Tribun Timur, Rabu 13 Januari 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas dan PusHAM Unhas
Kongres Partai Amanat Nasional yang berlangsung di Batam selama tiga hari akhirnya secara aklamasi mendaulat Hatta Radjasa sebagai Ketua Umum. Menariknya, terpilihnya Hatta Radjasa didahului dengan pengunduran diri Drajad Wibowo yang sebelumnya diprediksi menjadi pesaing kuat Hatta. Jadilah Kongres PAN menjadi pengakuan sepihak atas eksistensi seorang Hatta. Sebuah drama politik minus substansi demokrasi yang dipertontonkan oleh partai yang besar dari rahim reformasi dan mengklaim diri sebagai partai reformis.
Sebagai ‘partai reformis’ yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 1998, tidak lama setelah jatuhnya era despotisme Orba Soeharto, PAN yang didirikan oleh sejumlah tokoh dari sejumlah aktivis LSM, Majelis Amanah Rakyat (WARA) dan beberapa tokoh nasional seperti M Amien Rais, Goenawan Moehammad, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Herawaty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, PAN mengusung idealisme melalui cita-cita yang dicanangkannya yaitu berakar pada moral agama, kemanusiaan, kemajemukan, nonsektarian dan nondiskriminatif. Sejarah pendirian dengan segenap cita-citanya itu secara terus-menerus merupakan spirit yang mendasari eksistensi PAN.
Idealisme yang Tersisa
Naiknya Hatta Radjasa sebagai Ketum PAN menyisakan idealisme yang tersisa dari sang proklamator, HM Amien Rais. Sudah pasti, konsekuensi politik dari naiknya Hatta akan secara radikal mengubah garis perjuangan partai yang mengklaim dirinya sebagai partai reformis. Hatta yang notabene adalah orang dekat SBY dan berkoalisi dengan kabinet SBY-Boediono sudah pasti tidak akan mengambil sikap oposisi, namun akan total dan loyal menyokong pemerintah, sekalipuan harus berseberangan dengan garis konstitusi. Para pendukung PAN pun, yang reformis dan selama ini konsisten menjaga poros poros politik Amin Rais, akhirnya menjadi pesimis dengan visi garis perjuangan PAN, mengawal agenda reformasi yang tersisa.
Apa yang bisa dibaca dari garis politik atau haluan PAN pasca naiknya Hatta? Bahwa selain akan mengubah garis perjuangan PAN, Hatta juga akan lebih condong memakai tenaga orang-orang yang selama ini sekubu dengannya dan menyingkirkan kader yang berseberangan dengannya. Politik adalah pertentangan antara like and dislike. Praktek ”buang membuang’, dan penyingkiran sejumlah kader hanya karena berseberangan sikap politik adalah fenomena biasa yang terjadi dalam sebuah partai. Apalagi dalam partai besar seperti PAN. Sikap politik dan loyalitas kedalam kabinet SBY-Boediono akan memudahkan kader-kader PAN yang haus kekuasaan untuk berlomba mencari muka sekedar untuk memburu dan mendapatkan jabatan. Kata reformasi dan idealisme partai kemungkinan besar hanya akan menjadi sejarah usang dalam buku politik PAN.
Selanjutnya, sejumlah kader yang masih menyisakan idealismenya akan mengalami kegamangan; apakah akan tetap bertahan dalam partai dengan konsekuensi diacuhkan, memutuskan keluar dari partai dan bergabung dengan partai lain dan menyandang status sebagai ’kader buangan”, atau bahkan mendirikan partai baru yang bisa melanjutkan perjuangan idealisme mereka. Sebagaimana PKB, PDK-PDIP, NU-PKNU atau GOLKAR-HANURA. Dalam situasi ini, peran dan ketokohan seorang Amin Rais sebagai begawan PAN yang selama pemerintahan SBY-JK selalu konsisten tampil sebagai oposisi, mengkritisi setiap kebijakan pemerintah akan diuji dan dipertaruhkan. Apakah mampu menyelamatkan idealisme yang dipertahankan selama bertahun-tahun atau bahkan menangis melihat ”kehancuran” PAN.
Sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, selama sebelas tahun berkiprah, PAN tidak konsisten menunjukan identitas sebagai partai reformis dan idealis. Kultur politik yang berwatak oportunistis dan pragmatis, menghalangi cita-cita dan idealisme dari para pemrakarsa PAN, utamanya HM Amin Rais yang menginginkan PAN konsisten dalam garis ’oposisi’. Tak satupun tokoh selain Amin Rais yang mampu ditonjolkan dan laku ’dijual’ ke publik untuk mendapatkan kepercayaan. Amin Rais pun yang mewakili simbol sebagai salah satu tokoh reformis, juga tidak mampu menarik dukungan publik secara maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari Pemilu Presiden 2004 lalu, ketokohan seorang Amin Rais yang berpasangan dengan Siswono, tak mampu membeli suara publik yang menjatuhkan pilihannya pada SBY-JK. Pasangan Amin Rais-Siswono pun akhirnya hanya menduduki nomor buncit dalam perolehan suara. ”Tragedi” ini berulang pada Pilpres 2009 lalu, PAN kalah bersaing dengan partai-partai besar lainnya dalam menjual calon presidennya. Soetrisno Bachrir yang seyogyanya diharapkan mampu bersaing dalam perebutan kursi RI I akhirnya hanya mampu menjadi penonton karena ketokohannya tak laku di mata publik.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena idealisme seorang Amin Rais tentang sebuah ”Indonesia yang mandiri dan bermartabat” tak mampu ditularkan ke sejumlah kader PAN. Kalaupun ada, kader PAN yang mengikuti arah perjuangan Amin Rais hanya sedikit jumlahnya. Tak mampu mengalahkan dominasi kaum demagog yang bercokol dalam tubuh PAN. Kaum demagog adalah orang-orang (politisi, penegak hukum, aktivis yang menjual isu demokrasi untuk kepentingannya sendiri). Kaum demagog ini mengkhianati idealisme dan konsistensi perjuangan PAN.
Kaum demagog dalam tubuh PAN, maupun dalam partai-partai lainnya selama ini menjadi penghambat pewacanaan arus utama demokrasi dalam sistem politik nasional. Penghambaan terhadap materi dan kekuasaan, konflik dalam drama perebutan kekuasaan yang ditampilkan oleh elit selama ini yang telah menjadi racun dan benalu yang menghancurkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia.
Akhirnya kondisi ini mengakibatkan sistem kaderisasi dan pola regenerasi kepemimpinan dalam tubuh PAN pasca mundurnya HM Amin Rais mengalami degradasi. Figur-figur yang naik dan tampil di publik hanya menyontek karakter politik konvensional. Tidak mampu bersaing dengan figur dari partai lain. Konsekuensi ini secara otomatis akan mempertanyakan eksistensi PAN mengawal agenda reformasi sebelum perhelatan Pemilu 2014. Dengan sang nakhoda baru, dilema PAN untuk tetap memperlihatkan diirinya sebagai parta reformis mengalami kegamangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar