep tirani. Tirani yang bukan dalam konsep klasik, tetapi tirani modern yang kemudian melahirkan demokrasi jahiliyah. Demokrasi Jahiliyah Jahiliyah adalah sebuah situasi yang menggambarkan rusaknya tatanan norma susila dari penyimpangan perilaku yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Arab pada zaman sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Nabi. Korupsi dan penyelewenangan jabatan, orientasi seksual yang menyimpang, harkat wanita yang direndahkan, perang suku, dan beberapa penyimpangan lainnya adalah perilaku yang dianggap sebagai sebuah kewajaran tanpa perlu ada aturan yang melarang. Keadilan ditentukan oleh pemenang dalam sebuah pertempuran. Keadilan ditentukan oleh pedang. Arab ketika itu adalah Arab jahiliyah dimana demokrasi tidak mendapatkan ruang. Ketika peradaban berganti, reinkarnasi jahiliyah kembali menemukan tempatnya dalam demokrasi. Tentu dengan karakter dan ciri yang berbeda. Jika dulu larangan terhadap penyimpangan norma tidak tercantum secara tertulis, maka sekarang di alam yang ’serba demokrasi ini’, larangan tersebut secara nyata terkodifikasi dalam beberapa peraturan disertai dengan sanksi yang tegas. Namun pelanggaran terhadap aturan tersebut selalu dapat ditemui tiap saat. Praktek korupsi dan nafsu kekuasaan yang melampaui batas sampai sekarang masih menduduki rating teratas dalam lembar politik Indonesia. Ketika Pemilu langsung dilaksanakan pada tahun 2004, banyak orang berilusi bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia akan mampu membawa negara ini kearah yang lebih baik, salah satunya mewujudkan amanah konstitusi tentang pemerataan sosial. Ditengah kondisi negara yang hampir karam akibat diterjang badai krisis pada tahun 1997, dimana masalah kesenjangan sosial menjadi pekerjaan rumah utama pemerintah, wajar jika bangsa Indonesia mengharapkan berkah dari reformasi. Berkah yang akan mengeluarkan ’kapal’ Indonesia dari pusaran air yang menghanyutkan dan hampir menenggelamkan. Tumbangnya rezim otoriter Orba pada tahun 1998 setelah berkuasa selama tiga puluh dua tahun telah membuka gerbang kearah sistem pemerintahan demokrasi yang ditandai dengan disahkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang menandai dihapuskannya sistem sentralisasi Orba, serta UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai instrumen yang menjamin kemerdekaan pers. Sebuah capaian normatif yang menggembirakan ditengah trauma politik masyarakat akibat tekanan politik rezim Orba yang seakan tidak pernah kompromi dengan demokrasi. Tetapi kondisi tersebut berlawanan dengan konteks sekarang. Selama 10 tahun reformasi, demokrasi yang digulirkan masih belum mampu menjadi penghubung antara bahasa rakyat dengan bahasa penguasa. Dalam setiap keputusan yang dihasilkan, bahasa penguasa selalu berlawanan dengan bahasa rakyat sehingga Indonesia mengalami fase krisis. Krisis moral, krisis ekonomi, krisis identitas, krisis legitimasi, dan terlebih lagi krisis kepemimpinan (disturs). Hukum dan aturan disepelekan, bahkan dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan yang menyimpang. Uang dan materi menjadi ukuran utama dalam menilai keadilan. Keadilan selalu dihitung dari kalkulasi untung-rugi. Dalam pencarian model kepemimpinan, tipe kepemimpinan yang terbangun bukan dilandasi oleh motivasi kolektif, sebagaimana filosofi yang terkandung dalam asas Bhineka Tunggal Ika, tetapi oleh simbolisme kultur, ego partai dan kelompok. Sehingga mimpi untuk melahirkan kepemimpinan nasional yang berdiri diatas semua warna bendera, hanya sebatas angan-angan. Kepemimpinan yang terlihat adalah kepemimpinan simbolis, usang dan cepat lapuk ketika rezim berganti. Dalam setiap tahapan demokrasi, seperti pada momen Pemilu dan Pilkada, elit politik lebih sering menampilkan permusuhan dan pertikaian dalam drama perebutan kekuasaan. ’Kursi’ menjadi barang mewah yang selalu meminta ’tumbal’ bagi sang pemenang. Pemenang pertarungan ditentukan dari siapa yang memiliki ’logistik’ cukup. Massa awam yang kesadaran politiknya masih hijau, dipaksa