Koran FAJAR, Makassar, Kamis 12 Januari 2011
Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
Pemilu 2014 masih tiga tahun lagi, namun isunya mulai berhembus hangat sejak kini. Termasuk perebutan kursi RI 1, serta pertanyaan dan prediksi seputar siapa parpol pemenang Pemilu 2014 setidaknya mulai ramai dibicarakan.
Hal ini mengundang “decak kagum” sekaligus kekhawatiran akan masa depan demokrasi politik di Indonesia. “Decak kagum” manakala melihat tingginya antusiasme elit menyongsong Pemilu 2014. Seakan-akan semua orang dianggap melek politik, padahal tidak demikian. Seolah-olah persoalan negara hanya seputar politik Pemilu. Hal ini kemudian melahirkan kekhawatiran ketika rakyat menyadari bahwa selama ini, aspirasi mereka telah gagal dipenuhi pemerintah, termasuk parpol. Ketika rakyat sadar, bahwa mereka hanya dijadikan “sapi perah” atas sumbangan suara yang diberikan pada pemilu.
Memang, salah satu prasyarat suksesnya Pemilu adalah tingginya angka partisipasi pemilih. Namun pada Pemilu 2004 dan 2009, Golput tampil menjadi “pemenang”. Dengan persentase 23,34% dari total pemilih terdaftar. Angka ini lebih besar dari angka parpol pemenang pemilu. seperti Golkar (16,54%), PDIP (14,21%), dan PKB (8,10%). Pada Pemilu 2009, Golput kembali menjadi pemenang (39,1%) dengan menyingkirkan partai pemenang Pemilu seperti Demokrat (20,85%), Golkar (14,45%), PDIP (14,03%) (Sumber:KPU).
Golput memberi sinyal bahaya terhadap kelangsungan demokrasi. Golput memberi fakta tentang rendahnya apresiasi rakyat terhadap Pemilu, secara khusus terhadap Parpol sebagai penyokong. Memang benar bahwa, Pemilu tidak semua tentang parpol, seperti pemilihan anggota DPD yang tidak melewati pintu Parpol. Akan tetapi secara keseluruhan, Pemilu terlanjur identik dengan parpol. Maka berarti, kegagalan Pemilu dengan tingginya angka Golput, berarti juga kegagalan Parpol dalam mendekatkan diri dan meraih kepercayaan rakyat sebagai konstituennya.
Disforia Multipartai
Ironisnya, pertambahan jumlah parpol tidak berkorelasi positif dengn apresiasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Parpol. Sehingga kemudian muncul pertanyaan, mengapa Golput begitu tinggi dalam sistem multipartai? Bukankah multipartai adalah solusi dari kekakuan sistem Pemilu selama ini sehingga seharusnya rakyat mengapresiasi Pemilu dalam sistem multipartai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijawab oleh semua pelaku/aktor.
Namun setidaknya, hal ini mengindikasikan bahwa, euforia demokrasi pada Pemilu 1999-2009 yang mengulang “sukses” Pemilu 1955 dalam melahirkan multipartai, berubah menjadi disforia. Ketika Parpol sebagai penyokong demokrasi telah mengalami krisis legitimasi dari rakyat sebagai konstituennya (pemegang hak suara) dengan masih tingginya angka Golput.
Seyogyanya, kehadiran multipartai pada Pemilu 1999, 2004, 2009 (walaupun pernah terjadi pada Pemilu 1955) yang kemudian meramaikan konsep lembaga legislatif (walaupun yang lolos parliamentary treshold hanya 9 parpol) harus diapresiasi secara adil dan berimbang. Adil dalam pengertian, sistem multipartai dianggap mengakomodasi hak sipil-politik rakyat, untuk ukuran Indonesia sebagai negara multi dan plural. Sedangkan berimbang, artinya bahwa sistem multiparpol harus dibarengi dengan kualitas kinerja parpol. Utamanya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat sebagai konstituennya. Tidak hanya menjadikan rakyat sebagai “sapi perah”, ketika suaranya hanya dibutuhkan pada saat Pemilu. jika demikian, maka yang nampak bukan demokrasi, tapi oligarki.
Sesungguhnya, sistem multipartai melahirkan resiko ganda. Pada satu sisi, multipartai dirasa perlu untuk mengakomodasi beragam kepentingan yang tidak terwakili dalam sistem dwi partai (PDI dan PPP, Golkar menjadi Parpol nanti pada Pemilu 1999) pada masa Orba dulu. Multipartai dianggap cocok mewakili keragaman bangsa dan kepentingan rakyat yang berbeda.
Pada sisi lain, multipartai menjadi masalah ketika Pemilu menghasilkan pemerintahan terbelah, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Juan Liz. Ketika pemenang pilpres dalam pemilu langsung tidak mendapatkan dukungan signifikan di DPR karena perolehan suara partai pengusung capres/cawapres, dianggap tidak cukup untuk memback up program-program pemerintah. Yang muncul kemudian adalah tarik menarik dukungan politik. Pasangan capres/cwapres terpilih akan lebih sibuk membangun komunikasi dengan parpol yang mendapat suara mayoritas di DPR ketimbang mengurusi masalah rakyat.
Namun pada kenyataannya, kerumitan konsep multipartai sesungguhnya dirasakan oleh rakyat. Masalah besar kemudian muncul ketika rakyat menjadi bingung dan seolah tidak siap dengan perubahan sistem kepartaian, dari dwi partai ke multipartai. Rakyat, yang kesadaran politiknya masih hijau “terpaksa” ikut Pemilu dalam “ketidaktahuannya”, partai mana dan siapa yang akan dicoblos.
Krisis Identitas
Hal ini terjadi karena Parpol mengalami krisis identitas. Krisis identitas ini akhirnya membawa dampak pada krisis legitimasi rakyat terhadap parpol. Krisis identitas terjadi karena parpol tidak menampilkan sosok idealnya sebagai parpol. Dalam tataran ideal, parpol adalah sarana penyaluran aspirasi masyarakat ke lembaga perwakilan. Utang budi suara yang diberikan rakyat pada pemilu harus dibalas dengan kinerja yang memuaskan rakyat. Ibarat transaksi jual beli, penjual dan pembeli sama-sama puas. Hak dan kewajiban ditunaikan masing-masing pihak. Dalam konteks pemilu, rakyat sebagai penjual suara dan parpol sebagai pembeli suara harus sama-sama puas dan untung. Rakyat dan parpol harus satu visi. Sehingga rakyat betul-betul menganggap parpol sebagai mitra.
Rakyat menjadi kecewa ketika melihat Parpol nanti hadir pada saat momen Pemilu. Ketika membutuhkan suara rakyat. Parpol baru muncul dengn beragam jualan isu. Namun ketika pemilu usai, rakyat ditinggalkan dengan tetap dalam kondisi miskin dan terbelakang. Padahal, dalam negara demokrasi, parpol dan rakyat adalah pilar. Keduanya tidak bisa bekerja sendiri, namun harus ditopang oleh lainnya. Keduanya saling mempengaruhi dan membutuhkan. Parpol membutuhkan rakyat sebagai pemegang hak suara. Sedangkan rakyat juga membutuhkan Parpol untuk memperjuangkan aspirasinya.
Partai politik tidak hanya didirikan untuk mencapai suatu cita-cita dan aspirasi politik tertentu. Parpol tidak sekedar alat atau kendaraan politik. Jika demikian maka parpol hanya akan menjadi milik dan hanya untuk memuaskan libido kekuasaan segelintir orang. Seharusnya gagasan utama parpol adalah perjuangan parpol berdasarkan sistem nilai dan visi yang diembannya, yang diselaraskan dengan visi rakyat.
Suwandi
Beranda Intelektual Muda
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Jumat, 14 Januari 2011
KPK, Seriuslah Bekerja
Oleh; Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
Busyro Muqoddas akhirnya terpilih menjadi Pimpinan KPK setelah melewati serangkaian test yang panjang dan melelahkan. Namun, ujian sesungguhnya menunggu sang pimpinan KPK terpilih untuk menyelesaikan beberapa kasus korupsi besar (big corruption). Diantaranya; kasus korupsi mafia pajak dengan tersangka utama Gayus Tambunan, dugaan korupsi skandal bailout Century, kasus rekening gendut beberapa perwira tinggi Mabes Polri, dugaan korupsi dalam penjualan saham PT Krakatau Steel, serta kasus korupsi lain yang harus tuntas.
Superbody dan Powerfull
Saat ini KPK boleh berbangga, karena dibanding komponen penegak hukum lain yang diserahi tanggungjawab dalam upaya pemberantasan korupsi, publik lebih berharap pada KPK. Mengapa? Ada beberapa faktor pemicu mengapa ekspektasi publik pada KPK begitu tinggi.
Pertama, saat ini dunia penegakan hukum (law enforcement) sedang mengalami masa-masa sulit. Korupsi telah memporakporandakan sistem penegakan hukum. Tidak sedikit diantaranya melibatkan oknum penegak hukum. Mulai hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Kondisi ini melahirkan gejala ketidakpercayaan publik (public distrust) atas kinerja lembaga penegak hukum yang dipandang tidak optimal. Bahkan gejala public distrust ini melebar pada sentimen pemerintah.
Pada beberapa kasus yang muncul, publik menilai profesionalisme dan idealisme penegak hukum sangat mudah dibeli. Seperti dalam kasus penyuapan beberapa oknum Rutan Mako Brimob oleh Gayus Tambunan. Maupun dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan oleh pengusaha Artalita Suryani beberapa waktu lalu. Uang terlihat sangat digdaya dan menjadi raja. Sampai-sampai sumpah setia abdi Negara untuk bekerja jujur dan professional dilanggar hanya karena uang. Oleh karenanya, KPK dibentuk untuk mendorong maksimalisasi dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, bersama Polri dan Kejaksaan (terdapat dalam risalah pembentukan undang-undang KPK).
Kedua, KPK hadir sebagai pendobrak (burglar) dan penghancur (destroyer) korupsi ketika dua kompatriotnya; Polri dan Kejaksaan lemah. Beberapa kewenangan istimewa diberikan UU No 30/2002 (Pasal 12) kepada KPK sebagai senjata untuk menambah tekanan dan daya dobrak. Senjata tersebut diantaranya dalam hal; melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; perintah kepada bank untuk memblokir rekening tersangka jika diduga uang tersebut hasil korupsi; termasuk menghentikan sementara suatu transaksi keuangan yang berdasarkan bukti awal diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sebagian kewenangan ini tidak dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Ketiga, sebagai Komisi Negara, KPK adalah satu-satunya Komisi Negara yang diberikan kewenangan penuntutan (ke Pengadilan Tipikor) atas hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukannya. Kewenangan penuntutan ini tidak dimilik oleh Komisi Negara lainnya seperti Komnas HAM dan Komisi Yudisial. Membuat objektifvitas hasil penyelidikan dan penyidikan KPK tetap terjaga. Hasilnya bisa dilihat, koruptor yang diadili di Pengadilan Tipikor semuanya berakhir di penjara.
Keempat, untuk memperkuat kewenangan, maka Pasal 39 ayat (3) UU KPK ”memerintahkan” KPK untuk merekrut penyidik yang berasal dari Polri dan Kejaksaan. Hal yang sama tidak berlaku untuk Polri dan Kejaksaan serta Komisi Negara lainnya dalam konteks ketatanegaraan saat ini. Hal ini membuat organisasi KPK semakin kuat karena penyidik Polri dan Kejaksaan yang ditugaskan di KPK adalah orang-orang pilihan. Sehingga lebih professional ketika melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Keempat ( ini yang lebih penting), hingga saat ini, publik melihat KPK relatif bersih dari korupsi. Pasca merebaknya isu suap terhadap dua pimpinan KPK; Bibit dan Chandra yang kemudian tidak terbukti, simpati dan dukungan publik terhadap KPK semakin meningkat. Berbeda halnya dengan sentimen negatif publik terhadap lembaga penegak hukum lainnya.
Seriuslah Bekerja
Maka dengan tingginya ekspektasi publik, serta kewenangan yang ekstra, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak serius bekerja. Apalagi ditambah dengan dukungan anggaran yang besar dari APBN, KPK harus mampu membayar semuanya. Kinerja yang maksimal adalah harga pantas yang harus dibayar oleh KPK.
Mengapa? Alasan pertama, karena kita sudah letih saban hari direcoki dengan persoalan korupsi yang seakan tidak akan pernah berakhir. Ketika negara lain sudah jauh melesat, kita masih berkutat dengan persoalan korupsi; korupsi pajak, korupsi bantuan sosial, mark up anggaran dan lain sebagainya. Kita sudah cukup lama malu dikenal sebagai negara korup, baik di Asia maupun di dunia.
Kedua, karena biaya operasional KPK bersumber dari APBN. APBN adalah uang rakyat, maka pertanggungjawabannya pun harus ke rakyat; baik transparansi penggunaan anggaran maupun bobot kinerja yang dihasilkan. Dalam hal ini KPK harus bisa membuktikan bahwa besarnya anggaran operasional yang dialokasikan APBN harus sebanding kinerja yang maksimal. Bahwa uang rakyat dipergunakan sebaik-baiknya untuk menangkap dan menghukum mereka (baca: koruptor) yang merampok uang rakyat.
Kedua, karena korupsi adalah musuh utama bangsa saat ini. Hingga saat ini korupsi masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia, karena korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi membuat sistem ekonomi macet, penegakan hukum lemah, menghambat jalannya pemerintahan yang bersih dan demokratis sehingga menyulitkan terwujudnya pemerintahan yang baik. Dalam aspek Ekosob, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
Busyro Muqoddas akhirnya terpilih menjadi Pimpinan KPK setelah melewati serangkaian test yang panjang dan melelahkan. Namun, ujian sesungguhnya menunggu sang pimpinan KPK terpilih untuk menyelesaikan beberapa kasus korupsi besar (big corruption). Diantaranya; kasus korupsi mafia pajak dengan tersangka utama Gayus Tambunan, dugaan korupsi skandal bailout Century, kasus rekening gendut beberapa perwira tinggi Mabes Polri, dugaan korupsi dalam penjualan saham PT Krakatau Steel, serta kasus korupsi lain yang harus tuntas.
Superbody dan Powerfull
Saat ini KPK boleh berbangga, karena dibanding komponen penegak hukum lain yang diserahi tanggungjawab dalam upaya pemberantasan korupsi, publik lebih berharap pada KPK. Mengapa? Ada beberapa faktor pemicu mengapa ekspektasi publik pada KPK begitu tinggi.
Pertama, saat ini dunia penegakan hukum (law enforcement) sedang mengalami masa-masa sulit. Korupsi telah memporakporandakan sistem penegakan hukum. Tidak sedikit diantaranya melibatkan oknum penegak hukum. Mulai hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Kondisi ini melahirkan gejala ketidakpercayaan publik (public distrust) atas kinerja lembaga penegak hukum yang dipandang tidak optimal. Bahkan gejala public distrust ini melebar pada sentimen pemerintah.
Pada beberapa kasus yang muncul, publik menilai profesionalisme dan idealisme penegak hukum sangat mudah dibeli. Seperti dalam kasus penyuapan beberapa oknum Rutan Mako Brimob oleh Gayus Tambunan. Maupun dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan oleh pengusaha Artalita Suryani beberapa waktu lalu. Uang terlihat sangat digdaya dan menjadi raja. Sampai-sampai sumpah setia abdi Negara untuk bekerja jujur dan professional dilanggar hanya karena uang. Oleh karenanya, KPK dibentuk untuk mendorong maksimalisasi dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, bersama Polri dan Kejaksaan (terdapat dalam risalah pembentukan undang-undang KPK).
Kedua, KPK hadir sebagai pendobrak (burglar) dan penghancur (destroyer) korupsi ketika dua kompatriotnya; Polri dan Kejaksaan lemah. Beberapa kewenangan istimewa diberikan UU No 30/2002 (Pasal 12) kepada KPK sebagai senjata untuk menambah tekanan dan daya dobrak. Senjata tersebut diantaranya dalam hal; melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; perintah kepada bank untuk memblokir rekening tersangka jika diduga uang tersebut hasil korupsi; termasuk menghentikan sementara suatu transaksi keuangan yang berdasarkan bukti awal diduga ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sebagian kewenangan ini tidak dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Ketiga, sebagai Komisi Negara, KPK adalah satu-satunya Komisi Negara yang diberikan kewenangan penuntutan (ke Pengadilan Tipikor) atas hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukannya. Kewenangan penuntutan ini tidak dimilik oleh Komisi Negara lainnya seperti Komnas HAM dan Komisi Yudisial. Membuat objektifvitas hasil penyelidikan dan penyidikan KPK tetap terjaga. Hasilnya bisa dilihat, koruptor yang diadili di Pengadilan Tipikor semuanya berakhir di penjara.
Keempat, untuk memperkuat kewenangan, maka Pasal 39 ayat (3) UU KPK ”memerintahkan” KPK untuk merekrut penyidik yang berasal dari Polri dan Kejaksaan. Hal yang sama tidak berlaku untuk Polri dan Kejaksaan serta Komisi Negara lainnya dalam konteks ketatanegaraan saat ini. Hal ini membuat organisasi KPK semakin kuat karena penyidik Polri dan Kejaksaan yang ditugaskan di KPK adalah orang-orang pilihan. Sehingga lebih professional ketika melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Keempat ( ini yang lebih penting), hingga saat ini, publik melihat KPK relatif bersih dari korupsi. Pasca merebaknya isu suap terhadap dua pimpinan KPK; Bibit dan Chandra yang kemudian tidak terbukti, simpati dan dukungan publik terhadap KPK semakin meningkat. Berbeda halnya dengan sentimen negatif publik terhadap lembaga penegak hukum lainnya.
Seriuslah Bekerja
Maka dengan tingginya ekspektasi publik, serta kewenangan yang ekstra, tidak ada alasan bagi KPK untuk tidak serius bekerja. Apalagi ditambah dengan dukungan anggaran yang besar dari APBN, KPK harus mampu membayar semuanya. Kinerja yang maksimal adalah harga pantas yang harus dibayar oleh KPK.
Mengapa? Alasan pertama, karena kita sudah letih saban hari direcoki dengan persoalan korupsi yang seakan tidak akan pernah berakhir. Ketika negara lain sudah jauh melesat, kita masih berkutat dengan persoalan korupsi; korupsi pajak, korupsi bantuan sosial, mark up anggaran dan lain sebagainya. Kita sudah cukup lama malu dikenal sebagai negara korup, baik di Asia maupun di dunia.
Kedua, karena biaya operasional KPK bersumber dari APBN. APBN adalah uang rakyat, maka pertanggungjawabannya pun harus ke rakyat; baik transparansi penggunaan anggaran maupun bobot kinerja yang dihasilkan. Dalam hal ini KPK harus bisa membuktikan bahwa besarnya anggaran operasional yang dialokasikan APBN harus sebanding kinerja yang maksimal. Bahwa uang rakyat dipergunakan sebaik-baiknya untuk menangkap dan menghukum mereka (baca: koruptor) yang merampok uang rakyat.
Kedua, karena korupsi adalah musuh utama bangsa saat ini. Hingga saat ini korupsi masih merupakan permasalahan yang serius di Indonesia, karena korupsi sudah merebak di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas, sistematis dan terorganisir. Korupsi membuat sistem ekonomi macet, penegakan hukum lemah, menghambat jalannya pemerintahan yang bersih dan demokratis sehingga menyulitkan terwujudnya pemerintahan yang baik. Dalam aspek Ekosob, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Ketika Politik Citra Mengalahkan Kinerja
Koran FAJAR, Makassar, 21 Oktober 2010
Oleh Wiwin Suwandi (Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan)
Tanpa terasa sudah setahun, perahu bernama “Indonesia” yang dinakhodai SBY dan Boediono menyeberangi lautan samudera. Belum juga tiba di tepian, terjangan ombak dan badai tak henti menggoyang perahu hingga nyaris “karam”. Sang nakhoda pun dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan perahu agar tidak karam dihempas badai.
Ditengah setahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II sejak dilantik Oktober tahun lalu, isu reshuffle kabinet kembali dimunculkan untuk menggoyang pemerintahan SBY-Boediono. Namun seperti yang terlihat, isu reshuffle tidak mampu menjatuhkan citra SBY dimata rakyat. Sekalipun survey terhadap elektabilitas terhadap SBY dikatakan turun, namun secara umum citra SBY masih lebih populer dibanding elit lainnya.
Tampaknya, tim politik pencitraan Istana “sukses” memainkan perannya untuk menjaga popularitas SBY. Sampai-sampai sebuah soal ujian CPNS disebuah departemen memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak, sudah cukup bagi seorang Tjipta Lesmana untuk menilai hal ini sebagai bentuk politik “jilat menjilat” dan budaya “menghamba” seorang “budak” terhadap “tuan”nya.
Politik Citra yang Kebablasan
Politik pencitraan secara berlebihan dan kebablasan terhadap seorang SBY telah menihilkan konsep presidensialisme untuk mewujudkan kinerja kabinet yang maksimal. Energi untuk membentuk citra SBY terlalu besar, kelewatan (over dosis) dan mengesampingkan hal yang lebih substansial, seperti pemberantasan korupsi dan pengurangan kemiskinan.
Konsep kinerja kabinet yang dibangun bukan mengutamakan aspek profesionalisme, namun faktor kedekatan dan politik utang budi. Akibatnya, beberapa Menteri tidak memiliki konsep kerja selama lima tahun kedepan. Konsep kerja biasanya hasil ciplakan dari menteri sebelumnya. Baru setahun usia kabinet, UKP4 telah berulang kali merilis raport merah pada beberapa kementerian. Termasuk kementerian hukum dan hak asasi manusia.
Semasa dua periode kepemimpinan, SBY cenderung mementingkan politik pencitraan. Dan terbukti bagaimana politik pencitraan yang dibangun mampu mempertahankan elektabilitas SBY. Hingga membuat SBY jadi “penyanyi dadakan” dengan membuat tiga album lagu. Termasuk harus merekayasa soal CPNS untuk memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Publik dihipnotis oleh politik citra yang ditampilkan bahwa selama Indonesia berdiri, hanya satu presiden yang berhasil membuat tiga album lagu, yaitu SBY. Dalam kasus soal CPNS, politik “pengkultusan” terhadap SBY oleh menterinya, menunjukan rendahnya integritas seorang bawahan terhadap atasannya.
Juga bagaimana politik citra dimainkan hingga membuat seorang Ruhut Sitompul melempar wacana amandemen kelima UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Agar SBY mampu “oppo” untuk ketiga kalinya. Semuanya terjadi bukan secara kebetulan atau tidak disengaja. Melainkan sudah disetting sedemikian rupa untuk melanggengkan dinasti.
Inilah yang disebut Haryatmoko dalam buku Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik didalam Era Virtualitas sebagai “politik citra”. Bagaimana momen kebenaran telah digantikan oleh momen citra. Sehingga politik terperangkap didalam permainan bebas citra dan teks. Dengan demikian, politik kehilangan fondasinya. Penciptaan citra dan manipulasi teks demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri (Y.A. Piliang: 2005).
Politik citra melalui manipulasi teks terhadap fakta yang terjadi ini dapat ditemui dalam kasus banjir badang Wasior. Bagaimana kemudian fakta tentang illegal loging yang menyebabkan banjir di Wasior, Papua Barat, dibantah dengan retorika bahwa banjir bandang di Wasior adalah gejala alam. Sementara data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh dua perusahaan kayu di Wasior sudah melampaui batas. Negara lebih melindungi pelaku illegal loging hanya karena pertimbangan devisa, ketimbang menegakan hak asasi rakyatnya sebagai pihak yang berdaulat.
Juga dalam rapor merah Polri terkait dugaan korupsi beberapa oknum jenderal Mabes Polri dalam kasus suap gayus tambunan. SBY lebih mengkonsentrasikan isu pada penggantian Kapolri ketimbang mendukung pemeriksaan terhadap aktor mafia kasus yang bermain dalam internal Mabes Polri untuk mensupport upaya reformasi kepolisian. Suara-suara yang menuntut SBY segera melakukan reformasi di tubuh Polri tidak diindahkan. SBY tidak mampu “melunakkan” Polri dengan mendorong reformasi Polri.
Berkuasanya Kaum Demagog
Lebih jauh, sistem politik yang terbangun selama dua periode pemerintahan SBY cenderung melindungi dan mempertahankan dominasi kaum demagog. Demagog dalam istilah Yunani kuno adalah para perusak sistem politik, penjilat, berwatak culas dan licik. Para kaum demagog ini bisa dari kalangan politisi, penegak hukum, pengusaha, dan lain sebagainya. Kaum demagog adalah musuh demokrasi.
Mahfud M.D., dalam tulisannya di Majalah Gatra pada 5 September 2007 menyebut para demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan. Hampir setiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan maupun institusi yang membohongi rakyat. Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.
Secara umum, Indonesia dimasa kepemimpinan SBY, baik dalam KIB Jilid I maupun setahun perjalanan KIB Jilid II hanya membangun politik pencitraan, namun minus kinerja. Angka korupsi masih tinggi, tidak sedikit diantaranya dilakukan oleh kalangan penegak hukum. Retorika pemberantasan korupsi hanya dibangun dalam logika undang-undang, bukan berupaya menghilangkan cara berpikir koruptif para penyelenggara Negara. Amburadulnya sistem manajemen perhubungan memicu terjadinya kecelakaan (baik darat, laut, maupun udara) dalam intensitas yang cukup tiinggi. Serta beragam kasus lainnya yang hanya diselesaikan melalui pidato.
Oleh Wiwin Suwandi (Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan)
Tanpa terasa sudah setahun, perahu bernama “Indonesia” yang dinakhodai SBY dan Boediono menyeberangi lautan samudera. Belum juga tiba di tepian, terjangan ombak dan badai tak henti menggoyang perahu hingga nyaris “karam”. Sang nakhoda pun dipaksa bekerja keras untuk menyelamatkan perahu agar tidak karam dihempas badai.
Ditengah setahun perjalanan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II sejak dilantik Oktober tahun lalu, isu reshuffle kabinet kembali dimunculkan untuk menggoyang pemerintahan SBY-Boediono. Namun seperti yang terlihat, isu reshuffle tidak mampu menjatuhkan citra SBY dimata rakyat. Sekalipun survey terhadap elektabilitas terhadap SBY dikatakan turun, namun secara umum citra SBY masih lebih populer dibanding elit lainnya.
Tampaknya, tim politik pencitraan Istana “sukses” memainkan perannya untuk menjaga popularitas SBY. Sampai-sampai sebuah soal ujian CPNS disebuah departemen memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak, sudah cukup bagi seorang Tjipta Lesmana untuk menilai hal ini sebagai bentuk politik “jilat menjilat” dan budaya “menghamba” seorang “budak” terhadap “tuan”nya.
Politik Citra yang Kebablasan
Politik pencitraan secara berlebihan dan kebablasan terhadap seorang SBY telah menihilkan konsep presidensialisme untuk mewujudkan kinerja kabinet yang maksimal. Energi untuk membentuk citra SBY terlalu besar, kelewatan (over dosis) dan mengesampingkan hal yang lebih substansial, seperti pemberantasan korupsi dan pengurangan kemiskinan.
Konsep kinerja kabinet yang dibangun bukan mengutamakan aspek profesionalisme, namun faktor kedekatan dan politik utang budi. Akibatnya, beberapa Menteri tidak memiliki konsep kerja selama lima tahun kedepan. Konsep kerja biasanya hasil ciplakan dari menteri sebelumnya. Baru setahun usia kabinet, UKP4 telah berulang kali merilis raport merah pada beberapa kementerian. Termasuk kementerian hukum dan hak asasi manusia.
Semasa dua periode kepemimpinan, SBY cenderung mementingkan politik pencitraan. Dan terbukti bagaimana politik pencitraan yang dibangun mampu mempertahankan elektabilitas SBY. Hingga membuat SBY jadi “penyanyi dadakan” dengan membuat tiga album lagu. Termasuk harus merekayasa soal CPNS untuk memasukan pertanyaan tentang judul lagu SBY. Publik dihipnotis oleh politik citra yang ditampilkan bahwa selama Indonesia berdiri, hanya satu presiden yang berhasil membuat tiga album lagu, yaitu SBY. Dalam kasus soal CPNS, politik “pengkultusan” terhadap SBY oleh menterinya, menunjukan rendahnya integritas seorang bawahan terhadap atasannya.
Juga bagaimana politik citra dimainkan hingga membuat seorang Ruhut Sitompul melempar wacana amandemen kelima UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Agar SBY mampu “oppo” untuk ketiga kalinya. Semuanya terjadi bukan secara kebetulan atau tidak disengaja. Melainkan sudah disetting sedemikian rupa untuk melanggengkan dinasti.
Inilah yang disebut Haryatmoko dalam buku Yasraf Amir Piliang, Transpolitika: Dinamika Politik didalam Era Virtualitas sebagai “politik citra”. Bagaimana momen kebenaran telah digantikan oleh momen citra. Sehingga politik terperangkap didalam permainan bebas citra dan teks. Dengan demikian, politik kehilangan fondasinya. Penciptaan citra dan manipulasi teks demi kekuasaan murni dengan menyembunyikan kebenaran itu sendiri (Y.A. Piliang: 2005).
Politik citra melalui manipulasi teks terhadap fakta yang terjadi ini dapat ditemui dalam kasus banjir badang Wasior. Bagaimana kemudian fakta tentang illegal loging yang menyebabkan banjir di Wasior, Papua Barat, dibantah dengan retorika bahwa banjir bandang di Wasior adalah gejala alam. Sementara data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh dua perusahaan kayu di Wasior sudah melampaui batas. Negara lebih melindungi pelaku illegal loging hanya karena pertimbangan devisa, ketimbang menegakan hak asasi rakyatnya sebagai pihak yang berdaulat.
Juga dalam rapor merah Polri terkait dugaan korupsi beberapa oknum jenderal Mabes Polri dalam kasus suap gayus tambunan. SBY lebih mengkonsentrasikan isu pada penggantian Kapolri ketimbang mendukung pemeriksaan terhadap aktor mafia kasus yang bermain dalam internal Mabes Polri untuk mensupport upaya reformasi kepolisian. Suara-suara yang menuntut SBY segera melakukan reformasi di tubuh Polri tidak diindahkan. SBY tidak mampu “melunakkan” Polri dengan mendorong reformasi Polri.
Berkuasanya Kaum Demagog
Lebih jauh, sistem politik yang terbangun selama dua periode pemerintahan SBY cenderung melindungi dan mempertahankan dominasi kaum demagog. Demagog dalam istilah Yunani kuno adalah para perusak sistem politik, penjilat, berwatak culas dan licik. Para kaum demagog ini bisa dari kalangan politisi, penegak hukum, pengusaha, dan lain sebagainya. Kaum demagog adalah musuh demokrasi.
Mahfud M.D., dalam tulisannya di Majalah Gatra pada 5 September 2007 menyebut para demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat, bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan. Hampir setiap hari rakyat melihat demagog, politisi perseorangan maupun institusi yang membohongi rakyat. Ada tokoh politik yang berpidato sampai mau menangis karena ingin membela rakyat, padahal pekerjaannya merampok hak-hak rakyat.
Secara umum, Indonesia dimasa kepemimpinan SBY, baik dalam KIB Jilid I maupun setahun perjalanan KIB Jilid II hanya membangun politik pencitraan, namun minus kinerja. Angka korupsi masih tinggi, tidak sedikit diantaranya dilakukan oleh kalangan penegak hukum. Retorika pemberantasan korupsi hanya dibangun dalam logika undang-undang, bukan berupaya menghilangkan cara berpikir koruptif para penyelenggara Negara. Amburadulnya sistem manajemen perhubungan memicu terjadinya kecelakaan (baik darat, laut, maupun udara) dalam intensitas yang cukup tiinggi. Serta beragam kasus lainnya yang hanya diselesaikan melalui pidato.
Selasa, 03 Agustus 2010
Degradasi Legitimasi DPR Kita

Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
(Dimuat dalam Koran FAJAR Makassar, edisi Selasa 3 Agustus 2010)
Sudah terlalu banyak kecaman yang ditujukan untuk menyoroti sikap-perilaku anggota DPR kita, yang dalam melaksanakan tiga fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran sangat jauh panggang dari api. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR tak mampu membuat publik puas dengan menekan pemerintah untuk lebih bertanggungjawab sekaitan dengan maraknya kasus ledakan tabung gas elpiji di beberapa wilayah.
Malah terkait fungsi legislasi, DPR baru menyelesaikan 5 RUU dari target 70 RUU yang akan diselesaikan tahun ini. Senada dengan analisis Syamsuddin Haris, tantangan utama DPR adalah meningkatkan produktifitas dan kualitas legislasi. Masalah terbesar DPR 2004-2009 adalah kegagalannya dalam meningkatkan produktifitas dan kualitas UU yang dihasilkan. DPR lalu juga hanya bisa menyelesaikan 38,6 persen RUU prioritas. Hal ini kemudian membuat publik pesimis dengan prospek DPR kedepan. Kejengkelan publik pun bertambah dengan perilaku beberapa anggota DPR yang sering bolos ketika harus mengikuti rapat paripurna.
Juga karena kejengkelan tersebut, seorang artis senior nekat melakukan “teaterikal” gerakan mahasiswa ’98 dengan memanjat dan mencoret atap gedung DPR untuk memprotes sikap wakil rakyat yang menurutnya tidak tegas, jujur dan adil. Tindakan tersebut adalah bentuk kekecewaan seorang warga Negara terhadap DPR. Sekalipun menurut anggota DPR adalah tidak wajar. Namun, ibarat “anjing menggonggong kafilah berlalu”, beragam kritik publik ini dianggap angin lalu oleh DPR yang tetap saja sibuk dengan urusan masing-masing.
Mengulang Menyalahkan Sistem
Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan DPR kita? Mengapa ketika reformasi sudah berjalan dua belas tahun, DPR tak kunjung memperlihatkan kemajuan berarti sekaitan dengan fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran? DPR kita seolah masih “diperbudak” oleh watak Orba yang cenderung melihat pelaksanaan fungsi dalam kacamata kuda. Bukan berpikir bagaimana agar fungsi tersebut secara benar dan tepat mampu mensejahterakan rakyat.
Satu dari banyak faktor yang bisa dijadikan alasan dalam mengkritisi DPR kita adalah sistem. Sistem ini sebagai biang keladi mengapa DPR kita masih “begitu-begitu saja”. Tanpa mengesampingkan aspek personal anggota DPR yang memang sebagian juga “bermasalah”, sistem ini lebih dikritik karena mengelola energi yang cenderung besar. Untuk lebih jelasnya, mari kita membedah satu persatu kelemahan sistem tersebut. Pertama, Pemilu langsung anggota DPR memiliki plus-minus kualitas demokrasi di indonesia. Disatu sisi, sistem Pemilu langsung memang telah menjamin terpenuhinya kebebasan Sipol masyarakat karena rakyat bisa langsung menilai dan memilih wakil-wakilnya secara lebih terbuka dan transparan.
Namun justeru disinilah masalah itu muncul. Sistem tersebut mengakibatkan pergantian kursi legislator menurut ukuran capital (baca: modal) dan popularitas, bukan kemampuan. Orang-orang yang dulunya kompeten dan masih layak dipertahankan, terpaksa harus meninggalkan empuknya kursi senayan karena perolehan suaranya tidak mencukupi. Mereka yang tadinya kapabel, kritis dan lantang digantikan oleh “gerombolan artis” yang entah dari mana datangnya tiba-tiba masuk hanya dengan bermodalkan popularitas. Jadilah DPR ibarat lakon “Opera Van Java” versi DPR. Dari 560 anggota DPR, sekitar 70 persen adalah orang baru yang belum memiliki pengalaman politik cukup.
Pemilu langsung juga telah memanaskan peta politik yang tidak jarang berujung konflik; baik antar pasangan calon, maupun antar massa pasangan calon. Sebagaimana yang juga terjadi pada Pemilukada dan Pilpres. Parpol juga ketiban berkah karena banyak yang mendaftar sebagai Caleg. Karena UU Pemilu DPR/DPD/DPRD mengatur persyaratan pencalonan harus melalui Parpol. Selain itu, praktek money politic juga menjadi fenomena yang terus berulang tiap kali hajatan pesta demokrasi Pemilukada atau Pilpres digelar .
Kedua, sistem rekrutmen kader Parpol selama ini cenderung mengutamakan faktor materi dan status sosial, bukan kemampuan kader dalam menjawab berbagai permasalahan bangsa. Untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, Parpol memperlihatkan diri sebagai “rentenir” yang aktif mencari nasabah. Dengan kata lain, lebih memprioritaskan “gizi” sebagai ukuran, bukan kemampuan sang calon. Jadilah si calon lenggak-lenggok ke Senayan sekalipun minim kemampuan.
Hal ini juga yang menjadi kelemahan undang-undang Pemilu DPR/DPD/DPRD karena kurang memperhatikan aspek personalia caleg. Urusan pencalonan seluruhnya diserahkan pada Parpol yang terbukti juga hanya menjadi rentenir yang sibuk mencari nasabah yang ingin berinvestasi politik sebagai Caleg. Syarat pencalonan melalui Parpol yang longgar, telah membuka fenomena praktek pemerasan oleh Parpol terhadap siapa saja yang berniat menjadi Caleg. Yang berduit akan diprioritaskan dan lebih berpeluang duduk di kursi dewan ketimbang yang “miskin”. Imbasnya, mahalnya ongkos politik yang telah dikeluarkan ketika mengikuti tahapan Pileg membuat sebagian anggota DPR menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan korupsi. Seperti yang dilakukan oleh Al Amin Nasution dkk.
Juga undang-undang parpol yang tidak sedikitpun menyinggung soal rekrutmen personal yang kapabel. Undang-undang Parpol hanya mengatur aspek teknis-formal terkait syarat pendirian Parpol dan lain sebagainya. Tidak menyinggung bagaimana agar Parpol memiliki kader yang kompeten
Ketiga, politik kartel di DPR yang sering dipraktekan selama ini sejatinya juga telah melemahkan tugas dan fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan. Utamanya dalam menjalankan fungsi pengawasan. Politik kartel menjadi alat bartel bagi parta berkuasa (the rulling party) agar kelompok oposisi tidak melangkah lebih jauh. Beberapa masalah yang seharusnya memerlukan pengawasan dan menuntut penyelesaian, tidak dilaksanakan oleh DPR. Kita bisa melihat bagaimana mudahnya beberapa anggota DPR dari partai pro pemerintah mengatakan “lebih baik kasus Century di peti es-kan saja”. Termasuk kelambanan DPR dalam menekan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ledakan tabung gas elpiji.
Beberapa masalah tentang DPR diatas membuat konsep lembaga perwakilan di negara ini menjadi ambigu. Pada satu sisi, lembaga perwakilan dituntut lebih pro aktif mendengarkan suara rakyat yang tidak menembus gedung parlemen. Mampu menjalankan tiga fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran secara lebih nyata dan bertanggungjawab. Namun pada sisi lain, kelemahan sistem perekrutan. Minimnya kemampuan personalia anggota DPR, dan beberapa masalah lainnya membuat DPR kita kehilangan kepercayaan dari rakyat. Masih untung hanya satu orang yang kemarin memanjat gedung DPR. Bisa dibayangkan jika yang memanjat gedung DPR itu adalah ribuan mahasiswa yang kecewa dengan DPR seperti demonstrasi mahasiswa tahun 1998 lalu.
Selasa, 08 Juni 2010
Waspadai Korupsi Kekuasaan

Koran FAJAR Makassar, Sabtu 5 Juni 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konsitusi Unhas
Untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan extra ordinary dan abuse of public office, tidak saja mengandalkan perangkat undang-undang yang juga terkadang tidak bertuah. Lebih dari itu, political will pemerintah ditambah dengan dukungan kelembagaan yang kuat, akan menjadi pembuktian sukses tidaknya program pemberantasan korupsi dijalankan. Korupsi harus dipandang sebagai musuh bersama (common enemy). Dukungan kelembagaan berupa hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memudahkan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Bersama Polri dan Kejaksaan, KPK menjadi amunisi baru dalam kampanye perang melawan korupsi.
Saat ini, Panitia Seleksi (Pansel) sudah mulai bekerja untuk merekrut dua calon pimpinan KPK yang akan direkomendasikan ke DPR dan dipilih salah satunya. Masyarakat tentu berharap agar proses seleksi pimpinan KPK yang baru, berjalan secara demokratis dan transparan. Hal ini agar terpilih figur pimpinan yang bersih, tanpa cacat, mampu menjaga independensi KPK dengan tidak membawa KPK pada arus politik, dan tentunya disegani oleh para koruptor.
KPK Jilid I
Sejak lahirnya, KPK mengemban tugas teramat berat; mengembalikan makna supremasi hukum yang “bersembunyi” dibalik Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Supremasi hukum yang selama tiga puluh dua tahun “dipenjara” oleh rezim Orba dengan memelihara kultur koruptif melalui kendali Istana. Mengakibatkan makna Negara hukum (rechstaat) berbalik menjadi Negara kekuasaan (machstaat).
KPK Jilid I bekerja dibawah tekanan maraknya praktek korupsi dikalangan pejabat Negara serta terbebani kegagalan pendahulunya yang lebih dulu “mangkat” atau “sengaja dibubarkan”. Seperti Tim Pemberantasan Korupsi (TPK/ 1967), Komisi Anti Korupsi (KAK/1970), Komisi Empat (1970), OBSTIB (1977), Tim Pemberantasan Korupsi (TPK/1982), Timtastipikor (2004). Walaupun kita sudah memiliki tiga undang-undang anti korupsi (31/1971, 31/1999 dan 20/2001)
Dimulai dengan penangkapan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh dalam kasus pengadaan helikopter tahun 2004 lalu, KPK Jilid I dibawah Taufiqrachman Ruki secara perlahan berhasil menumbuhkan spirit pemberantasan korupsi. KPK berhasil membalikan persepsi masyarakat yang semula pesimis dengan segala tetek bengek kampanye pemberantasan korupsi, menjadi optimis. Dalam kasus Puteh, KPK berhasil mendobrak tembok tebal politisasi korupsi pada era Orba yang banyak melindungi pejabat. KPK telah membuktikan bahwa prinsip equality before the law bukan sebuah mitos.
Selanjutnya, pemeriksaan korupsi Probosutedjo bersama pengacaranya, Harini Wijoso dalam kasus Hutan Tanaman Industri, yang menggoyang gedung Mahkamah Agung tahun 2005 lalu semakin mengukuhkan kiprah KPK. Apalagi ditengah munculya isu judicial corruption saat itu membuat KPK semakin bersemangat. Namun sayang, KPK Jilid I tidak mampu menuntaskan kasus korupsi rezim Orba yang melibatkan Cendana. Bersama kasus BLBI dan dugaan korupsi penjualan kapal Tanker Pertamina yang kemudian hilang bak ditelan bumi, KPK akhirnya tak berdaya melawan keputusan Jaksa Agung yang meng-SP3-kan kasus korupsi Soeharto.
KPK Jilid II
Dibawah kendali Antasari Azhar, KPK semakin unjuk gigi. Penangkapan Jaksa Urip dan pengusaha Artalita dalam kasus suap menguatkan desakan reformasi total kejaksaan. Tertangkapnya Jaksa Urip saat itu membuat masyarakat menuntut agar Kejagung melakukan reformasi kejaksaan untuk menghilangkan praktek korupsi. Mendorong terwujudnya good governance dan clean government di instansi Kejaksaan.
Sukses dalam kasus Urip, KPK kembali memperlihatkan “taji”nya dengan menangkap komisioner Komisi Yudisial (KY) Irawadi Joannes dalam kasus suap. Beberapa anggota DPR pun tidak luput dari pemeriksaan. Gedung Dewan yang saat rezim Orba terkesan “sakral” dan “angker”untuk dimasuki akhirnya didobrak oleh KPK dengan tertangkapnya Al Amin Nasution dan Yusuf Emir Faisal dalam kasus korupsi pengalihan fungsi hutan di Tanjung Bintan dan Tanjung Api-Api. Era otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak tahun 1999 juga membuka pintu masuk bagi KPK untuk membidik beberapa pejabat daerah setingkat Bupati dan Gubernur dalam dugaan korupsi. Hasilnya, beberapa pejabat tersebut divonis di Pengadilan khusus Tipikor.
Namun sayang, penahanan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin membuat KPK berada pada titik nadir. Banyak pihak memprediksi inilah akhir dari sepak terjang KPK. Mulai saat itu, beberapa serangan balik yang dialamatkan kepada KPK membuat lembaga superbody ini kehilangan digdaya. Apalagi dengan penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dengan tuduhan menerima suap dalam kasus Anggoro membuat KPK dan Mabes Polri telibat “perang dingin”. Terakhir, dugaan korupsi dalam skandal bailout Century menanti penyelesaian oleh KPK.
KPK Jilid III; Waspadai Korupsi Kekuasaan
Berkaca pada sepak terjang KPK Jilid I dan II, maka kiprah KPK Jilid III tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Bergigi menangani kasus korupsi pejabat Negara, namun tak bernyali jika sudah menyentuh jenis korupsi kronism dan clientalism. Apalagi yang menyentuh ring satu Istana seperti yang terjadi dalam kasus skandal bailout Century lalu.
KPK Jilid I dan II hanya menang jika berhadapan dengan jenis korupsi “ringan” seperti pencurian aset negara ( pillaging of state assets) sebagai bentuk korupsi yang paling banyak dan paling mudah dilakukan. Bentuk aset yang dicuri jenisnya sangat luas, mulai dari peralatan kantor, mesin-mesin, sampai pada BUMN. Sistim administrasi yang lemah, serta tidak adanya control yang memadai menyebabkan keberadaan aset tidak terkontrol. Juga korupsi jenis distorsi anggaran belanja pemerintah; pengeluaran APBN untuk sesuatu proyek mengalami distorsi karena adanya mark-up yang dilakukan pejabat yang berwenang untuk sesuatu proyek yang berakibat biaya proyek lebih tinggi dari yang sebenarnya dengan kelebihan biaya masuk kekantong pribadi.
