
Koran FAJAR, 17 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Sebelas tahun sudah kita lalui dalam upaya rekonstruksi untuk memurnikan idealisme hukum kita dari virus Orba. Rekonstruksi paradigma hukum pasca reformasi ’98 yang dimulai dari amandemen pertama UUD 1945 pada 1999 silam adalah upaya awal bagaimana sistem hukum kita lebih demokratis. Beragam konsep telah dijalankan. Dari sentralisasi ke desentralisasi. Dari otoritarian ke demokratisasi, liberalisasi politik menjadi wacana yang lantang disuarakan. Pada titik ini kemudian, paham konstitusionalisme modern ini mulai dikembangkan di Indonesia. Konstitusi yang menekankan supremasi hukum diatas segalanya.
Dalam konstruksi hukum di Indonesia, konstitusi menjadi pintu masuk bagi penerapan hukum tersebut. Konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 secara tertulis telah memberi rule bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan Negara itu harus selalu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok. Karena konstitusi dibuat atas dasar kepentingan umum, bukan pribadi atau kelompok.
Namun apa yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2009-2010) sungguh jauh panggang dari api. Idealisme konstitusi di indonesia diuji dengan berbagai masalah. Mulai dari kasus Prita, KPK, hingga Century yang telah memunculkan demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana sejatinya telah memberi sinyal kuning bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi “macet” karena seluruh energi terfokus pada satu isu yang juga sebenarnya menguntungkan pihak lain secara politis. Mulai dari obrolan warung kopi, lesehan pinggir jalan hingga lobi hotel bintang lima mengupas topik Century sebagai menu utama.
Dalam sudut pandang yang plural, masyarakat kemudian menilai dan mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, yang tidak sedikit diantaranya menghakimi hukum sehingga hukum menjadi pesakitan dan ‘diadili’. Para sarjana hukum, mulai yang bergelar S1 hingga guru besar. Mulai yang bergelar “pengangguran” hingga yang sudah menduduki jabatan selalu ditanya oleh masyarakat awam, kenapa hal itu bisa terjadi?
Benarkah hukum kita sejahat itu? Jika jawabannya adalah TIDAK, maka bagaimana (kita sebagai pelaku hukum) menjelaskan pada masyarakat atas beragam kasus diatas. Akankah kita membohongi masyarakat dengan mengatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia baik-baik saja, berada dalam kondisi fit alias tidak terkena penyakit “muntaber” sementara dalam kenyatannya hukum di Negara kita (memang) lagi terserang penyakit muntaber sehingga sering “mencret”?
Kemudian, kalaupun kita (secara ksatria) mengatakan YA, sudahkah kita melakukan instropeksi atas apa yang telah terjadi? Instropeksi secara personal dengan melakukan revitalisasi moral untuk menjadi penegak hukum yang berintegritas dan kredibel, kemudian dilanjutkan dengan revitalisasi secara struktural-kelembagaan dengan melakukan reformasi institusi, merekrut yang bersih dan membuang yang kotor dan “bervirus”. Kemudian setelah itu, ramuan apa yang akan digunakan untuk mengobati penyakit “muntaber” dunia hukum kita saat ini agar tidak terjadi lagi selanjutnya?
Keniscayaan Konsep Revitalisasi
Ketika mendiskusikan problematika masalah hukum di Indonesia, banyak orang menyodorkan konsep reformasi. Ada yang menggagas reformasi total, ada pula usulan konsep reformasi setengah-setengah. Pertanyaan yang lahir kemudian. Apakah selamanya solusi atas keterpurukan hukum adalah dengan mewacanakan REFORMASI? Benarkah reformasi menjadi kartu As solusi atas keterpurukan hukum di Indonesia? Jika jawabannya adalah YA, mengapa 11 tahun perjalanan reformasi pasca ’98, keterpurukan hukum kita masih terlihat. Lantas apa masalahnya? Mungkinkah reformasi dikambinghitamkan atas masalah-masalah hukum yang terjadi akhir-akhir ini?
Saya pikir sangat tidak bijaksana jika reformasi dikambinghitamkan atas masalah hukum yang terjadi saat ini. Reformasi bukan tujuan. Ia hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan kenegaraan yang lebih baik sebagai tujuan utama. Secara ksatria kita harus mengapresiasi upaya dari tokoh yang berhasil melahirkan reformasi. Karena jika tidak, maka sampai saat ini kita masih hidup di zaman jahiliyah Orba.
Menjawab masalah atas keterpurukan hukum di Indonesia tidak hanya mengandalkan hukum secara normatif, yang terkadang juga sering dilanggar oleh pelaku hukum itu sendiri. Kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan aparat penegak hukum adalah masalah moral dan persoalan rekrutmen personal yang nepotis. Bukan karena kita kekurangan pasal untuk menjerat pelaku korupsi maupun menekan praktek korupsi. Berarti solusinya lebih pada revitalisasi moral dan sistem. Merekonstruksi ulang bangunan sistem hukum kita harus menekankan pada pembentukan moral dan mental aparat hukum yang berintegritas. Jadi konsep menjadi bergeser dari reformasi ke revitalisasi.
Empat komponen utama dalam sistem penegakan hukum; hakim, polisi, jaksa dan pengacara adalah pemegang kartu As berhasil atau gagalnya upaya penegakan hukum di Indonesia. Kenapa? Karena keempat komponen ini adalah pemain utama dunia hukum. Mereka adalah pendekar-pendekar hukum yang harus bekerja bersama, bahu membahu dalam upaya penegakan hukum.
Berarti revitalisasi dimulai dari keempat komponen ini. Kenapa? Karena disitulah awalnya. Awal dari keberhasilan penegakan hukum mulai dilaksanakan. Juga sekaligus awal kehancuran sistem hukum jika kendali hukum dipegang oleh penguasa lalim yang tidak berperikemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar