Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Rabu, 04 November 2009

KPK, POLRI dan Rekonsiliasi Kelembagaan

Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas

Siapapun sepakat, bahwa perseteruan KPK vs POLRI yang begitu panas hingga menjadi headline media akhir-akhir ini dengan menggunakan bahasa provatif; Cicak vs Buaya telah memicu sentimen kelembagaan antara dua lembaga negara. Laksana perseteruan antara Pandawa dan Kurawa dalam mitos Mahabarata, daya pikat korupsi yang begitu dahsyat telah membuat dua lembaga ini saling berseteru untuk menunjukan siapa yang lebih hebat. Presiden pun keblinger hingga meminta bantuan beberapa tokoh nasional untuk mendiskusikan serta mencari solusi konkrit dari masalah ini. Dari sisi politis, kasus ini menjadi pertaruhan SBY selaku kepala negara dan juga sebagai seorang negarawan. Apakah mampu menyelesaikan masalah ini secara proporsional, tanpa ada yang merasa dirugikan.
Belum selesai misteri kasus Bank Century, kasus perseteruan KPK vs POLRI akhir-akhir ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Banyaknya pejabat hukum yang terlibat dalam pemutaran rekaman di MK Selasa lalu menjadikan orientasi negara hukum Indonesia menjadi tanda tanya.
Namun langkah penangguhan penahanan oleh POLRI pasca terbongkarnya skenario kriminalisasi terhadap dua pimpinan non aktif KPK; Bibit dan Chandra melalui pemutaran rekaman di MK pada Selasa lalu adalah langkah awal yang positif bagi rekonsiliasi kelembagaan antara KPK dan POLRI untuk mencoba melupakan perseteruan yang pernah terjadi. Publik tentunya berharap dan tidak ingin melihat dua institusi ini saling jegal, apalagi saling bunuh. Karena jalan pemberantasan korupsi masih panjang dan berliku. Program pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal jika antara KPK dan POLRI masih terlibat perseteruan.
Dilihat dari sejarah. Dibentuknya KPK adalah jawaban atas mandulnya kepolisian dan kejaksaan dalam memproses kasus korupsi, utamanya kasus korupsi berskala besar yang terlibat dalam jejaring kekuasaan. Peran-peran yang dimainkan kepolisian dan kejaksaan terlalu kaku dan berpatok pada prosedur normatif-yuridis. Bukan pada bagaimana mencari solusi agar praktek korupsi ini bisa dihilangkan. Bagaimana agar para koruptor dan calon-calon koruptor tidak berani melakukan korupsi tanpa terlalu terpatok pada prosedur normatif.
Akhirnya keberadaan KPK sebagai lembaga penyidik yang melabrak hukum acara konvensional dalam menjalankan proses penyelidikan, penyidikan hingga pada tahap penuntutan ke Pengadilan Tipikor dengan mengacu pada Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tipikor dan UU No 30/2002 tentang KPK telah memunculkan kecemburuan institusi. Memunculkan kesan superior-inferior antar institusi. Double legitimacy yang dimiliki KPK sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan powerfull dalam kekuasaannya mengusut dugaan tindak pidana korupsi hingga pada proses penuntutan pada Pengadilan Tipikor telah menyulut ’api permusuhan’. Api permusuhan tidak saja muncul dari kalangan ’orang-orang bermasalah’ (baca: koruptor, pengusaha dan politisi hitam) tetapi juga muncul dari institusi penegak hukum lain yang merasa ’lahan kebunnya’ diambil oleh KPK.
Politik hukum nasional dalam persoalan korupsi juga menunjukan ketidakkonsistenan. Terkatung-katungnya pembahasan RUU KUHP serta disorientasi KUHAP sebagai prosedur acara yang digunakan menyebabkan POLRI dan KPK terlibat konflik kewenangan. Terkatung-katungnya pembahasan RUU KUHP bukan karena minimnya kuantitas dan kualitas ahli hukum yang dilibatkan, tetapi budaya politik dagang sapi sebagai turunan dari rezim lama belum juga hilang dari politik hukum nasional. Menyebabkan banyaknya produk hukum yang dibuat menjadi tidak berguna (atau dalam istilah hukumnya ”hukum yang mati”).
Disorientasi politik hukum nasional ini yang dalam beberapa tahun terakhir membuat kepesimisan publik terhadap program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Baru kemudian setelah KPK dan Pengadilan Tipikor dibentuk, harapan untuk melihat Indonesia bersih dari virus korupsi ini mulai muncul. KPK dianggap mampu, ’bertaji’ dan berani bertarung dengan musuh korupsi yang sudah sekian lama meneror penegakan hukum dan sistem ekonomi nasional.

Rekonsiliasi Kelembagaan
Untuk menyelesaikan masalah ini, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa antar lembaga negara bisa digunakan. Namun resiko untuk ’mempermanenkan’ konflik akan terjadi karena pengadilan sebagai lembaga yang melihat masalah dalam frame benar-salah. Jika ukuran benar-salah yang dijadikan indikator untuk membawa masalah ini ke MK, maka sampai kapanpun, perseteruan antar KPK dan POLRI tidak akan hilang.
Maka melihat perseteruan yang semakin mengkhawatirkan, langkah hukum berupa penerbitan Perpu atau semacamnya menurut penulis bukanlah solusi konkrit. Bahkan hanya akan menambah rumitnya masalah. Puluhan bahkan ratusanpun Perpu yang dikeluarkan hanya akan menjadi sia-sia jika didalam tubuh institusi; baik KPK maupun POLRI, api permusuhan itu sudah tertanam. Maka upaya hukum semisal Perpu atau semacamnya hanya akan menambah runyamnya masalah. Maka menurut hemat penulis, solusi cermat dalam melihat kasus ini adalah rekonsiliasi kelembagaan antara KPK vs POLRI. Tentunya dengan inisiatif Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
Maka menurut hemat penulis, rekonsiliasi kelembagaan antara KPK dan POLRI mutlak diperlukan. Rekonsiliasi ini ditujukan untuk mengajak pihak-pihak yang terlibat; KPK dan POLRI untuk melupakan perseteruan yang pernah terjadi, dengan menjunjung tinggi etika profesi. Langkah rekonsiliasi kelembagaan dengan dimediasi Presiden menurut penulis penting dilakukan mengingat solusi untuk menyelesaikan masalah ini bukan terletak pada normatif-yuridis, apalagi saling balas melapor hingga membuat perseteruan semakin memanas.
Mungkin praktek rekonsiliasi kelembagaan ini belum pernah dilakukan dalam sejarah politik di Indonesia. Kalaupun ada, bahasa rekonsiliasi pernah dipergunakan dalam menyelesaikan konflik pelanggaran HAM masa lalu antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Timur melalui pembentukan sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/KKR (yang juga kemudian dibatalkan melalui judicial review di MK). Tapi tidak ada salahnya jika dalam masalah ini, langkah rekonsiliasi ini dicoba. Terlepas dari kasus hukum yang menerpa setiap aparat dari dua institusi ini, namun rekonsiliasi kelembagaan perlu untuk dilakukan. Sebagai upaya membangun negara hukum Indonesia yang lebih kuat.