KPK tumpul jika berhadapan dengan modul korupsi patronisme (clientalism.) Korupsi ini bisa terjadi manakala pejabat memperoleh jabatan politik dengan memberi imbalan materi pada pendukungnya. Seperti yang terjadi pada kasus Miranda Goeltom. Ini adalah money politik seperti yang dipahami secara luas oleh publik selama ini. KPK juga masih lemah dan ”sungkan” jika berhadapan dengan korupsi kronism. Adalah bentuk korupsi yang terjadi manakala pengangkatan jabatan publik dan pemberian hak-hak ekonomi didasarkan atas hubungan family seperti yang terjadi pada masa Orba.
Dalam persiapan menjelang Pemilu 2014 mendatang. Baik Pileg maupun dan Pilpres, korupsi kekuasaan dengan model patronisme dan kronism besar kemungkinan akan terjadi.
Senin, 10 Mei 2010
“Memaafkan” Sri Mulyani, Bergesernya Teori Rule of Law

Koran FAJAR Makassar, Senin 10 Mei 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konsitusi
pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Tampaknya konstitusi kita yang mengatakan bawa Negara kita adalah Negara hukum (rechstaat), harus dirubah sebagai negara kekuasaan (machstaat). Doktrin rule of law yang (secara teori) kita anut telah bergeser menjadi rule of polithic dengan begitu dominannya kekuatan politik yang mengendalikan independensi hukum.
Para pihak yang selama ini ngotot menginginkan agar Sri Mulyani dan Boediono diproses secara hukum karena dinilai sebagai pihak yang dianggap paling bertanggungjawab dalam kisruh skandal bailout Century beberapa waktu lalu tampaknya harus siap gigit jari. Sebagaimana laporan media, bahwa Sri Mulyani telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan kepada SBY karena diminta oleh Bank Dunia (World Bank) untuk menjadi salah satu Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Keputusan pengunduran diri ini jelas menguntungkan Sri Mulyani secara politis. Karena untuk sementara bisa aman dari kejaran tuntutan hukum penyelesaian kasus Century yang melibatkannya. SBY telah membuka “jalan pintas” untuk selamat dari tuntutan hukum kepada Sri Mulyani. Sementara pada sisi yang lain, sikap SBY menerima pengunduran diri Sri Mulyani dianggap menguatkan posisi diplomasi keuangan Indonesia yang ingin mengamankan kepentingannya dengan Bank Dunia dengan menempatkan Sri Muyani sebagai salah satu pejabat penting Bank Dunia.
Rule of Law yang Hilang
Jika benar teori pengamat bahwa politik determinan atas hukum (determinan-dominan, bisa juga dikatakan mengendalikan), maka teori tersebut benar adanya jika melihat bagaimana negara memberikan “pengampunan” kepada Sri Mulyani, sosok yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap kebijakan bailout Century lalu bersama Boediono. Teori politik determinan hukum dalam kasus Sri Mulyani membuktikan bergesernya konsep rule of law “ala Indonesia’, bukan sebagai sebagai Negara hukum (rechstaat) namun kembali menjadi negara kekuasaan (machstaat) sebagaimana yang pernah terjadi pada rezim Orba dulu.
Salah satu tujuan hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial, sebagaimana teori R. Pound. Dalam pandangan sosiologi hukum, fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini dimaksudkan agar tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, dengan tidak melanggar norma-norma hukum. Namun demikian, akhir-akhir ini, fungsi ini cenderung disalahgunakan menjadi hukum sebagai “alat rekayasa kepentingan”. Dengan mengutamakan kepentingan politik minus substansi diatas kepentingan hukum dan nilai-nilai keadilan.
Rule of law kita adalah rule of law yang hilang atau disembunyikan. Kenapa? Karena sejatinya rule of law dimunculkan dalam setiap tindakan, bukan malah disembunyikan, atau mungkin “sengaja” dihilangkan. Ketika rezim Orba, konsep rule of law dihilangkan dengan tampilnya politik sebagai kekuatan dominan, mengikis independensi hukum. Kekuasaan Negara hanya berada dibawah kendali satu tangan.
Kini setelah reformasi ’98, roh rule of law itu coba dimunculkan kembali melalui empat tahap Perubahan UUD 1945 (1999-2002). Namun ibarat bayi, rule of law melalui supremasi hukum itu masih berjalan tertatih-tatih. Diterpa banyak tantangan dan hambatan. Hambatan untuk mewujudkan rule of law ini semakin terasa ketika negara tunduk dibawah intervensi politik dan mengamputasi independensi hukum.
Politik Impunity dan Matinya Rule of Law
Semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai Negara hukum hendaknya menjadikan hukum sebagai ujung tombak proses pencarian keadilan. Bukan menggunakannya untuk melegitimasi kekuasaan yang meyimpang. Prinsip rule of law diutamakan. Karena jika hukum hanya digunakan untuk “mengamini ceramah” penguasa, maka Negara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Negara hukum (rechstaat), namun Negara kekuasaan (machstaat). Siapapun yang melanggar hukum, maka prinsip equality before the law diprioritaskan.
Sejak awal, skandal Century telah memunculkan dua kubu berseberangan diantara para ekonom. Antara yang pro dan kontra dilandasi argumentasi pembenaran masing-masing terhadap kebijakan bailout tersebut. Pertentangan tersebut telah melahirkan kebingungan ditengah-tengah masyarakat dan kisruh politik nasional.
Kini, masalah tersebut berlanjut. Bagi pihak yang selama ini kontra terhadap kebijakan bailout dan mendukung penyelesaian proses hukum terhadap Sri Mulyani dan Boediono, menilai keputusan SBY menerima pengunduran diri tersebut sebagai langkah mundur penegakan hukum, utamanya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, seorang Presiden seyogyanya mendukung upaya penegakan hukum dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan prinsip equality before the law. Bukan malah memberikan “pengampunan” terhadap pelanggar hukum. Langkah tersebut seolah memberikan lampu hijau bagi lahirnya politik impunitas terhadap seorang pejabat yang perah terjadi selama rezim Orba berkuasa.
Sementara yang pro kebijakan bailout, menganggap langkah SBY tersebut sebagai langkah yang tepat guna mengamankan kepentingan diplomasi keuangan Indonesia terhadap Bank Dunia. Asumsinya, dengan masuknya Sri Mulyani, Indonesia akan mudah mendapat bantuan dana maupun fasilitas program yang didanai oleh Bank Dunia.
Polemik Sri Mulyani saat ini adalah dilema pemerintahan yang juga pernah dialami oleh sebagian negara selain Indonesia. Ketika seorang pejabat penting, apalagi menjabat sebagai pejabat keuangan yang sangat “diistimewakan” karena peran dan pengalamannya dinilai mampu menaikan pertumbuhan ekonomi secara signifikan namun kemudian terkena masalah hukum, maka beban berat berada dipundak Presiden/PM untuk mengambil sikap; apakah mengikuti tuntutan oposisi untuk memberhentikan pejabat yang bersangkutan atau bahkan melindunginya dengan memberikan perlindungan (impunity) secara politik agar terbebas dari tuntutan hukum.
Politik impunity adalah hal yang paling ditakutkan dalam Negara hukum. Karena politik impunity hanya melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat Negara. Sebagaimana yang terjadi pada rezim Orba dulu, politik impunity telah menghasilkan kekuasaan yang koruptif. Politik impunity telah melemahkan kinerja lembaga-lembaga hukum Negara karena keputusan tentang bersalah atau tidaknya seseorang bukan dipengadilan, namun diputuskan oleh penguasa Orde Baru.
Rabu, 14 April 2010
Penegakan Hukum dan Profesionalisme Aparat (Tanggapan atas Kolom Prof Achmad Ali)

Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Dan Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta
Dalam teori maupun praktek penegakan hukum selama ini, semua komponen, apakah itu aparat (hakim, polisi, jaksa dan pengacara) maupun masyarakat luas terbebani tanggungjawab yang sama dalam memelihara ketertiban dan mewujudkan penegakan hukum. Karena makna supremasi hukum bukanlah makna tekstual-normatif semata, namun makna yang mengandung nilai filosofis sangat tinggi karena bersifat universal, tidak diskriminatif.
Membaca kolom dosen saya, Guru Besar Ilmu Hukum, Prof Dr. Achmad Ali SH.MH., di FAJAR (7/04/2010) tentang “Nokia Care Makassar dan Susno Duadji yang Tidak Profesional” secara “awam” dan dengan tingkat pengetahuan hukum saya yang pas-pasan (sangat berbanding jauh dengan tingkat pengetahuan hukum beliau), mendalami tulisan tersebut ada dua kesimpulan yang bisa saya tarik.
Pertama, kekecewaan beliau terhadap pelayanan Nokia Care Makassar yang menurutnya tidak professional karena menghilangkan data-data penting di HP Nokia beliau ketika HP tersebut telah diservis oleh karyawan Nokia Care, padahal sebelumnya telah diwanti-wanti oleh anak beliau bahwa boleh diservis namun dengan catatan semua data yang tersimpan jangan sampai hilang (artinya kurang lebih kepada si karyawan Nokia Care tersebut “jangan mengatakan IYA jika tidak bisa menjamin keselamatan data yang tersimpan dalam HP tersebut”).