untuk mengikuti ’naluri membunuh’ kaum elit sehingga terkadang demokrasi berselancar diatas konflik dan kekerasan. Dalam konteks ini, demokrasi hanya menjadikan manusia menjadi Serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Indonesia adalah negara ’unik’ yang oleh Deny Indrayana diistilahkan dalam bukunya ’negeri para mafioso’ Euforia kehidupan politik juga terlihat kebablasan. Instrumen politik yang diantaranya diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berpendapat, UU No 31 Tahun 2002 tentang Parpol dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR/Isipol) tidak dimaknai sebagai sebuah sarana dalam membangun fondasi negara yang lebih kuat. Politik sering terlihat sebagai arena pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Demokrasi dijadikan bahan jualan untuk mendapat simpati massa. Isu korupsi, suap dan money politic menjadi rahasia umum dan menjadi tantangan dalam praktek berdemokrasi. Pertarungan simbol dan ideologis menjadikan demokrasi bersifat semu. Yang menang akan merasa superior, sedangkan yang kalah hanya akan menjadi ’pecundang’. Praktek politik tanpa etika ini membuat budaya komunal sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia menjadi hilang. Disisi yang lain, pengetahuan dimanfaatkan oleh rezim untuk melakukan penindasan terhadap kelompok yang lain. Sehingga sifat pengetahuan yang bersifat universal, menjadi kaku dan terpisah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Michel Focault, yang memberikan gambaran dari sebuah rezim pengetahuan modern yang sedang bertahta dengan sistem kontrol disipliner yang melakukan penindasan atas rezim pengetahuan yang lain. Sementara Jacques Derrida menjelaskan bagaimana terjadinya kekacauan atau krisis representasi dalam hubungan antara kebenaran/penampakan, keaslian/imitasi, ucapan/tulisan, jiwa/rasio, dari rezim filsafat barat yang telah sedemikian gigih menciptakan nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran mutlak, tetapi pada faktanya hanya menciptakan oposisi, memutlakkan salah satu oposisi dan melakukan penindasan terhadap oposisi yang lain (M. Rodhi As’ad:105). Pengetahuan digunakan oleh rezim untuk melegitimasi kekuasaan dengan segala simbol-simbol politik yang sebenarnya keliru. Pengetahuan berwujud angka-angka statistik kemiskinan menjadi tidak bermakna dibalik teriakan rakyat yang kelaparan akibat mahalnya harga BBM. Pengetahuan dilacurkan untuk mengkomersialisasikan pendidikan dalam bentuk semua proyek swastanisasi dan komersialisasi. Ini yang dimaksudkan oleh Focault, bahwa ditangan penguasa lalim dan tak berperasaan, pengetahuan bisa menjadi mesin pembunuh yang mematikan. Rezim politik modern yang berlindung dibalik simbol demokrasi sekarang telah menghilangkan sifat komunal ke-Indonesiaan yang tercermin dalam konsep negara kesatuan sebagai salah satu mahakarya founding fathers. Dalam raport politik selama 10 tahun perjalanan reformasi, demokrasi belum bisa bersahabat dengan rakyat yang terus bermimpi dalam tidurnya akan datangnya ’sang ratu adil’ dalam mitos Jawa. Sang ratu yang digambarkan sebagai pemimpin kharismatik, akan membawa mereka dari alam ’jahiliyah’ ke alam yang terang benderang. Mudah-mudahan dalam pemilu 2009, sang ratu akan muncul. Bukan sebagai penonton, tapi sebagai petarung yang akan menentukan selamat atau tidaknya kapal Indonesia yang sedang berlayar menembus ganasnya badai samudera membawa dua ratus juta nyawa. Wallahu alam bi shawab Tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, Opini Edisi 12 Januari 2009.. |
Menuhankan Globalisasi
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia Banyak definisi globalisasi yang dikategorikan oleh beberapa pakar. Diantaranya, globalisasi adalah internasionalisasi, sebuah istilah untuk menggambarkan hubungan lintas-batas diantara Negara-negara (Scholte, 2000). Selain itu, globalisasi juga dimaknai sebagai liberalisasi. Dari sini, globalisasi menjadi slogan penting untuk menggambarkan proses integrasi ekonomi internasional (Sander, 1996:27). Disamping itu, rujukan pas bagi definisi globalisasi dikemukakan oleh Spybey dan Taylor bahwa globalisasi adalah westernisasi atau modernisasi atau bahkan amerikanisasi (Spybey, 1996; Taylor, 2000). Bahkan, bagi Negara-negara dunia ketiga (baca: Negara berkembang), globalisasi disamakan dengan kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000). Dalam konteks yang demikian, globalisasi adalah sebuah dinamika dimana struktur-struktur sosial dari modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dll) menyebar keseluruh dunia, dan biasanya proses penyebaran ini akan merusak keberadaan budaya-budaya dan etos lokal (Hertz, 2001:13-37). Globalisasi; Solusi atau Bencana Penulis sendiri lebih sepaham dengan pendekatan definisi yang dikemukakan Spybey dan Taylor. Umumnya, masyarakat dunia kini telah dihipnotis oleh ‘agama’ baru yang bernama globalisasi. Walaupun bagi sebagian orang (utamanya masyarakat marginal), istilah globalisasi masih terdengar`asing, namun tanpa disadari, produk globalisasi telah menjadi ‘konsumsi wajib’ bagi mereka dan masyarakat diseluruh belahan dunia. Bahkan pejabat merasa tidak afdol jika dalam pidatonya tidak menyisipkan sedikit istilah globalisasi. Disekolah-sekolah dasar, anak-anak yang baru belajar mengeja, oleh gurunya mulai diperkenalkan dunia baru yang bernama globalisasi. Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan, telah mendorong terciptanya budaya konsumeristik dan materialisme. Merk Barat, utamanya yang berbau USA, telah menjadi trend baru dikalangan remaja masa kini, tidak terkecuali mahasiswa yang telah meninggalkan kultur aslinya sebagai agen of change. Mahasiswa kini menjadi konsumen utama sekaligus korban globalisasi. Nama artis dan aktris papan atas Hollywod seperti Tom Cruise, Brad Pitt, Angeline Jolie, beserta judul filmnya yang dibuat untuk memuaskan kesenangan pribadi selama 120 menit, lebih dikenal dan dijadikan idola ketimbang nama-nama pemikir besar seperti Ali Syariati, Edward Said, Noam Chomsky, atau Antonio Gramscy yang bersuara atas nama nurani kemanusiaan. Dan ini terjadi di Indonesia. Globalisasi telah membatasi dan menjauhkan dimensi spriritualitas manusia yang sering berkomunikasi dengan tuhan melalui rutinitas ibadah. Bahkan tidak jarang Tuhan ‘dijual’ dan ‘dipertontonkan’ melalui instrumen-instrumen pendukung globalisasi. Salah satunya melalui media massa, utamanya media elektronik. Bagi yang Muslim, jika orang berbicara tuhan, cukup menghadap kelayar televisi, menonton perlombaan da’i dan da’iyah sambil mengirimkan sms dukungan. Atau mendengarkan ceramah agama oleh ustad kondang yang tidak bersedia membawakan ceramah jika tawar menawar rupiah tidak deal. Televisi telah menjadi ‘tuhan yang baru’ bagi generasi muda dengan menyediakan tayangan-tayangan yang hanya berorientasi duniawi. Lomba menjadi bintang, artis, membuat cara berpikir generasi muda Indonesia hanya memburu kesenangan, tidak memikirkan bahwa dibelahan dunia lain, ada masyarakat yang sedang kesusahan dan membutuhkan bantuan. Tayangan-tayangan hedonis menjamur dan menduduki rating tinggi dalam stasiun-stasiun televisi. Dalam kondisi ini, globalisasi telah mengikis agama dan budaya sehingga menjadikannya tabu bagi semua orang. Karena memang, tujuan akhir globalisasi adalah mengikis dan menghilangkan kemajemukan budaya, sehingga hanya ada satu budaya yang akan menjadi raja, yaitu globalisasi. Disisi yang lain, karena tidak mampu membendung laju globalisasi, institusi-institusi negara dan agama telah mendapat ‘saingan’ baru bernama globalisasi. Pemujaan terhadap makna ke-Esaan tuhan di tempat-tempat ibadah yang tidak dapat dijangkau melalui mata telanjang, mendapat tantangan baru bernama globalisasi yang menjamin bisa menemukan ‘tuhan’ ditempat-tempat yang menyediakan kesenangan dunia. Dalam bidang ekonomi, tentakel-tentakel globalisasi melalui liberalisasi pasar modal telah menyusup masuk dalam kebijakan beberapa negara yang tanpa sadar telah mengorbankan rakyatnya. Kapitalisme global bertopeng perusahaan-perusahaan multinasional (Transnational Corporation/TNC), mempreteli ideologi negara melalui undang-undang pertambangan dan investasi. Selama dua dasawarsa menjelang abad XXI, TNC mengalami perkembangan dalam jumlah maupun keuntungan. Pada tahun 1970an, jumlah TNC hanya sekitar 7.000 buah, namun pada tahun 1998 membengkak menjadi 44.508 buah. Kekuatan ekonomi TNC yang luar biasa semakin bertambah ketika era globalisasi berjalan. Mereka pada saat itu berhasil menguasasi 67% dari perdagangan dunia antar-TNC dan menguasai 34,1% dari total perdagangan global. TNC juga telah menguasai75% dari total investasi global, dan mampu mengontrol hingga 75% perdagangan dunia (Fakih,2001:214). Kini, konsumen masyarakat Asia telah tenggelam dalam kekuatan godaan budaya Barat melalui produk-produk yang dipasarkan. Makanan, minuman, pakaian, musik, seni, permainan, dan segala sesuatu yang berasal dari Barat tampak berkilau dan glamour bagi masyarakat Asia. Salah satu contoh, dalam memandang globalisasi, mungkin tidak ada gambaran yang lebih baik mengenai daya tarik gaya hidup Barat pada orang Asia selain antusiasme ratusan ribu pemuda Vietnam terhadap Coca Cola saat minuman itu pertama kali diperkenalkan di Negara itu. Sungguh ironis melihat Negara yang begitu antusias pada Coca Cola, simbol konsumerisme Amerika, adalah Vietnam. Padahal Negara itu membayar harga teramat mahal dalam bentuk nyawa rakyatnya demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan dalam menghadapi agresi dan imperialisme amerika pada tahun ’60-an (Muzaffar, 2004:133-134) Inferior; Dimanakah Barat Itu? Lalu, jika kita sering membicarakan Barat atau membandingkan antara Barat dan Timur hingga memunculkan rasa inferior tadi, timbul sebuah pertanyaan singkat. Dimanakah barat itu? Barat dari perspektif awam adalah suatu keadaan geografis yang letaknya berada dibelahan dunia lain dengan segala karakteristik yang mendukungnya. Barat juga, dalam hal ini AS dan Negara-negara Eropa selama dasawarsa terakhir telah memegang kendali atau kontrol terhadap sistem ekonomi dan politik dunia. Sehingga tidak ada satu negarapun didunia ini yang tidak mengetahui atau bahkan secara terang-terangan mengakui kehebatan ekonomi Barat yang dikomandoi Amerika. Bahkan lebih kasar lagi, istilah ‘Barat’ telah menjadikan beberapa Negara berani menggadaikan harga diri, menjadi ‘anjing penjaga’ kepentingan politik ekonomi Barat dinegaranya. Jadi sebenarnya Barat ada disekitar kita dan didalam diri kita. Barat adalah kita. Barat ada dimana-mana hingga kita mustahil membicarakan Barat sebagai sebuah entitas yang terpisah dan berbeda dengan Asia, sebuah wilayah geografik yang spesifik. Karena pada kenyataannya, Barat tidak memiliki batasan. Barat ada dalam setiap kawasan lainnya didunia (Muzaffar, 2004:135). Ketika kita mendewakan Coca Cola, KFC, McDonald lebih dari minuman dan makanan lokal yang ada, menyukai budaya (musik, film, gaya hidup) Barat tanpa proses penyaringan yang selektif, maka pada saat itulah, Barat ada didalam dan sudah menyatu dengan diri kita. Sehingga tanpa sadar telah menjauhkan entitas kita sebagai orang Timur yang juga mempunyai karakter budaya yang bisa dibanggakan. Mungkin sudah takdir menjadi bangsa terjajah, cara berpikir masyarakat di Indonesia (dan hampir semua Negara-negara di Asia) dalam memandang Barat, cenderung eksklusif, seolah tanpa cacat dan superior. Selama era penjajahan, pusat-pusat kekuatan Barat, utamanya teknologi, menancapkan kekuatannya atas budaya dan masyarakat non-Barat. Masyarakat di Asia dan Afrika yang merupakan korban penjajahan, memiliki perasaan rendah diri (inferior) ketika berhadapan dengan Barat. Segala hal yang berbau Barat; teori, teknologi, seni, dikonsumsi. Akibatnya, masyarakat Asia yang kurang terdidik, memandang rendah budaya dan tradisinya sendiri. Dan itu semakin memudahkan globalisasi untuk menguasai cara berpikir dan menjadikan kita selamanya hanya menjadi ‘pengemis yang selalu tidur’. Tulisan ini pernah dimuat di PK Identitas Unhas pada tahun 2007.. |
Langganan:
Postingan (Atom)