Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Selasa, 03 Agustus 2010

Degradasi Legitimasi DPR Kita


Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan
(Dimuat dalam Koran FAJAR Makassar, edisi Selasa 3 Agustus 2010)


Sudah terlalu banyak kecaman yang ditujukan untuk menyoroti sikap-perilaku anggota DPR kita, yang dalam melaksanakan tiga fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran sangat jauh panggang dari api. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, DPR tak mampu membuat publik puas dengan menekan pemerintah untuk lebih bertanggungjawab sekaitan dengan maraknya kasus ledakan tabung gas elpiji di beberapa wilayah.
Malah terkait fungsi legislasi, DPR baru menyelesaikan 5 RUU dari target 70 RUU yang akan diselesaikan tahun ini. Senada dengan analisis Syamsuddin Haris, tantangan utama DPR adalah meningkatkan produktifitas dan kualitas legislasi. Masalah terbesar DPR 2004-2009 adalah kegagalannya dalam meningkatkan produktifitas dan kualitas UU yang dihasilkan. DPR lalu juga hanya bisa menyelesaikan 38,6 persen RUU prioritas. Hal ini kemudian membuat publik pesimis dengan prospek DPR kedepan. Kejengkelan publik pun bertambah dengan perilaku beberapa anggota DPR yang sering bolos ketika harus mengikuti rapat paripurna.
Juga karena kejengkelan tersebut, seorang artis senior nekat melakukan “teaterikal” gerakan mahasiswa ’98 dengan memanjat dan mencoret atap gedung DPR untuk memprotes sikap wakil rakyat yang menurutnya tidak tegas, jujur dan adil. Tindakan tersebut adalah bentuk kekecewaan seorang warga Negara terhadap DPR. Sekalipun menurut anggota DPR adalah tidak wajar. Namun, ibarat “anjing menggonggong kafilah berlalu”, beragam kritik publik ini dianggap angin lalu oleh DPR yang tetap saja sibuk dengan urusan masing-masing.

Mengulang Menyalahkan Sistem
Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan DPR kita? Mengapa ketika reformasi sudah berjalan dua belas tahun, DPR tak kunjung memperlihatkan kemajuan berarti sekaitan dengan fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran? DPR kita seolah masih “diperbudak” oleh watak Orba yang cenderung melihat pelaksanaan fungsi dalam kacamata kuda. Bukan berpikir bagaimana agar fungsi tersebut secara benar dan tepat mampu mensejahterakan rakyat.
Satu dari banyak faktor yang bisa dijadikan alasan dalam mengkritisi DPR kita adalah sistem. Sistem ini sebagai biang keladi mengapa DPR kita masih “begitu-begitu saja”. Tanpa mengesampingkan aspek personal anggota DPR yang memang sebagian juga “bermasalah”, sistem ini lebih dikritik karena mengelola energi yang cenderung besar. Untuk lebih jelasnya, mari kita membedah satu persatu kelemahan sistem tersebut. Pertama, Pemilu langsung anggota DPR memiliki plus-minus kualitas demokrasi di indonesia. Disatu sisi, sistem Pemilu langsung memang telah menjamin terpenuhinya kebebasan Sipol masyarakat karena rakyat bisa langsung menilai dan memilih wakil-wakilnya secara lebih terbuka dan transparan.
Namun justeru disinilah masalah itu muncul. Sistem tersebut mengakibatkan pergantian kursi legislator menurut ukuran capital (baca: modal) dan popularitas, bukan kemampuan. Orang-orang yang dulunya kompeten dan masih layak dipertahankan, terpaksa harus meninggalkan empuknya kursi senayan karena perolehan suaranya tidak mencukupi. Mereka yang tadinya kapabel, kritis dan lantang digantikan oleh “gerombolan artis” yang entah dari mana datangnya tiba-tiba masuk hanya dengan bermodalkan popularitas. Jadilah DPR ibarat lakon “Opera Van Java” versi DPR. Dari 560 anggota DPR, sekitar 70 persen adalah orang baru yang belum memiliki pengalaman politik cukup.
Pemilu langsung juga telah memanaskan peta politik yang tidak jarang berujung konflik; baik antar pasangan calon, maupun antar massa pasangan calon. Sebagaimana yang juga terjadi pada Pemilukada dan Pilpres. Parpol juga ketiban berkah karena banyak yang mendaftar sebagai Caleg. Karena UU Pemilu DPR/DPD/DPRD mengatur persyaratan pencalonan harus melalui Parpol. Selain itu, praktek money politic juga menjadi fenomena yang terus berulang tiap kali hajatan pesta demokrasi Pemilukada atau Pilpres digelar .
Kedua, sistem rekrutmen kader Parpol selama ini cenderung mengutamakan faktor materi dan status sosial, bukan kemampuan kader dalam menjawab berbagai permasalahan bangsa. Untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, Parpol memperlihatkan diri sebagai “rentenir” yang aktif mencari nasabah. Dengan kata lain, lebih memprioritaskan “gizi” sebagai ukuran, bukan kemampuan sang calon. Jadilah si calon lenggak-lenggok ke Senayan sekalipun minim kemampuan.
Hal ini juga yang menjadi kelemahan undang-undang Pemilu DPR/DPD/DPRD karena kurang memperhatikan aspek personalia caleg. Urusan pencalonan seluruhnya diserahkan pada Parpol yang terbukti juga hanya menjadi rentenir yang sibuk mencari nasabah yang ingin berinvestasi politik sebagai Caleg. Syarat pencalonan melalui Parpol yang longgar, telah membuka fenomena praktek pemerasan oleh Parpol terhadap siapa saja yang berniat menjadi Caleg. Yang berduit akan diprioritaskan dan lebih berpeluang duduk di kursi dewan ketimbang yang “miskin”. Imbasnya, mahalnya ongkos politik yang telah dikeluarkan ketika mengikuti tahapan Pileg membuat sebagian anggota DPR menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan korupsi. Seperti yang dilakukan oleh Al Amin Nasution dkk.
Juga undang-undang parpol yang tidak sedikitpun menyinggung soal rekrutmen personal yang kapabel. Undang-undang Parpol hanya mengatur aspek teknis-formal terkait syarat pendirian Parpol dan lain sebagainya. Tidak menyinggung bagaimana agar Parpol memiliki kader yang kompeten
Ketiga, politik kartel di DPR yang sering dipraktekan selama ini sejatinya juga telah melemahkan tugas dan fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan. Utamanya dalam menjalankan fungsi pengawasan. Politik kartel menjadi alat bartel bagi parta berkuasa (the rulling party) agar kelompok oposisi tidak melangkah lebih jauh. Beberapa masalah yang seharusnya memerlukan pengawasan dan menuntut penyelesaian, tidak dilaksanakan oleh DPR. Kita bisa melihat bagaimana mudahnya beberapa anggota DPR dari partai pro pemerintah mengatakan “lebih baik kasus Century di peti es-kan saja”. Termasuk kelambanan DPR dalam menekan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ledakan tabung gas elpiji.
Beberapa masalah tentang DPR diatas membuat konsep lembaga perwakilan di negara ini menjadi ambigu. Pada satu sisi, lembaga perwakilan dituntut lebih pro aktif mendengarkan suara rakyat yang tidak menembus gedung parlemen. Mampu menjalankan tiga fungsi utamanya; legislasi, pengawasan dan anggaran secara lebih nyata dan bertanggungjawab. Namun pada sisi lain, kelemahan sistem perekrutan. Minimnya kemampuan personalia anggota DPR, dan beberapa masalah lainnya membuat DPR kita kehilangan kepercayaan dari rakyat. Masih untung hanya satu orang yang kemarin memanjat gedung DPR. Bisa dibayangkan jika yang memanjat gedung DPR itu adalah ribuan mahasiswa yang kecewa dengan DPR seperti demonstrasi mahasiswa tahun 1998 lalu.

Selasa, 08 Juni 2010

Waspadai Korupsi Kekuasaan



Koran FAJAR Makassar, Sabtu 5 Juni 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konsitusi Unhas

Untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan extra ordinary dan abuse of public office, tidak saja mengandalkan perangkat undang-undang yang juga terkadang tidak bertuah. Lebih dari itu, political will pemerintah ditambah dengan dukungan kelembagaan yang kuat, akan menjadi pembuktian sukses tidaknya program pemberantasan korupsi dijalankan. Korupsi harus dipandang sebagai musuh bersama (common enemy). Dukungan kelembagaan berupa hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memudahkan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Bersama Polri dan Kejaksaan, KPK menjadi amunisi baru dalam kampanye perang melawan korupsi.
Saat ini, Panitia Seleksi (Pansel) sudah mulai bekerja untuk merekrut dua calon pimpinan KPK yang akan direkomendasikan ke DPR dan dipilih salah satunya. Masyarakat tentu berharap agar proses seleksi pimpinan KPK yang baru, berjalan secara demokratis dan transparan. Hal ini agar terpilih figur pimpinan yang bersih, tanpa cacat, mampu menjaga independensi KPK dengan tidak membawa KPK pada arus politik, dan tentunya disegani oleh para koruptor.

KPK Jilid I
Sejak lahirnya, KPK mengemban tugas teramat berat; mengembalikan makna supremasi hukum yang “bersembunyi” dibalik Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Supremasi hukum yang selama tiga puluh dua tahun “dipenjara” oleh rezim Orba dengan memelihara kultur koruptif melalui kendali Istana. Mengakibatkan makna Negara hukum (rechstaat) berbalik menjadi Negara kekuasaan (machstaat).
KPK Jilid I bekerja dibawah tekanan maraknya praktek korupsi dikalangan pejabat Negara serta terbebani kegagalan pendahulunya yang lebih dulu “mangkat” atau “sengaja dibubarkan”. Seperti Tim Pemberantasan Korupsi (TPK/ 1967), Komisi Anti Korupsi (KAK/1970), Komisi Empat (1970), OBSTIB (1977), Tim Pemberantasan Korupsi (TPK/1982), Timtastipikor (2004). Walaupun kita sudah memiliki tiga undang-undang anti korupsi (31/1971, 31/1999 dan 20/2001)
Dimulai dengan penangkapan Gubernur Aceh, Abdullah Puteh dalam kasus pengadaan helikopter tahun 2004 lalu, KPK Jilid I dibawah Taufiqrachman Ruki secara perlahan berhasil menumbuhkan spirit pemberantasan korupsi. KPK berhasil membalikan persepsi masyarakat yang semula pesimis dengan segala tetek bengek kampanye pemberantasan korupsi, menjadi optimis. Dalam kasus Puteh, KPK berhasil mendobrak tembok tebal politisasi korupsi pada era Orba yang banyak melindungi pejabat. KPK telah membuktikan bahwa prinsip equality before the law bukan sebuah mitos.
Selanjutnya, pemeriksaan korupsi Probosutedjo bersama pengacaranya, Harini Wijoso dalam kasus Hutan Tanaman Industri, yang menggoyang gedung Mahkamah Agung tahun 2005 lalu semakin mengukuhkan kiprah KPK. Apalagi ditengah munculya isu judicial corruption saat itu membuat KPK semakin bersemangat. Namun sayang, KPK Jilid I tidak mampu menuntaskan kasus korupsi rezim Orba yang melibatkan Cendana. Bersama kasus BLBI dan dugaan korupsi penjualan kapal Tanker Pertamina yang kemudian hilang bak ditelan bumi, KPK akhirnya tak berdaya melawan keputusan Jaksa Agung yang meng-SP3-kan kasus korupsi Soeharto.

KPK Jilid II
Dibawah kendali Antasari Azhar, KPK semakin unjuk gigi. Penangkapan Jaksa Urip dan pengusaha Artalita dalam kasus suap menguatkan desakan reformasi total kejaksaan. Tertangkapnya Jaksa Urip saat itu membuat masyarakat menuntut agar Kejagung melakukan reformasi kejaksaan untuk menghilangkan praktek korupsi. Mendorong terwujudnya good governance dan clean government di instansi Kejaksaan.
Sukses dalam kasus Urip, KPK kembali memperlihatkan “taji”nya dengan menangkap komisioner Komisi Yudisial (KY) Irawadi Joannes dalam kasus suap. Beberapa anggota DPR pun tidak luput dari pemeriksaan. Gedung Dewan yang saat rezim Orba terkesan “sakral” dan “angker”untuk dimasuki akhirnya didobrak oleh KPK dengan tertangkapnya Al Amin Nasution dan Yusuf Emir Faisal dalam kasus korupsi pengalihan fungsi hutan di Tanjung Bintan dan Tanjung Api-Api. Era otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak tahun 1999 juga membuka pintu masuk bagi KPK untuk membidik beberapa pejabat daerah setingkat Bupati dan Gubernur dalam dugaan korupsi. Hasilnya, beberapa pejabat tersebut divonis di Pengadilan khusus Tipikor.
Namun sayang, penahanan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin membuat KPK berada pada titik nadir. Banyak pihak memprediksi inilah akhir dari sepak terjang KPK. Mulai saat itu, beberapa serangan balik yang dialamatkan kepada KPK membuat lembaga superbody ini kehilangan digdaya. Apalagi dengan penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dengan tuduhan menerima suap dalam kasus Anggoro membuat KPK dan Mabes Polri telibat “perang dingin”. Terakhir, dugaan korupsi dalam skandal bailout Century menanti penyelesaian oleh KPK.

KPK Jilid III; Waspadai Korupsi Kekuasaan
Berkaca pada sepak terjang KPK Jilid I dan II, maka kiprah KPK Jilid III tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Bergigi menangani kasus korupsi pejabat Negara, namun tak bernyali jika sudah menyentuh jenis korupsi kronism dan clientalism. Apalagi yang menyentuh ring satu Istana seperti yang terjadi dalam kasus skandal bailout Century lalu.
KPK Jilid I dan II hanya menang jika berhadapan dengan jenis korupsi “ringan” seperti pencurian aset negara ( pillaging of state assets) sebagai bentuk korupsi yang paling banyak dan paling mudah dilakukan. Bentuk aset yang dicuri jenisnya sangat luas, mulai dari peralatan kantor, mesin-mesin, sampai pada BUMN. Sistim administrasi yang lemah, serta tidak adanya control yang memadai menyebabkan keberadaan aset tidak terkontrol. Juga korupsi jenis distorsi anggaran belanja pemerintah; pengeluaran APBN untuk sesuatu proyek mengalami distorsi karena adanya mark-up yang dilakukan pejabat yang berwenang untuk sesuatu proyek yang berakibat biaya proyek lebih tinggi dari yang sebenarnya dengan kelebihan biaya masuk kekantong pribadi.
KPK tumpul jika berhadapan dengan modul korupsi patronisme (clientalism.) Korupsi ini bisa terjadi manakala pejabat memperoleh jabatan politik dengan memberi imbalan materi pada pendukungnya. Seperti yang terjadi pada kasus Miranda Goeltom. Ini adalah money politik seperti yang dipahami secara luas oleh publik selama ini. KPK juga masih lemah dan ”sungkan” jika berhadapan dengan korupsi kronism. Adalah bentuk korupsi yang terjadi manakala pengangkatan jabatan publik dan pemberian hak-hak ekonomi didasarkan atas hubungan family seperti yang terjadi pada masa Orba.
Dalam persiapan menjelang Pemilu 2014 mendatang. Baik Pileg maupun dan Pilpres, korupsi kekuasaan dengan model patronisme dan kronism besar kemungkinan akan terjadi.

Senin, 10 Mei 2010

“Memaafkan” Sri Mulyani, Bergesernya Teori Rule of Law


Koran FAJAR Makassar, Senin 10 Mei 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konsitusi
pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas

Tampaknya konstitusi kita yang mengatakan bawa Negara kita adalah Negara hukum (rechstaat), harus dirubah sebagai negara kekuasaan (machstaat). Doktrin rule of law yang (secara teori) kita anut telah bergeser menjadi rule of polithic dengan begitu dominannya kekuatan politik yang mengendalikan independensi hukum.
Para pihak yang selama ini ngotot menginginkan agar Sri Mulyani dan Boediono diproses secara hukum karena dinilai sebagai pihak yang dianggap paling bertanggungjawab dalam kisruh skandal bailout Century beberapa waktu lalu tampaknya harus siap gigit jari. Sebagaimana laporan media, bahwa Sri Mulyani telah mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menteri Keuangan kepada SBY karena diminta oleh Bank Dunia (World Bank) untuk menjadi salah satu Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Keputusan pengunduran diri ini jelas menguntungkan Sri Mulyani secara politis. Karena untuk sementara bisa aman dari kejaran tuntutan hukum penyelesaian kasus Century yang melibatkannya. SBY telah membuka “jalan pintas” untuk selamat dari tuntutan hukum kepada Sri Mulyani. Sementara pada sisi yang lain, sikap SBY menerima pengunduran diri Sri Mulyani dianggap menguatkan posisi diplomasi keuangan Indonesia yang ingin mengamankan kepentingannya dengan Bank Dunia dengan menempatkan Sri Muyani sebagai salah satu pejabat penting Bank Dunia.

Rule of Law yang Hilang
Jika benar teori pengamat bahwa politik determinan atas hukum (determinan-dominan, bisa juga dikatakan mengendalikan), maka teori tersebut benar adanya jika melihat bagaimana negara memberikan “pengampunan” kepada Sri Mulyani, sosok yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap kebijakan bailout Century lalu bersama Boediono. Teori politik determinan hukum dalam kasus Sri Mulyani membuktikan bergesernya konsep rule of law “ala Indonesia’, bukan sebagai sebagai Negara hukum (rechstaat) namun kembali menjadi negara kekuasaan (machstaat) sebagaimana yang pernah terjadi pada rezim Orba dulu.
Salah satu tujuan hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial, sebagaimana teori R. Pound. Dalam pandangan sosiologi hukum, fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial ini dimaksudkan agar tercipta keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, dengan tidak melanggar norma-norma hukum. Namun demikian, akhir-akhir ini, fungsi ini cenderung disalahgunakan menjadi hukum sebagai “alat rekayasa kepentingan”. Dengan mengutamakan kepentingan politik minus substansi diatas kepentingan hukum dan nilai-nilai keadilan.
Rule of law kita adalah rule of law yang hilang atau disembunyikan. Kenapa? Karena sejatinya rule of law dimunculkan dalam setiap tindakan, bukan malah disembunyikan, atau mungkin “sengaja” dihilangkan. Ketika rezim Orba, konsep rule of law dihilangkan dengan tampilnya politik sebagai kekuatan dominan, mengikis independensi hukum. Kekuasaan Negara hanya berada dibawah kendali satu tangan.
Kini setelah reformasi ’98, roh rule of law itu coba dimunculkan kembali melalui empat tahap Perubahan UUD 1945 (1999-2002). Namun ibarat bayi, rule of law melalui supremasi hukum itu masih berjalan tertatih-tatih. Diterpa banyak tantangan dan hambatan. Hambatan untuk mewujudkan rule of law ini semakin terasa ketika negara tunduk dibawah intervensi politik dan mengamputasi independensi hukum.

Politik Impunity dan Matinya Rule of Law
Semua negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai Negara hukum hendaknya menjadikan hukum sebagai ujung tombak proses pencarian keadilan. Bukan menggunakannya untuk melegitimasi kekuasaan yang meyimpang. Prinsip rule of law diutamakan. Karena jika hukum hanya digunakan untuk “mengamini ceramah” penguasa, maka Negara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai Negara hukum (rechstaat), namun Negara kekuasaan (machstaat). Siapapun yang melanggar hukum, maka prinsip equality before the law diprioritaskan.
Sejak awal, skandal Century telah memunculkan dua kubu berseberangan diantara para ekonom. Antara yang pro dan kontra dilandasi argumentasi pembenaran masing-masing terhadap kebijakan bailout tersebut. Pertentangan tersebut telah melahirkan kebingungan ditengah-tengah masyarakat dan kisruh politik nasional.
Kini, masalah tersebut berlanjut. Bagi pihak yang selama ini kontra terhadap kebijakan bailout dan mendukung penyelesaian proses hukum terhadap Sri Mulyani dan Boediono, menilai keputusan SBY menerima pengunduran diri tersebut sebagai langkah mundur penegakan hukum, utamanya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, seorang Presiden seyogyanya mendukung upaya penegakan hukum dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan prinsip equality before the law. Bukan malah memberikan “pengampunan” terhadap pelanggar hukum. Langkah tersebut seolah memberikan lampu hijau bagi lahirnya politik impunitas terhadap seorang pejabat yang perah terjadi selama rezim Orba berkuasa.
Sementara yang pro kebijakan bailout, menganggap langkah SBY tersebut sebagai langkah yang tepat guna mengamankan kepentingan diplomasi keuangan Indonesia terhadap Bank Dunia. Asumsinya, dengan masuknya Sri Mulyani, Indonesia akan mudah mendapat bantuan dana maupun fasilitas program yang didanai oleh Bank Dunia.
Polemik Sri Mulyani saat ini adalah dilema pemerintahan yang juga pernah dialami oleh sebagian negara selain Indonesia. Ketika seorang pejabat penting, apalagi menjabat sebagai pejabat keuangan yang sangat “diistimewakan” karena peran dan pengalamannya dinilai mampu menaikan pertumbuhan ekonomi secara signifikan namun kemudian terkena masalah hukum, maka beban berat berada dipundak Presiden/PM untuk mengambil sikap; apakah mengikuti tuntutan oposisi untuk memberhentikan pejabat yang bersangkutan atau bahkan melindunginya dengan memberikan perlindungan (impunity) secara politik agar terbebas dari tuntutan hukum.
Politik impunity adalah hal yang paling ditakutkan dalam Negara hukum. Karena politik impunity hanya melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh pejabat Negara. Sebagaimana yang terjadi pada rezim Orba dulu, politik impunity telah menghasilkan kekuasaan yang koruptif. Politik impunity telah melemahkan kinerja lembaga-lembaga hukum Negara karena keputusan tentang bersalah atau tidaknya seseorang bukan dipengadilan, namun diputuskan oleh penguasa Orde Baru.

Rabu, 14 April 2010

Penegakan Hukum dan Profesionalisme Aparat (Tanggapan atas Kolom Prof Achmad Ali)


Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Dan Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta

Dalam teori maupun praktek penegakan hukum selama ini, semua komponen, apakah itu aparat (hakim, polisi, jaksa dan pengacara) maupun masyarakat luas terbebani tanggungjawab yang sama dalam memelihara ketertiban dan mewujudkan penegakan hukum. Karena makna supremasi hukum bukanlah makna tekstual-normatif semata, namun makna yang mengandung nilai filosofis sangat tinggi karena bersifat universal, tidak diskriminatif.
Membaca kolom dosen saya, Guru Besar Ilmu Hukum, Prof Dr. Achmad Ali SH.MH., di FAJAR (7/04/2010) tentang “Nokia Care Makassar dan Susno Duadji yang Tidak Profesional” secara “awam” dan dengan tingkat pengetahuan hukum saya yang pas-pasan (sangat berbanding jauh dengan tingkat pengetahuan hukum beliau), mendalami tulisan tersebut ada dua kesimpulan yang bisa saya tarik.
Pertama, kekecewaan beliau terhadap pelayanan Nokia Care Makassar yang menurutnya tidak professional karena menghilangkan data-data penting di HP Nokia beliau ketika HP tersebut telah diservis oleh karyawan Nokia Care, padahal sebelumnya telah diwanti-wanti oleh anak beliau bahwa boleh diservis namun dengan catatan semua data yang tersimpan jangan sampai hilang (artinya kurang lebih kepada si karyawan Nokia Care tersebut “jangan mengatakan IYA jika tidak bisa menjamin keselamatan data yang tersimpan dalam HP tersebut”).
Ini adalah kekecewaan yang wajar menurut saya karena dalam beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang perlindungan konsumen memang menjamin keselamatan produk oleh produsen ke konsumen, serta dijamin dengan ketentuan pidana jika hak-hak konsumen dilanggar, termasuk dalam kasus ini adalah HP Nokia beliau. Kemudian, karena kasus tersebut bisa saja pihak Nokia Care Makassar dikenai Pasal Kelalaian dalam KUHP karena terbukti ceroboh menghilangkan data penting yang ada di HP tersebut sehingga merugikan beliau sebagai seorang konsumen sekaligus pakar hukum.
Kesimpulan kedua, secara gramatikal, beliau “seolah-olah” menyamakan kasus salah servis karyawan Nokia Care Makassar tersebut dengan kasus “Perang Bharatayudha (kursip penulis)” antara Susno Duadji dan Mabes Polri yang menggoyang rimba belantara hukum Indonesia saat ini dengan tuduhan sama-sama tidak professional. Menurutnya, Susno Duadji telah bertindak “tidak professional” dengan membongkar bobrok di Mabes Polri ketika Susno sudah di non jobkan, yang seharusnya sejak dari Susno menjabat sebagai Kabareskrim, kasus tersebut telah diusut. Tersirat dalam bahasa tulisan tersebut kekecewaan beliau atas tindakan Susno Duadji karena dianggap tidak professional dengan mencemarkan nama baik Polri. Secara awam kita patut bertanya, adilkah kita menyamakan kasus pribadi antara beliau dengan pihak Nokia Care dengan kasus Susno Duadji yang merupakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia yang ingin melihat POLRInya bersih dan terhormat?
Membaca tulisan tersebut membuat saya penasaran. Sebagai orang yang masih ingin belajar banyak lagi tentang hukum, ingin bertanya kepada beliau. Ukuran profesionalisme seperti apa yang beliau pakai sehingga menyebut langkah Susno Duadji, seorang Jenderal Polri, yang melaporkan adanya dugaan mafia pajak di Mabes Polri sebagai tindakan tidak professional? Apakah ukuran professionalisme dan kewajiban ummat Muhammad SAW dalam visi amar makruf nahi munkar (sebagaimana yang tertulis dalam al qur’an dan as-sunnah) membahasakan kebenaran itu selalu dikaitkan dengan jabatan, sebagai Jenderal, Kapolri, Kapolres dan sebagainya, atau bisa saja dilakukan oleh orang yang biasa-biasa saja?

Kebenaran Bahasa Universal dan Profesionalisme Susno
Dengan tetap menaruh hormat kepada beliau sebagai seorang yang kepakaran hukumnya tidak diragukan lagi, hemat saya masalah membahasakan kebenaran itu adalah kewajiban semua umat manusia. Tidak perduli dia dari golongan agama, ras, suku, apalagi jabatan. Kebenaran tetap harus disuarakan untuk menjauhkan kita dari tindakan yang batil. Hal yang sama kita dapatkan dalam pepatah lama “kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang tidak terorgaisir”.
Dengan tidak memposisikan diri di pihak mana; apakah berada dipihak yang pro atau kontra, tetap saya sepakat dengan pendapat beliau bahwa dalam melihat kasus Susno Duadji ini terlalu dini kalau kemudian kita secara spontanitas langsung mem-pahlawan-kan seseorang, dan secara tergesa-gesa menuduh seseorang atau pihak lain sebagai “maling” dan lain sebagainya sementara proses hukum masih berjalan. Jangan sampai kita terjebak pada opini sesaat yang sering membuat kita salah/keliru mengambil kesimpulan.
Tetap kita secara fair menghormati asas presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah) dalam hukum positif kita sebagaimana yang tercantum dalam butir 3 Penjelasan Umum KUHAP tentang pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil maupun yang tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rughts (UDHR) serta dalam Pasal 14 ayat (2) International Convention of Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana yang telah diratifikasi dengan UU No 12 Tahun 2005.
Namun demikian, secara patut juga bisa kita terima reaksi rakyat Indonesia yang mengapresiasi keberanian Susno Duadji dalam upayanya membongkar indikasi sindikat mafia pajak yang melibatkan institusi Polri. Hal tersebut harus kita lihat sebagai sebuah rasa cinta Susno terhadap Polri dan negaranya. Setidaknya secara ksatria, Susno telah memperlihatkan bahwa masih ada aparat yang berani dan “bersih”. Dan kita juga semua yakin, bahwa masih banyak aparat penegak hukum yang masih memiliki idealisme seperti Susno dipenjuru nusantara yang berani membahasakan kebenaran sekalipun melawan atasan.
Yang hilang dari upaya penegakan hukum kita saat ini adalah sosok-sosok penegak hukum yang memiliki jiwa petarung, pemberani dan “pembangkang” seperti alm mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa, alm Hakim Agung Kartasasmita yang berani melawan kemapanan sistem ketika diketahuinya sistem tersebut salah/keliru. Saat ini yang bisa kita lakukan hanya berdoa agar reinkarnasi sosok-sosok terhormat tersebut bisa lahir dalam semua komponen utama sistem penegakan hukum kita. Jika memang pada akhirnya, apa yag dituduhkan oleh Susno tersebut benar adanya, secara ksatria kita harus mengapresiasinya sebagai sebuah kemajuan dalam upaya penegakan hukum kita. Namun kalaupun Susno juga terlibat dalam sindikat mafia tersebut, maka secara ramai-ramai kita akan menghakiminya. Salam, sekian dan terima kasih.

Rabu, 31 Maret 2010

“Nyanyian” Susno dan Tantangan Satgas Mafia Hukum



Koran FAJAR, Senin 29 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Unhas
Dan Institute Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) Jakarta

Ujian terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia seolah tak ada habisnya. Belum usai kasus hukum skandal bailout Century, dunia hukum di Negara kita kembali geger dengan kasus Komjenpol Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri yang berseteru dengan Mabes Polri dalam perkara penggelapan pajak oleh oknum pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan yang disinyalir melibatkan dua petinggi Mabes Polri.
Seolah mengulang drama Cicak vs Buaya beberapa waktu lalu, “nyanyian” Susno ini telah membuat “perang terbuka” antara Susno dan Mabes Polri, institusi tempatnya meniti karir kepolisian selama ini. Ibarat pertarungan antara David vs Goliath, Susno berani menyuarakan fakta yang selama ini diyakininya sebagai kebenaran yang sudah seharusnya disuarakan. Sekalipun harus melawan atasan dan pertaruhan status sebagai seorang Jenderal Bintang Tiga Mabes Polri.
Dikemudian hari, kontroversi Susno ini memunculkan pro-kontra. Oleh Mabes Polri, tuduhan Susno ini dinilai sebagai pelecehan terhadap institusi Polri, melanggar kode etik, pencemaran nama baik terhadap dua Jenderal, serta pelanggaran terhadap peraturan internal Polri lainnya. Sehingga Susno disudutkan, bahkan kemudian di-tersangka-kan. Namun kemudian, konsistensi Susno dalam melakukan perlawanan membuat ritme opini menjadi simpatik, dengan publik sebagai “hakim”nya. Dengan memakai logika suara mayoritas lebih mendekati kebenaran ketimbang pembelaan yang dilayangkan oleh Mabes Polri. Siapa sebenarnya “tersangka”; Susno atau Mabes Polri? Karena publik menilai apa yang dilakukan oleh Susno merupakan “jihad” amar ma’ruf nahi mungkar, sebagai seorang muslim, terlepas dari status Susno sebagai seorang Jenderal Bintang Tiga.



Siapa Berani?
Siapa berani? Pertanyaan ini kemudian lahir. Apakah Polri, KPK atau Satgas Mafia Hukum yang berani mengambil kasus ini. Kasus Susno Duadji dan Gayus Tambunan bukan kasus hukum “kelas teri”, tetapi kasus “kelas kakap” yang penanganannya membutuhkan konsentrasi dan keberanian ekstra. Memang untuk sementara, alur kasus ini masih menjadi otoritas Mabes Polri yang memeriksa Susno dengan beragam tuduhan pelanggaran internal. Tapi (jika) seandainya kasus ini kemudian melebar, dengan fakta-fakta yang mendukung keterangan Susno. beranikah KPK atau Satgas Mafia Hukum menanganinya? Karena dimata publik, Mabes Polri sudah menjadi “tersangka”
Irama kasus ini menjadi menarik karena dalam keterangannya, Susno telah menyebut inisial pihak yang diduga melibatkan diri dalam dugaan penggelapan pajak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, pihak yang disebut itu adalah orang dalam Mabes Polri sendiri bersama Gayus Tambunan. Sebuah keberanian yang amat jarang dimiliki oleh penegak hukum lainnya sekelas Susno.
Kasusnya menjadi semakin seru karena pihak yang kemudian “ditersangkakan” adalah Susno, yang notabene adalah orang dalam Mabes Polri. Yang di-tersangka-kan pun bukan masyarakat biasa, namun seorang Jenderal Bintang Tiga yang masih punya pengaruh cukup kuat di Mabes. Sekali lagi pertanyaannya, siapa yang berani mengambil kasus Susno Duadji?
Dengan tetap menghormati asas presumption of innocent (praduga tidak bersalah), kita memang tidak boleh menuduh seseorang telah melakukan perbuatan pidana sebelum pengadilan membuktikannya. Tapi dalam kasus ini, atas dasar (kepentingan) apa Susno berbohong? Dengan perjalanan yang sudah semakin jauh, berliku dan terjal, ketika publik sudah bisa mengukur kredebilitas Polri, mungkinkah Susno akan menyerah dan mengatakan dirinya berbohong?

Menanti Gebrakan Satgas Mafia Hukum
Ketika kasus ini bergulir, ketika KPK masih disibukan dengan kasus Century, Satgas Mafia Hukum telah bekerja duluan dengan mengumpulkan bukti awal. Seolah tidak ingin dipandang sebagai “pemain kelas dua” dengan status sebagai “anak bawang”, Satgas unjuk gigi dan menampilkan diri sebagai lembaga yang bisa dipercaya dengan bekerja mengumpulkan data dari pihak-pihak terkait, termasuk Susno.
Dengan tetap mengusung optimisme, kita semua berharap agar Satgas mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Namun demikian, sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, tetap saja ada beberapa point penting menyertai perjalanan Satgas Mafia Hukum. Keterlibatannya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Menarik karena dari sekian banyak lembaga penegak hukum yang dibentuk (Polri, Kejaksaan, KPK), Satgas Mafia Hukum adalah lembaga yang terakhir dibentuk. Itupun dengan kewenangan yang tumpul. Lembaga dengan model serupa pernah ada pada tahun 2004 yaitu Tim Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi (Timtastipikor) melalui keppres No 59 Tahun 2004 yang kemudian dibubarkan oleh Presiden beberapa waktu kemudian.
Pertama, banyak orang meragukan kemampuan Satgas dalam mengawali perang terbuka dengan para mafia hukum di Indonesia. Karena secara kelembagaan, Satgas tidak cukup senjata mematikan untuk melumpuhkan para mafia hukum. Satgas tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat karena dibentuk hanya dengan Keppres yang notabene merupakan hak prerogatif presiden, yang juga sewaktu-waktu bisa dicabut oleh presiden jika dianggap mengganggu tugas-tugas eksekutif.
Pembentuannya tidak seperti lembaga penegak hukum lainnya (Polri, KPK dan Kejaksaan) melalui undang-undang yang merupakan kompromi politik antara DPR dan Presiden, sehingga posisi Satgas tidak cukup memiliki kekuatan (power) dan posisi tawar (bargaining position) yang kuat untuk bisa melakukan penekanan. Oleh karenanya, seperti halnya rekomendasi Tim 9 bentukan Presiden dalam perkara kriminalisasi KPK beberapa waktu lalu tidak dilaksanakan oleh Presiden, bisa ditebak jika hasil penyelidikan Satgas nantinya hanya bersifat rekomendasi biasa sehingga bisa dengan mudah diacuhkan Presiden.
Kedua, sebagaimana nasib Tim 9 yang kemudian dibubarkan Presiden karena dianggap terlampau berani mengeluarkan rekomendasi pemberhentian Kapolri dan Ketua Jaksa Agung sehingga dinilai sudah memasuki ranah kekuasaan Presiden, maka tidak menutup kemungkinan nasib Satgas akan sama dengan dengan Tim 9 jika rekomendasi yang dihasilkan nantinya “sama galaknya” dengan rekomendasi Tim 9 beberapa waktu lalu. Dengan status sebagai lembaga “nomor dua” atau bahkan “anak bawang” dalam “permainan” penegakan hukum di Indonesia bersama Polri, Kejaksaan dan KPK membuat kredebilitas Satgas Mafia Hukum dipandang lemah oleh masyarakat.
Oleh karenanya, agar tidak dipandang sebagai “anak bawang”, tidak ada cara yang ditunjukan Satgas Mafia Hukum selain bekerja secara maksimal dan berani mengungkap kebenaran yang terselubung sekalipun harus berseberangan dengan penguasa sehingga publik menganggap Satgas mampu mewakili aspirasi mereka yang mendambakan Indonesia yang bermartabat dan bersih dari para mafia hukum. Semoga.