Ini adalah kekecewaan yang wajar menurut saya karena dalam beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang perlindungan konsumen memang menjamin keselamatan produk oleh produsen ke konsumen, serta dijamin dengan ketentuan pidana jika hak-hak konsumen dilanggar, termasuk dalam kasus ini adalah HP Nokia beliau. Kemudian, karena kasus tersebut bisa saja pihak Nokia Care Makassar dikenai Pasal Kelalaian dalam KUHP karena terbukti ceroboh menghilangkan data penting yang ada di HP tersebut sehingga merugikan beliau sebagai seorang konsumen sekaligus pakar hukum.
Kesimpulan kedua, secara gramatikal, beliau “seolah-olah” menyamakan kasus salah servis karyawan Nokia Care Makassar tersebut dengan kasus “Perang Bharatayudha (kursip penulis)” antara Susno Duadji dan Mabes Polri yang menggoyang rimba belantara hukum Indonesia saat ini dengan tuduhan sama-sama tidak professional. Menurutnya, Susno Duadji telah bertindak “tidak professional” dengan membongkar bobrok di Mabes Polri ketika Susno sudah di non jobkan, yang seharusnya sejak dari Susno menjabat sebagai Kabareskrim, kasus tersebut telah diusut. Tersirat dalam bahasa tulisan tersebut kekecewaan beliau atas tindakan Susno Duadji karena dianggap tidak professional dengan mencemarkan nama baik Polri. Secara awam kita patut bertanya, adilkah kita menyamakan kasus pribadi antara beliau dengan pihak Nokia Care dengan kasus Susno Duadji yang merupakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia yang ingin melihat POLRInya bersih dan terhormat?
Membaca tulisan tersebut membuat saya penasaran. Sebagai orang yang masih ingin belajar banyak lagi tentang hukum, ingin bertanya kepada beliau. Ukuran profesionalisme seperti apa yang beliau pakai sehingga menyebut langkah Susno Duadji, seorang Jenderal Polri, yang melaporkan adanya dugaan mafia pajak di Mabes Polri sebagai tindakan tidak professional? Apakah ukuran professionalisme dan kewajiban ummat Muhammad SAW dalam visi amar makruf nahi munkar (sebagaimana yang tertulis dalam al qur’an dan as-sunnah) membahasakan kebenaran itu selalu dikaitkan dengan jabatan, sebagai Jenderal, Kapolri, Kapolres dan sebagainya, atau bisa saja dilakukan oleh orang yang biasa-biasa saja?
Kebenaran Bahasa Universal dan Profesionalisme Susno
Dengan tetap menaruh hormat kepada beliau sebagai seorang yang kepakaran hukumnya tidak diragukan lagi, hemat saya masalah membahasakan kebenaran itu adalah kewajiban semua umat manusia. Tidak perduli dia dari golongan agama, ras, suku, apalagi jabatan. Kebenaran tetap harus disuarakan untuk menjauhkan kita dari tindakan yang batil. Hal yang sama kita dapatkan dalam pepatah lama “kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang tidak terorgaisir”.
Dengan tidak memposisikan diri di pihak mana; apakah berada dipihak yang pro atau kontra, tetap saya sepakat dengan pendapat beliau bahwa dalam melihat kasus Susno Duadji ini terlalu dini kalau kemudian kita secara spontanitas langsung mem-pahlawan-kan seseorang, dan secara tergesa-gesa menuduh seseorang atau pihak lain sebagai “maling” dan lain sebagainya sementara proses hukum masih berjalan. Jangan sampai kita terjebak pada opini sesaat yang sering membuat kita salah/keliru mengambil kesimpulan.
Tetap kita secara fair menghormati asas presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah) dalam hukum positif kita sebagaimana yang tercantum dalam butir 3 Penjelasan Umum KUHAP tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil maupun yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rughts (UDHR) serta dalam Pasal 14 ayat (2) International Convention of Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana yang telah diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005.
Namun demikian, secara patut juga bisa kita terima reaksi rakyat Indonesia yang mengapresiasi keberanian Susno Duadji dalam upayanya membongkar indikasi sindikat mafia pajak yang melibatkan institusi Polri. Hal tersebut harus kita lihat sebagai sebuah rasa cinta Susno terhadap Polri dan negaranya. Setidaknya secara ksatria, Susno telah memperlihatkan bahwa masih ada aparat yang berani dan “bersih”. Dan kita juga semua yakin, bahwa masih banyak aparat penegak hukum yang masih memiliki idealisme seperti Susno dipenjuru nusantara yang berani membahasakan kebenaran sekalipun melawan atasan.
Yang hilang dari upaya penegakan hukum kita saat ini adalah sosok-sosok penegak hukum yang memiliki jiwa petarung, pemberani dan “pembangkang” seperti alm mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa, alm Hakim Agung Kartasasmita yang berani melawan kemapanan sistem ketika diketahuinya sistem tersebut salah/keliru. Saat ini yang bisa kita lakukan hanya berdoa agar reinkarnasi sosok-sosok terhormat tersebut bisa lahir dalam semua komponen utama sistem penegakan hukum kita. Jika memang pada akhirnya, apa yag dituduhkan oleh Susno tersebut benar adanya, secara ksatria kita harus mengapresiasinya sebagai sebuah kemajuan dalam upaya penegakan hukum kita. Namun kalaupun Susno juga terlibat dalam sindikat mafia tersebut, maka secara ramai-ramai kita akan menghakiminya. Salam, sekian dan terima kasih.
Jumat, 09 April 2010
Rabu, 31 Maret 2010
“Nyanyian” Susno dan Tantangan Satgas Mafia Hukum


Koran FAJAR, Senin 29 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Dan Institute Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta
Ujian terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia seolah tak ada habisnya. Belum usai kasus hukum skandal bailout Century, dunia hukum di Negara kita kembali geger dengan kasus Komjenpol Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri yang berseteru dengan Mabes Polri dalam perkara penggelapan pajak oleh oknum pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan yang disinyalir melibatkan dua petinggi Mabes Polri.
Seolah mengulang drama Cicak vs Buaya beberapa waktu lalu, “nyanyian” Susno ini telah membuat “perang terbuka” antara Susno dan Mabes Polri, institusi tempatnya meniti karir kepolisian selama ini. Ibarat pertarungan antara David vs Goliath, Susno berani menyuarakan fakta yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran yang sudah seharusnya disuarakan. Sekalipun harus melawan atasan dan pertaruhan status sebagai seorang Jenderal Bintang Tiga Mabes Polri.
Dikemudian hari, kontroversi Susno ini memunculkan pro-kontra. Oleh Mabes Polri, tuduhan Susno ini dinilai sebagai pelecehan terhadap institusi Polri, melanggar kode etik, pencemaran nama baik terhadap dua Jenderal, serta pelanggaran terhadap peraturan internal Polri lainnya. Sehingga Susno disudutkan, bahkan kemudian di-tersangka-kan. Namun kemudian, konsistensi Susno dalam melakukan perlawanan membuat ritme opini menjadi simpatik, dengan publik sebagai “hakim”nya. Dengan memakai logika suara mayoritas lebih mendekati kebenaran ketimbang pembelaan yang dilayangkan oleh Mabes Polri. Siapa sebenarnya “tersangka”; Susno atau Mabes Polri? Karena publik menilai apa yang dilakukan oleh Susno merupakan “jihad” amar ma’ruf nahi mungkar, sebagai seorang muslim, terlepas dari status Susno sebagai seorang Jenderal Bintang Tiga.
Siapa Berani?
Siapa berani? Pertanyaan ini kemudian lahir. Apakah Polri, KPK atau Satgas Mafia Hukum yang berani mengambil kasus ini. Kasus Susno Duadji dan Gayus Tambunan bukan kasus hukum “kelas teri”, tetapi kasus “kelas kakap” yang penanganannya membutuhkan konsentrasi dan keberanian ekstra. Memang untuk sementara, alur kasus ini masih menjadi otoritas Mabes Polri yang memeriksa Susno dengan beragam tuduhan pelanggaran internal. Tapi (jika) seandainya kasus ini kemudian melebar, dengan fakta-fakta yang mendukung keterangan Susno. beranikah KPK atau Satgas Mafia Hukum menanganinya? Karena dimata publik, Mabes Polri sudah menjadi “tersangka”
Irama kasus ini menjadi menarik karena dalam keterangannya, Susno telah menyebut inisial pihak yang diduga melibatkan diri dalam dugaan penggelapan pajak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, pihak yang disebut itu adalah orang dalam Mabes Polri sendiri bersama Gayus Tambunan. Sebuah keberanian yang amat jarang dimiliki oleh penegak hukum lainnya sekelas Susno.
Kasusnya menjadi semakin seru karena pihak yang kemudian “ditersangkakan” adalah Susno, yang notabene adalah orang dalam Mabes Polri. Yang di-tersangka-kan pun bukan masyarakat biasa, namun seorang Jenderal Bintang Tiga yang masih punya pengaruh cukup kuat di Mabes. Sekali lagi pertanyaannya, siapa yang berani mengambil kasus Susno Duadji?
Dengan tetap menghormati asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah), kita memang tidak boleh menuduh seseorang telah melakukan perbuatan pidana sebelum pengadilan membuktikannya. Tapi dalam kasus ini, atas dasar (kepentingan) apa Susno berbohong? Dengan perjalanan yang sudah semakin jauh, berliku dan terjal, ketika publik sudah bisa mengukur kredebilitas Polri, mungkinkah Susno akan menyerah dan mengatakan dirinya berbohong?
Menanti Gebrakan Satgas Mafia Hukum
Ketika kasus ini bergulir, ketika KPK masih disibukan dengan kasus Century, Satgas Mafia Hukum telah bekerja duluan dengan mengumpulkan bukti awal. Seolah tidak ingin dipandang sebagai “pemain kelas dua” dengan status sebagai “anak bawang”, Satgas unjuk gigi dan menampilkan diri sebagai lembaga yang bisa dipercaya dengan bekerja mengumpulkan data dari pihak-pihak terkait, termasuk Susno.
Dengan tetap mengusung optimisme, kita semua berharap agar Satgas mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun demikian, sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, tetap saja ada beberapa point penting menyertai perjalanan Satgas Mafia Hukum. Keterlibatannya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Menarik karena dari sekian banyak lembaga penegak hukum yang dibentuk (Polri, Kejaksaan, KPK), Satgas Mafia Hukum adalah lembaga yang terakhir dibentuk. Itupun dengan kewenangan yang tumpul. Lembaga dengan model serupa pernah ada pada tahun 2004 yaitu Tim Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi (Timtastipikor) melalui keppres No 59 Tahun 2004 yang kemudian dibubarkan oleh Presiden beberapa waktu kemudian.
Pertama, banyak orang meragukan kemampuan Satgas dalam mengawali perang terbuka dengan para mafia hukum di Indonesia. Karena secara kelembagaan, Satgas tidak cukup senjata mematikan untuk melumpuhkan para mafia hukum. Satgas tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat karena dibentuk hanya dengan Keppres yang notabene merupakan hak prerogatif presiden, yang juga sewaktu-waktu bisa dicabut oleh presiden jika dianggap mengganggu tugas-tugas eksekutif.
Pembentuannya tidak seperti lembaga penegak hukum lainnya (Polri, KPK dan Kejaksaan) melalui undang-undang yang merupakan kompromi politik antara DPR dan Presiden, sehingga posisi Satgas tidak cukup memiliki kekuatan (power) dan posisi tawar (bargaining position) yang kuat untuk bisa melakukan penekanan. Oleh karenanya, seperti halnya rekomendasi Tim 9 bentukan Presiden dalam perkara kriminalisasi KPK beberapa waktu lalu tidak dilaksanakan oleh Presiden, bisa ditebak jika hasil penyelidikan Satgas nantinya hanya bersifat rekomendasi biasa sehingga bisa dengan mudah diacuhkan Presiden.
Kedua, sebagaimana nasib Tim 9 yang kemudian dibubarkan Presiden karena dianggap terlampau berani mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Kapolri dan Ketua Jaksa Agung sehingga dinilai sudah memasuki ranah kekuasaan Presiden, maka tidak menutup kemungkinan nasib Satgas akan sama dengan dengan Tim 9 jika rekomendasi yang dihasilkan nantinya “sama galaknya” dengan rekomendasi Tim 9 beberapa waktu lalu. Dengan status sebagai lembaga “nomor dua” atau bahkan “anak bawang” dalam “permainan” penegakan hukum di Indonesia bersama Polri, Kejaksaan dan KPK membuat kredebilitas Satgas Mafia Hukum dipandang lemah oleh masyarakat.
Oleh karenanya, agar tidak dipandang sebagai “anak bawang”, tidak ada cara yang ditunjukan Satgas Mafia Hukum selain bekerja secara maksimal dan berani mengungkap kebenaran yang terselubung sekalipun harus berseberangan dengan penguasa sehingga publik menganggap Satgas mampu mewakili aspirasi mereka yang mendambakan Indonesia yang bermartabat dan bersih dari para mafia hukum. Semoga.
Dari Reformasi ke Revitalisasi: Upaya Mengembalikan Wibawa Hukum

Koran FAJAR, 17 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Sebelas tahun sudah kita lalui dalam upaya rekonstruksi untuk memurnikan idealisme hukum kita dari virus Orba. Rekonstruksi paradigma hukum pasca reformasi ’98 yang dimulai dari amandemen pertama UUD 1945 pada 1999 silam adalah upaya awal bagaimana sistem hukum kita lebih demokratis. Beragam konsep telah dijalankan. Dari sentralisasi ke desentralisasi. Dari otoritarian ke demokratisasi, liberalisasi politik menjadi wacana yang lantang disuarakan. Pada titik ini kemudian, paham konstitusionalisme modern ini mulai dikembangkan di Indonesia. Konstitusi yang menekankan supremasi hukum diatas segalanya.
Dalam konstruksi hukum di Indonesia, konstitusi menjadi pintu masuk bagi penerapan hukum tersebut. Konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 secara tertulis telah memberi rule bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan Negara itu harus selalu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok. Karena konstitusi dibuat atas dasar kepentingan umum, bukan pribadi atau kelompok.
Namun apa yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2009-2010) sungguh jauh panggang dari api. Idealisme konstitusi di indonesia diuji dengan berbagai masalah. Mulai dari kasus Prita, KPK, hingga Century yang telah memunculkan demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana sejatinya telah memberi sinyal kuning bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi “macet” karena seluruh energi terfokus pada satu isu yang juga sebenarnya menguntungkan pihak lain secara politis. Mulai dari obrolan warung kopi, lesehan pinggir jalan hingga lobi hotel bintang lima mengupas topik Century sebagai menu utama.
Dalam sudut pandang yang plural, masyarakat kemudian menilai dan mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, yang tidak sedikit diantaranya menghakimi hukum sehingga hukum menjadi pesakitan dan ‘diadili’. Para sarjana hukum, mulai yang bergelar S1 hingga guru besar. Mulai yang bergelar “pengangguran” hingga yang sudah menduduki jabatan selalu ditanya oleh masyarakat awam, kenapa hal itu bisa terjadi?
Benarkah hukum kita sejahat itu? Jika jawabannya adalah TIDAK, maka bagaimana (kita sebagai pelaku hukum) menjelaskan pada masyarakat atas beragam kasus diatas. Akankah kita membohongi masyarakat dengan mengatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia baik-baik saja, berada dalam kondisi fit alias tidak terkena penyakit “muntaber” sementara dalam kenyatannya hukum di Negara kita (memang) lagi terserang penyakit muntaber sehingga sering “mencret”?
Kemudian, kalaupun kita (secara ksatria) mengatakan YA, sudahkah kita melakukan instropeksi atas apa yang telah terjadi? Instropeksi secara personal dengan melakukan revitalisasi moral untuk menjadi penegak hukum yang berintegritas dan kredibel, kemudian dilanjutkan dengan revitalisasi secara struktural-kelembagaan dengan melakukan reformasi institusi, merekrut yang bersih dan membuang yang kotor dan “bervirus”. Kemudian setelah itu, ramuan apa yang akan digunakan untuk mengobati penyakit “muntaber” dunia hukum kita saat ini agar tidak terjadi lagi selanjutnya?
Keniscayaan Konsep Revitalisasi
Ketika mendiskusikan problematika masalah hukum di Indonesia, banyak orang menyodorkan konsep reformasi. Ada yang menggagas reformasi total, ada pula usulan konsep reformasi setengah-setengah. Pertanyaan yang lahir kemudian. Apakah selamanya solusi atas keterpurukan hukum adalah dengan mewacanakan REFORMASI? Benarkah reformasi menjadi kartu As solusi atas keterpurukan hukum di Indonesia? Jika jawabannya adalah YA, mengapa 11 tahun perjalanan reformasi pasca ’98, keterpurukan hukum kita masih terlihat. Lantas apa masalahnya? Mungkinkah reformasi dikambinghitamkan atas masalah-masalah hukum yang terjadi akhir-akhir ini?
Saya pikir sangat tidak bijaksana jika reformasi dikambinghitamkan atas masalah hukum yang terjadi saat ini. Reformasi bukan tujuan. Ia hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan kenegaraan yang lebih baik sebagai tujuan utama. Secara ksatria kita harus mengapresiasi upaya dari tokoh yang berhasil melahirkan reformasi. Karena jika tidak, maka sampai saat ini kita masih hidup di zaman jahiliyah Orba.
Menjawab masalah atas keterpurukan hukum di Indonesia tidak hanya mengandalkan hukum secara normatif, yang terkadang juga sering dilanggar oleh pelaku hukum itu sendiri. Kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan aparat penegak hukum adalah masalah moral dan persoalan rekrutmen personal yang nepotis. Bukan karena kita kekurangan pasal untuk menjerat pelaku korupsi maupun menekan praktek korupsi. Berarti solusinya lebih pada revitalisasi moral dan sistem. Merekonstruksi ulang bangunan sistem hukum kita harus menekankan pada pembentukan moral dan mental aparat hukum yang berintegritas. Jadi konsep menjadi bergeser dari reformasi ke revitalisasi.
Empat komponen utama dalam sistem penegakan hukum; hakim, polisi, jaksa dan pengacara adalah pemegang kartu As berhasil atau gagalnya upaya penegakan hukum di Indonesia. Kenapa? Karena keempat komponen ini adalah pemain utama dunia hukum. Mereka adalah pendekar-pendekar hukum yang harus bekerja bersama, bahu membahu dalam upaya penegakan hukum.
Berarti revitalisasi dimulai dari keempat komponen ini. Kenapa? Karena disitulah awalnya. Awal dari keberhasilan penegakan hukum mulai dilaksanakan. Juga sekaligus awal kehancuran sistem hukum jika kendali hukum dipegang oleh penguasa lalim yang tidak berperikemanusiaan.
Langganan:
Postingan (Atom)