Dari Reformasi ke Revitalisasi: Upaya Mengembalikan Wibawa Hukum


Koran FAJAR, 17 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas

Sebelas tahun sudah kita lalui dalam upaya rekonstruksi untuk memurnikan idealisme hukum kita dari virus Orba. Rekonstruksi paradigma hukum pasca reformasi ’98 yang dimulai dari amandemen pertama UUD 1945 pada 1999 silam adalah upaya awal bagaimana sistem hukum kita lebih demokratis. Beragam konsep telah dijalankan. Dari sentralisasi ke desentralisasi. Dari otoritarian ke demokratisasi, liberalisasi politik menjadi wacana yang lantang disuarakan. Pada titik ini kemudian, paham konstitusionalisme modern ini mulai dikembangkan di Indonesia. Konstitusi yang menekankan supremasi hukum diatas segalanya.
Dalam konstruksi hukum di Indonesia, konstitusi menjadi pintu masuk bagi penerapan hukum tersebut. Konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 secara tertulis telah memberi rule bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan Negara itu harus selalu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok. Karena konstitusi dibuat atas dasar kepentingan umum, bukan pribadi atau kelompok.
Namun apa yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2009-2010) sungguh jauh panggang dari api. Idealisme konstitusi di indonesia diuji dengan berbagai masalah. Mulai dari kasus Prita, KPK, hingga Century yang telah memunculkan demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana sejatinya telah memberi sinyal kuning bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi “macet” karena seluruh energi terfokus pada satu isu yang juga sebenarnya menguntungkan pihak lain secara politis. Mulai dari obrolan warung kopi, lesehan pinggir jalan hingga lobi hotel bintang lima mengupas topik Century sebagai menu utama.
Dalam sudut pandang yang plural, masyarakat kemudian menilai dan mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, yang tidak sedikit diantaranya menghakimi hukum sehingga hukum menjadi pesakitan dan ‘diadili’. Para sarjana hukum, mulai yang bergelar S1 hingga guru besar. Mulai yang bergelar “pengangguran” hingga yang sudah menduduki jabatan selalu ditanya oleh masyarakat awam, kenapa hal itu bisa terjadi?
Benarkah hukum kita sejahat itu? Jika jawabannya adalah TIDAK, maka bagaimana (kita sebagai pelaku hukum) menjelaskan pada masyarakat atas beragam kasus diatas. Akankah kita membohongi masyarakat dengan mengatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia baik-baik saja, berada dalam kondisi fit alias tidak terkena penyakit “muntaber” sementara dalam kenyatannya hukum di Negara kita (memang) lagi terserang penyakit muntaber sehingga sering “mencret”?
Kemudian, kalaupun kita (secara ksatria) mengatakan YA, sudahkah kita melakukan instropeksi atas apa yang telah terjadi? Instropeksi secara personal dengan melakukan revitalisasi moral untuk menjadi penegak hukum yang berintegritas dan kredibel, kemudian dilanjutkan dengan revitalisasi secara struktural-kelembagaan dengan melakukan reformasi institusi, merekrut yang bersih dan membuang yang kotor dan “bervirus”. Kemudian setelah itu, ramuan apa yang akan digunakan untuk mengobati penyakit “muntaber” dunia hukum kita saat ini agar tidak terjadi lagi selanjutnya?

Keniscayaan Konsep Revitalisasi
Ketika mendiskusikan problematika masalah hukum di Indonesia, banyak orang menyodorkan konsep reformasi. Ada yang menggagas reformasi total, ada pula usulan konsep reformasi setengah-setengah. Pertanyaan yang lahir kemudian. Apakah selamanya solusi atas keterpurukan hukum adalah dengan mewacanakan REFORMASI? Benarkah reformasi menjadi kartu As solusi atas keterpurukan hukum di Indonesia? Jika jawabannya adalah YA, mengapa 11 tahun perjalanan reformasi pasca ’98, keterpurukan hukum kita masih terlihat. Lantas apa masalahnya? Mungkinkah reformasi dikambinghitamkan atas masalah-masalah hukum yang terjadi akhir-akhir ini?
Saya pikir sangat tidak bijaksana jika reformasi dikambinghitamkan atas masalah hukum yang terjadi saat ini. Reformasi bukan tujuan. Ia hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan kenegaraan yang lebih baik sebagai tujuan utama. Secara ksatria kita harus mengapresiasi upaya dari tokoh yang berhasil melahirkan reformasi. Karena jika tidak, maka sampai saat ini kita masih hidup di zaman jahiliyah Orba.
Menjawab masalah atas keterpurukan hukum di Indonesia tidak hanya mengandalkan hukum secara normatif, yang terkadang juga sering dilanggar oleh pelaku hukum itu sendiri. Kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan aparat penegak hukum adalah masalah moral dan persoalan rekrutmen personal yang nepotis. Bukan karena kita kekurangan pasal untuk menjerat pelaku korupsi maupun menekan praktek korupsi. Berarti solusinya lebih pada revitalisasi moral dan sistem. Merekonstruksi ulang bangunan sistem hukum kita harus menekankan pada pembentukan moral dan mental aparat hukum yang berintegritas. Jadi konsep menjadi bergeser dari reformasi ke revitalisasi.
Empat komponen utama dalam sistem penegakan hukum; hakim, polisi, jaksa dan pengacara adalah pemegang kartu As berhasil atau gagalnya upaya penegakan hukum di Indonesia. Kenapa? Karena keempat komponen ini adalah pemain utama dunia hukum. Mereka adalah pendekar-pendekar hukum yang harus bekerja bersama, bahu membahu dalam upaya penegakan hukum.
Berarti revitalisasi dimulai dari keempat komponen ini. Kenapa? Karena disitulah awalnya. Awal dari keberhasilan penegakan hukum mulai dilaksanakan. Juga sekaligus awal kehancuran sistem hukum jika kendali hukum dipegang oleh penguasa lalim yang tidak berperikemanusiaan.

Sabtu, 06 Februari 2010

Pilkada: Menguji Keampuhan Demokrasi

Tribun Timur, Senin 1 Februari 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas

Dalam sebuah negara hukum, demokrasi adalah sebuah instrumen atau sarana bagaimana prinsip kebebasan sipil-politik tersebut bisa tersalurkan dengan baik. Ide murni demokrasi adalah bagaimana seluruh masyarakat bisa berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan maupun pembuatan keputusan politik. Negara hanya menyiapkan instrumen (rule) bagaimana demokrasi tersebut tersalurkan dengan baik tanpa ada yang melanggar. Sejatinya, demokrasi bukan sebagai tujuan untuk mencapai kesejahteraan, namun demokrasi adalah jembatan menuju kesejahteraan tersebut.
Tahun 2010 ini masyarakat di beberapa daerah di Sulsel akan melaksanakan hajatan lima tahunan, Pilkada langsung secara serentak di sepuluh kabupaten. Sejak jauh hari, perang spanduk dan baliho meramaikan hampir setiap sudut kota, membuat kota bak lautan kampanye. Simpatisan maupun tim sukses telah bergerilya mempromosikan jagoannya untuk mencari dukungan masyarakat. Lembaga survey yang menjual ’produk pemenang’pun sejak awal telah mendekati mereka yang berduit untuk di promosikan menjadi calon bupati. Perang argumentasi untuk menasbihkan diri sebagai yang terbaik dilakukan oleh setiap pasangan calon melalui simbol-simbol politik yang digunakan untuk mempengaruhi pskologi massa. Dalam kondisi ini, praktek money politic dan black campaign mulai meneror idealisme demokrasi dalam hajatan lima tahunan tersebut.
Dalam konteks good governance and clean government, pilkada merupakan sarana untuk melakukan evaluasi atas kerja-kerja pemerintahan selama periode berjalan. Dalam pilkada, perwujudan kehendak rakyat tersebut dituangkan dalam hak dan kewajiban yang tersedia. Hak bagi konstituen untuk menyalurkan aspirasi mereka, memilih pemimpin yang menurut mereka adalah panutan, tanpa intervensi dan paksaan dari siapapun, termasuk negara. Serta kewajiban bagi pihak-pihak yang merasa dipercayakan untuk mengemban amanah rakyat, sebagai pasangan bupati dan wakil bupati terpilih.
Sama halnya dengan pemilu, pilkada merupakan sarana perwujudan aspirasi rakyat dalam proses politik. Dalam pilkada maupun pemilu, rakyat bisa ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah, termasuk nasib mereka dikemudian hari. Hal ini menggambarkan bahwa, siapapun yang kelak terpilih, apapun keputusan yang dihasilkan setelah pemenang ditentukan, tetap saja rakyat sebagai obyek yang harus diperhatikan nasibnya. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu maupun pilkada.
Pada sisi yang lain, pilkada juga merupakan sarana untuk melahirkan regenerasi pemerintahan dalam sistem kaderisasi politik. Dalam negara demokratis, tidak dikenal adanya penguasa yang ’disembah’ dan ’ditakdirkan’ untuk berkuasa seumur hidup tanpa ada yang bisa menggantikannya. Jangan sampai penyakit Louis XIV dari Perancis yang mengatakan I’etat c’est moi (negara adalah saya) sampai menghinggapi seorang pemimpin (presiden/kepala daerah). Atau keputusan MPRS yang mengangkat Soekarno sebagai presiden RI seumur hidup pada era Orde Lama terulang kembali. Kejatuhan rezim politik otoriter dari kisah sejarah yang tertulis seperti Ferdinand Marcos di Filiphina, Jenderal Franco di Spanyol, Jean Claude di Haiti, serta Soeharo dengan Orde Barunya di Indonesia menunjukan bahwa kekuatan politik yang mengesampingkan demokrasi dengan cara menggagungkan politik otoriter dan absolut akan digilas sejarah dan meninggalkan catatan hitam kepemimpinannya.

Pilkada: Mencegah Tradisi Anarkis
Sejak rezim pemilu langsung digulirkan pada tahun 2004 melalui pemilihan presiden dan wakil presiden kemudian diikuti dengan pemilihan kepala daerah dan wakilnya di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, rekam jejak perjalanan untuk mencari entitas demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada selalu menunjukan fenomena memilukan. Praktek hajatan Pilkada dalam memperebutkan kursi sebagai penguasa daerah selalu dibumbui dengan praktek anarkis, meminta tumbal dan ongkos politik yang tidak sedikit.
Dalam setiap momen pilkada, elit politik lebih sering menampilkan pendidikan politik tidak sehat kepada masyarakat. Pelanggaran etika politik berupa praktek money politic dan black campaign dilakukan sejumlah elit hnya untuk mengejar ambisinya menduduki tahta kekuasaan. Dan ini dilakukan secara nyata maupun sembunyi-sembunyi serta tanpa rasa malu. Permusuhan dan pertikaian dalam drama perebutan kekuasaan sering ditampilkan oleh elit dan ironisnya hal ini ditonton dan tidak sedikit juga dilakukan oleh masyarakat yang kesadaran politiknya masih ’hijau’. ’Kursi’ yang diperebutkan menjadi barang mewah yang selalu meminta ’tumbal’ bagi sang pemenang. Pemenang pertarungan ditentukan dari siapa yang memiliki ’logistik’ cukup. Sehingga terkadang pelaksanaan pilkada diwarnai dengan konflik dan kekerasan.
Apa yang menyebabkan tradisi anarkis ini selalu terulang. Hal ini karena motivasi utama dari para petarung adalah untuk mendapatkan uang dan kekuasaan. Bukan menggunakan jabatannya untuk melayani masyarakat dengan ikhlas tanpa harus menumpuk kekayaan. Motivasi uang dan kekuasaan ini menjadi potensi utama terjadinya praktek korupsi. Sehingga tujuan utama kepemimpinan dari yang tadinya melayani dan menyejahterakan masyarakat berbalik menjadi ajang perlombaan menumpuk harta kekayaan pribadi dengan cara korupsi. Hal ini sejalan dengan aksioma politik yang diungkapkan oleh Lord Acton, yakni power tends to corrupt and absolute power tends corrupt absolutelly. Bahwa kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan yang mutlak cenderung untuk korup secara mutlak pula.
Selain itu, pilkada melanggengkan tradisi anarkis oleh massa awam yang terpetak kedalam beberapa kubu dukungan. Melalui godaan rupiah, massa dimobilisasi untuk menekan massa yang lain. Sehingga Pilkada menjadi ruang pertarungan, tidak saja oleh elit politik, tetapi juga berimbas pada massa awam yang pendidikan politiknya belum matang. Hal ini terjadi terus menerus tanpa diketahui kapan akan berakhir. Kondisi ini tidak sejalan dengan salah satu sifat dasar manusia yaitu saling mengasihi dan membantu, namun sebaliknya justeru mengamini teori Hobbes tentang homo homini lupus, bahwa manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Saya yakin, kita semua menginginkan teori Hobbes tersebut tidak terjadi pada pelaksanaan Pilkada di Sulsel. Oleh karena itu, kearifan dan kebijaksanaan dari para elit politik untuk seminimal mungkin menghindari konflik terbuka sangat diharapkan untuk mewujudkan pilkada yang sehat dan sistem demokrasi yang kuat.

PAN, Amien Rais dan Idealisme yang Tersisa (Catatan Kritis Sebelas Tahun PAN)

Tribun Timur, Rabu 13 Januari 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Peneliti Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi Unhas dan PusHAM Unhas

Kongres Partai Amanat Nasional yang berlangsung di Batam selama tiga hari akhirnya secara aklamasi mendaulat Hatta Radjasa sebagai Ketua Umum. Menariknya, terpilihnya Hatta Radjasa didahului dengan pengunduran diri Drajad Wibowo yang sebelumnya diprediksi menjadi pesaing kuat Hatta. Jadilah Kongres PAN menjadi pengakuan sepihak atas eksistensi seorang Hatta. Sebuah drama politik minus substansi demokrasi yang dipertontonkan oleh partai yang besar dari rahim reformasi dan mengklaim diri sebagai partai reformis.
Sebagai ‘partai reformis’ yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 1998, tidak lama setelah jatuhnya era despotisme Orba Soeharto, PAN yang didirikan oleh sejumlah tokoh dari sejumlah aktivis LSM, Majelis Amanah Rakyat (WARA) dan beberapa tokoh nasional seperti M Amien Rais, Goenawan Moehammad, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Toety Herawaty, Emil Salim, AM Fatwa, Zoemrotin, PAN mengusung idealisme melalui cita-cita yang dicanangkannya yaitu berakar pada moral agama, kemanusiaan, kemajemukan, nonsektarian dan nondiskriminatif. Sejarah pendirian dengan segenap cita-citanya itu secara terus-menerus merupakan spirit yang mendasari eksistensi PAN.

Idealisme yang Tersisa
Naiknya Hatta Radjasa sebagai Ketum PAN menyisakan idealisme yang tersisa dari sang proklamator, HM Amien Rais. Sudah pasti, konsekuensi politik dari naiknya Hatta akan secara radikal mengubah garis perjuangan partai yang mengklaim dirinya sebagai partai reformis. Hatta yang notabene adalah orang dekat SBY dan berkoalisi dengan kabinet SBY-Boediono sudah pasti tidak akan mengambil sikap oposisi, namun akan total dan loyal menyokong pemerintah, sekalipuan harus berseberangan dengan garis konstitusi. Para pendukung PAN pun, yang reformis dan selama ini konsisten menjaga poros poros politik Amin Rais, akhirnya menjadi pesimis dengan visi garis perjuangan PAN, mengawal agenda reformasi yang tersisa.
Apa yang bisa dibaca dari garis politik atau haluan PAN pasca naiknya Hatta? Bahwa selain akan mengubah garis perjuangan PAN, Hatta juga akan lebih condong memakai tenaga orang-orang yang selama ini sekubu dengannya dan menyingkirkan kader yang berseberangan dengannya. Politik adalah pertentangan antara like and dislike. Praktek ”buang membuang’, dan penyingkiran sejumlah kader hanya karena berseberangan sikap politik adalah fenomena biasa yang terjadi dalam sebuah partai. Apalagi dalam partai besar seperti PAN. Sikap politik dan loyalitas kedalam kabinet SBY-Boediono akan memudahkan kader-kader PAN yang haus kekuasaan untuk berlomba mencari muka sekedar untuk memburu dan mendapatkan jabatan. Kata reformasi dan idealisme partai kemungkinan besar hanya akan menjadi sejarah usang dalam buku politik PAN.
Selanjutnya, sejumlah kader yang masih menyisakan idealismenya akan mengalami kegamangan; apakah akan tetap bertahan dalam partai dengan konsekuensi diacuhkan, memutuskan keluar dari partai dan bergabung dengan partai lain dan menyandang status sebagai ’kader buangan”, atau bahkan mendirikan partai baru yang bisa melanjutkan perjuangan idealisme mereka. Sebagaimana PKB, PDK-PDIP, NU-PKNU atau GOLKAR-HANURA. Dalam situasi ini, peran dan ketokohan seorang Amin Rais sebagai begawan PAN yang selama pemerintahan SBY-JK selalu konsisten tampil sebagai oposisi, mengkritisi setiap kebijakan pemerintah akan diuji dan dipertaruhkan. Apakah mampu menyelamatkan idealisme yang dipertahankan selama bertahun-tahun atau bahkan menangis melihat ”kehancuran” PAN.
Sebagai catatan kritis dalam tulisan ini, selama sebelas tahun berkiprah, PAN tidak konsisten menunjukan identitas sebagai partai reformis dan idealis. Kultur politik yang berwatak oportunistis dan pragmatis, menghalangi cita-cita dan idealisme dari para pemrakarsa PAN, utamanya HM Amin Rais yang menginginkan PAN konsisten dalam garis ’oposisi’. Tak satupun tokoh selain Amin Rais yang mampu ditonjolkan dan laku ’dijual’ ke publik untuk mendapatkan kepercayaan. Amin Rais pun yang mewakili simbol sebagai salah satu tokoh reformis, juga tidak mampu menarik dukungan publik secara maksimal.
Hal ini dapat dilihat dari Pemilu Presiden 2004 lalu, ketokohan seorang Amin Rais yang berpasangan dengan Siswono, tak mampu membeli suara publik yang menjatuhkan pilihannya pada SBY-JK. Pasangan Amin Rais-Siswono pun akhirnya hanya menduduki nomor buncit dalam perolehan suara. ”Tragedi” ini berulang pada Pilpres 2009 lalu, PAN kalah bersaing dengan partai-partai besar lainnya dalam menjual calon presidennya. Soetrisno Bachrir yang seyogyanya diharapkan mampu bersaing dalam perebutan kursi RI I akhirnya hanya mampu menjadi penonton karena ketokohannya tak laku di mata publik.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena idealisme seorang Amin Rais tentang sebuah ”Indonesia yang mandiri dan bermartabat” tak mampu ditularkan ke sejumlah kader PAN. Kalaupun ada, kader PAN yang mengikuti arah perjuangan Amin Rais hanya sedikit jumlahnya. Tak mampu mengalahkan dominasi kaum demagog yang bercokol dalam tubuh PAN. Kaum demagog adalah orang-orang (politisi, penegak hukum, aktivis yang menjual isu demokrasi untuk kepentingannya sendiri). Kaum demagog ini mengkhianati idealisme dan konsistensi perjuangan PAN.
Kaum demagog dalam tubuh PAN, maupun dalam partai-partai lainnya selama ini menjadi penghambat pewacanaan arus utama demokrasi dalam sistem politik nasional. Penghambaan terhadap materi dan kekuasaan, konflik dalam drama perebutan kekuasaan yang ditampilkan oleh elit selama ini yang telah menjadi racun dan benalu yang menghancurkan sendi-sendi demokrasi di Indonesia.
Akhirnya kondisi ini mengakibatkan sistem kaderisasi dan pola regenerasi kepemimpinan dalam tubuh PAN pasca mundurnya HM Amin Rais mengalami degradasi. Figur-figur yang naik dan tampil di publik hanya menyontek karakter politik konvensional. Tidak mampu bersaing dengan figur dari partai lain. Konsekuensi ini secara otomatis akan mempertanyakan eksistensi PAN mengawal agenda reformasi sebelum perhelatan Pemilu 2014. Dengan sang nakhoda baru, dilema PAN untuk tetap memperlihatkan diirinya sebagai parta reformis mengalami kegamangan.