Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Politik, Hukum dan Konstitusi
Pada Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas
Siapapun sepakat, bahwa perseteruan KPK vs POLRI yang begitu panas hingga menjadi headline media akhir-akhir ini dengan menggunakan bahasa provatif; Cicak vs Buaya telah memicu sentimen kelembagaan antara dua lembaga negara. Laksana perseteruan antara Pandawa dan Kurawa dalam mitos Mahabarata, daya pikat korupsi yang begitu dahsyat telah membuat dua lembaga ini saling berseteru untuk menunjukan siapa yang lebih hebat. Presiden pun keblinger hingga meminta bantuan beberapa tokoh nasional untuk mendiskusikan serta mencari solusi konkrit dari masalah ini. Dari sisi politis, kasus ini menjadi pertaruhan SBY selaku kepala negara dan juga sebagai seorang negarawan. Apakah mampu menyelesaikan masalah ini secara proporsional, tanpa ada yang merasa dirugikan.
Belum selesai misteri kasus Bank Century, kasus perseteruan KPK vs POLRI akhir-akhir ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Banyaknya pejabat hukum yang terlibat dalam pemutaran rekaman di MK Selasa lalu menjadikan orientasi negara hukum Indonesia menjadi tanda tanya.
Namun langkah penangguhan penahanan oleh POLRI pasca terbongkarnya skenario kriminalisasi terhadap dua pimpinan non aktif KPK; Bibit dan Chandra melalui pemutaran rekaman di MK pada Selasa lalu adalah langkah awal yang positif bagi rekonsiliasi kelembagaan antara KPK dan POLRI untuk mencoba melupakan perseteruan yang pernah terjadi. Publik tentunya berharap dan tidak ingin melihat dua institusi ini saling jegal, apalagi saling bunuh. Karena jalan pemberantasan korupsi masih panjang dan berliku. Program pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal jika antara KPK dan POLRI masih terlibat perseteruan.
Dilihat dari sejarah. Dibentuknya KPK adalah jawaban atas mandulnya kepolisian dan kejaksaan dalam memproses kasus korupsi, utamanya kasus korupsi berskala besar yang terlibat dalam jejaring kekuasaan. Peran-peran yang dimainkan kepolisian dan kejaksaan terlalu kaku dan berpatok pada prosedur normatif-yuridis. Bukan pada bagaimana mencari solusi agar praktek korupsi ini bisa dihilangkan. Bagaimana agar para koruptor dan calon-calon koruptor tidak berani melakukan korupsi tanpa terlalu terpatok pada prosedur normatif.
Akhirnya keberadaan KPK sebagai lembaga penyidik yang melabrak hukum acara konvensional dalam menjalankan proses penyelidikan, penyidikan hingga pada tahap penuntutan ke Pengadilan Tipikor dengan mengacu pada Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tipikor dan UU No 30/2002 tentang KPK telah memunculkan kecemburuan institusi. Memunculkan kesan superior-inferior antar institusi. Double legitimacy yang dimiliki KPK sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan powerfull dalam kekuasaannya mengusut dugaan tindak pidana korupsi hingga pada proses penuntutan pada Pengadilan Tipikor telah menyulut ’api permusuhan’. Api permusuhan tidak saja muncul dari kalangan ’orang-orang bermasalah’ (baca: koruptor, pengusaha dan politisi hitam) tetapi juga muncul dari institusi penegak hukum lain yang merasa ’lahan kebunnya’ diambil oleh KPK.
Politik hukum nasional dalam persoalan korupsi juga menunjukan ketidakkonsistenan. Terkatung-katungnya pembahasan RUU KUHP serta disorientasi KUHAP sebagai prosedur acara yang digunakan menyebabkan POLRI dan KPK terlibat konflik kewenangan. Terkatung-katungnya pembahasan RUU KUHP bukan karena minimnya kuantitas dan kualitas ahli hukum yang dilibatkan, tetapi budaya politik dagang sapi sebagai turunan dari rezim lama belum juga hilang dari politik hukum nasional. Menyebabkan banyaknya produk hukum yang dibuat menjadi tidak berguna (atau dalam istilah hukumnya ”hukum yang mati”).
Disorientasi politik hukum nasional ini yang dalam beberapa tahun terakhir membuat kepesimisan publik terhadap program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah. Baru kemudian setelah KPK dan Pengadilan Tipikor dibentuk, harapan untuk melihat Indonesia bersih dari virus korupsi ini mulai muncul. KPK dianggap mampu, ’bertaji’ dan berani bertarung dengan musuh korupsi yang sudah sekian lama meneror penegakan hukum dan sistem ekonomi nasional.
Rekonsiliasi Kelembagaan
Untuk menyelesaikan masalah ini, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa antar lembaga negara bisa digunakan. Namun resiko untuk ’mempermanenkan’ konflik akan terjadi karena pengadilan sebagai lembaga yang melihat masalah dalam frame benar-salah. Jika ukuran benar-salah yang dijadikan indikator untuk membawa masalah ini ke MK, maka sampai kapanpun, perseteruan antar KPK dan POLRI tidak akan hilang.
Maka melihat perseteruan yang semakin mengkhawatirkan, langkah hukum berupa penerbitan Perpu atau semacamnya menurut penulis bukanlah solusi konkrit. Bahkan hanya akan menambah rumitnya masalah. Puluhan bahkan ratusanpun Perpu yang dikeluarkan hanya akan menjadi sia-sia jika didalam tubuh institusi; baik KPK maupun POLRI, api permusuhan itu sudah tertanam. Maka upaya hukum semisal Perpu atau semacamnya hanya akan menambah runyamnya masalah. Maka menurut hemat penulis, solusi cermat dalam melihat kasus ini adalah rekonsiliasi kelembagaan antara KPK vs POLRI. Tentunya dengan inisiatif Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
Maka menurut hemat penulis, rekonsiliasi kelembagaan antara KPK dan POLRI mutlak diperlukan. Rekonsiliasi ini ditujukan untuk mengajak pihak-pihak yang terlibat; KPK dan POLRI untuk melupakan perseteruan yang pernah terjadi, dengan menjunjung tinggi etika profesi. Langkah rekonsiliasi kelembagaan dengan dimediasi Presiden menurut penulis penting dilakukan mengingat solusi untuk menyelesaikan masalah ini bukan terletak pada normatif-yuridis, apalagi saling balas melapor hingga membuat perseteruan semakin memanas.
Mungkin praktek rekonsiliasi kelembagaan ini belum pernah dilakukan dalam sejarah politik di Indonesia. Kalaupun ada, bahasa rekonsiliasi pernah dipergunakan dalam menyelesaikan konflik pelanggaran HAM masa lalu antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Timur melalui pembentukan sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/KKR (yang juga kemudian dibatalkan melalui judicial review di MK). Tapi tidak ada salahnya jika dalam masalah ini, langkah rekonsiliasi ini dicoba. Terlepas dari kasus hukum yang menerpa setiap aparat dari dua institusi ini, namun rekonsiliasi kelembagaan perlu untuk dilakukan. Sebagai upaya membangun negara hukum Indonesia yang lebih kuat.
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Rabu, 04 November 2009
Sabtu, 29 Agustus 2009
RUU Pengadilan Tipikor;Antara Profesionalisme atau Mempertahankan Status Quo
Wiwin Suwandi
Pengamat Politik, Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Pembahasan Pansus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) yang berencana membentuk Pengadilan Tipikor di 33 propinsi di Indonesia patut untuk diapresiasi. Ini menunjukan motivasi penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukan trend meningkat setelah dikeluarkannya beberapa instrumen hukum terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia seperti UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus serta pembentukan KPK melalui UU No 30 Tahun 2002.
Dilihat dari sejarahnya, motivasi utama dibentuknya Pengadilan Tipikor adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga pengadilan konvensional yang banyak memutus bebas koruptor dengan penerapan norma hukum yang cenderung kaku. Salah satu penyebab lemahnya upaya pemberantasan korupsi pasca reformasi ’98 adalah praktek lembaga pengadilan yang menerapkan pasal-pasal karet KUHP dalam memproses perkara korupsi yang terbukti banyak membebaskan tersangka koruptor sehingga melahirkan isu ’mafia peradilan’, sebuah istilah untuk menyebut fenomena maraknya praktek jual beli perkara di pengadilan yang melibatkan hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Penerapan hukum melalui KUHP inilah yang menjadi celah lolosnya para koruptor dari jerat hukum. Karena jika dilihat, penerapan KUHP secara murni dalam tuntutan jaksa maupun analisa dalam vonis hakim hanya dimungkinkan untuk kasus-kasus pidana ringan, non extra ordinary crime. Sementara korupsi adalah jenis kejahatan yang sudah digolongkan dalam jenis kejahatan berat/serius (extra ordinary crime). Sehingga proses pembuktian dan penyelesaiannya tidak hanya mengacu pada hukum acara konvensional yang juga terbukti banyak mengandung kelemahan, tetapi melalui mekanisme lain seperti diatur dalam Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tipikor yang proses penyelidikan dan penuntutannya dilakukan oleh sebuah lembaga khusus, yaitu KPK yang diatur dalam UU No 30 tahun 2002.
Namun kemudian, kedudukan Pengadilan Tipikor yang hanya berpusat di Jakarta (PN Jakpus) ternyata masih mengandung kelemahan, walaupun sejak dibentuk, prestasi lembaga yang berduet dengan KPK dalam memproses dan memvonis para koruptor ini patut untuk diacungi jempol. Kelemahan ini dikarenakan status hukum Pengadilan Tipikor yang dibentuk hanya berdasarkan Keppres sewaktu-waktu secara sepihak bisa dicabut oleh presiden dengan menggunakan hak prerogatifnya. Sehingga untuk meningkatkan power dan bargaining position-nya, perlu pengaturan tentang Pengadilan Tipikor ini melalui undang-undang tersendiri. Sedangkan kelemahan lainnya, dalam proses penanganan korupsi yang masuk level big corruption oleh Pengadilan Tipikor yang tersentralistik di Jakarta melalui PN Jakpus dianggap belum sepenuhnya menjamin menurunnya angka korupsi di Indonesia.
Paradigma korupsi yang tersentralistis pada masa Orba berangsur-angsur mulai hilang dan berkurang, berganti dengan praktek korupsi yang meluas di seluruh Indonesia. Kran mulai berkuasanya rezim otonomi daerah melalui pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata diselewengkan. Konsep otonomi luas disalahartikan dengan kesempatan untuk menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya dengan melakukan korupsi. Kondisi ini akhirnya membuka peluang korupsi menjadi terbuka lebar, yang dilakukan oleh pejabat lokal. Sementara proses penanganan dan penyelesaian hukum terhadap para tersangka koruptor dari daerah yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan setempat ini terlampau lemah. Hal ini kemudian yang memperkuat tuntutan untuk membentuk Pengadilan Tipikor dan KPK di seluruh propinsi di Indonesia.
RUU Pengadilan Tipikor; Mempertahankan Status Quo?
Menyimak proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor yang sementara berjalan, ada beberapa catatan kritis yang menyertai upaya Pansus RUU Pengadilan Tipikor membentuk Pengadilan Tipikor di seluruh propinsi dalam motivasinya memperluas pemberantasan korupsi di Indonesia. Diantaranya, membentuk Pengadilan Tipikor pada PN setempat dengan mengangkat ketua PN merangkap sebagai ketua Pengadilan Tipikor merupakan tindakan rangkap jabatan yang berlawanan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Praktek rangkap jabatan merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan profesionalisme kerja.
Namun yang lebih mengkhawatirkan dari tindakan rangkap jabatan tersebut adalah mengangkat ketua PN setempat yang juga merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tipikor merupakan sinyal kuning proses penyelesaian perkara korupsi di daerah akan terkatung-katung serta hanya akan melanggengkan status quo proses pemberantasan korupsi di daerah. Selama ini, upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di sejumlah daerah menunjukan rapor merah. Hal ini dikarenakan praktek lembaga pengadilan setempat yang menerapkan pola konvensional dalam memvonis sejumlah kasus korupsi. Banyak data yang menunjukan vonis terhadap perkara korupsi yang dilakoni PN daerah selama ini berputar-putar pada dua jenis vonis; membebaskan para tersangka korupsi atau memvonis lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Vonis hakim PN tersebut dalam prakteknya telah berlawanan dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebuah instrumen hukum yang mana ingin membangun komitmen praktek penyelenggaraan negara jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance and clean government). Upaya untuk menimbulkan efek jera (shock therapy) kepada para koruptor dan calon koruptor untuk tidak mengulangi perbuatannya juga akhirnya tidak terlaksana akibat vonis tersebut.
Sementara pada sisi yang lain, vonis hakim-hakim PN setempat yang sering membebaskan atau memvonis rendah para koruptor dalam prakteknya telah menciderai tiga tujuan utama hukum; kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Membebaskan koruptor atau memvonis lebih rendah dari tuntutan JPU (atau vonis minimal 4 tahun penjara dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) sejatinya telah menghilangkan atau bahkan mengurangi terpenuhinya nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat.
Hal lain yang juga patut untuk dikritisi adalah pengaturan kedudukan Pengadilan Tipikor pada PN setempat dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor ini berpotensi menghilangkan kemandirian Pengadilan Tipikor sebagai lembaga pengadilan yang merdeka. Pengadilan Tipikor adalah lembaga pengadilan yang dalam menjalankan kewenangannya terlepas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan lain. Terbebas dari intervensi pihak-pihak yang secara internal dan eksternal berupaya menghambat jalannya pemeriksaan perkara korupsi guna mewujudkan independensi Pengadilan Tipikor.
Oleh karena itu idealnya, sebagaimana KPK yang berdiri independen dan profesional, Pansus RUU Pengadilan Tipikor juga seyogyanya mengupayakan Pengadilan Tipikor agar bisa berdiri dan bekerja secara mandiri dan profesional dengan tidak melibatkannya dalam birokrasi lembaga pengadilan lain. Hal ini didukung alasan kuat bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus, jenis kasus yang ditangani juga adalah korupsi yang merupakan kasus pidana khusus, bukan seperti kasus pidana konvensional lainnya seperti pencurian, pembunuhan dan semacamnya. Selain itu, pengaturan komposisi hakim dalam Pengadilan Tipikor yang akan dibentuk nantinya juga diupayakan sebagaimana praktek Pengadilan Tipikor di PN Jakpus selama ini, tetap melibatkan penggabungan hakim karir dengan hakim ad hoc dengan perbandingan tiga berbanding dua, tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. Dengan komposisi tersebut, tiga tujuan hukum yang ingin dicapai; keadilan, kepastian dan kemanfaatan lebih mungkin tercapai.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Satjipto Rhardjo dalam tulisannya di Kompas 6 Maret 2006, (Determinasi Anti Korupsi), bahwa dalam menjalankan fungsinya terdapat dua tipe pengadilan. Pertama, pengadilan yang berjalan seperti mesin, yang menerapkan hukum seperti dibaca dari prosedur dan pasal-pasalnya (penafsiran normatif), praktik mengadili hanya mengeja undang-undang. Kedua, pengadilan termasuk hakimnya yang menjalankan hukum dengan nurani (conscience of the court), Menurutnya bahwa saat ini Indonesia membutuhkan pengadilan tipe kedua. Dan hal ini telah dimiliki oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengamat Politik, Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Pembahasan Pansus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) yang berencana membentuk Pengadilan Tipikor di 33 propinsi di Indonesia patut untuk diapresiasi. Ini menunjukan motivasi penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukan trend meningkat setelah dikeluarkannya beberapa instrumen hukum terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia seperti UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus serta pembentukan KPK melalui UU No 30 Tahun 2002.
Dilihat dari sejarahnya, motivasi utama dibentuknya Pengadilan Tipikor adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga pengadilan konvensional yang banyak memutus bebas koruptor dengan penerapan norma hukum yang cenderung kaku. Salah satu penyebab lemahnya upaya pemberantasan korupsi pasca reformasi ’98 adalah praktek lembaga pengadilan yang menerapkan pasal-pasal karet KUHP dalam memproses perkara korupsi yang terbukti banyak membebaskan tersangka koruptor sehingga melahirkan isu ’mafia peradilan’, sebuah istilah untuk menyebut fenomena maraknya praktek jual beli perkara di pengadilan yang melibatkan hakim, jaksa, polisi dan pengacara.
Penerapan hukum melalui KUHP inilah yang menjadi celah lolosnya para koruptor dari jerat hukum. Karena jika dilihat, penerapan KUHP secara murni dalam tuntutan jaksa maupun analisa dalam vonis hakim hanya dimungkinkan untuk kasus-kasus pidana ringan, non extra ordinary crime. Sementara korupsi adalah jenis kejahatan yang sudah digolongkan dalam jenis kejahatan berat/serius (extra ordinary crime). Sehingga proses pembuktian dan penyelesaiannya tidak hanya mengacu pada hukum acara konvensional yang juga terbukti banyak mengandung kelemahan, tetapi melalui mekanisme lain seperti diatur dalam Keppres No 59 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tipikor yang proses penyelidikan dan penuntutannya dilakukan oleh sebuah lembaga khusus, yaitu KPK yang diatur dalam UU No 30 tahun 2002.
Namun kemudian, kedudukan Pengadilan Tipikor yang hanya berpusat di Jakarta (PN Jakpus) ternyata masih mengandung kelemahan, walaupun sejak dibentuk, prestasi lembaga yang berduet dengan KPK dalam memproses dan memvonis para koruptor ini patut untuk diacungi jempol. Kelemahan ini dikarenakan status hukum Pengadilan Tipikor yang dibentuk hanya berdasarkan Keppres sewaktu-waktu secara sepihak bisa dicabut oleh presiden dengan menggunakan hak prerogatifnya. Sehingga untuk meningkatkan power dan bargaining position-nya, perlu pengaturan tentang Pengadilan Tipikor ini melalui undang-undang tersendiri. Sedangkan kelemahan lainnya, dalam proses penanganan korupsi yang masuk level big corruption oleh Pengadilan Tipikor yang tersentralistik di Jakarta melalui PN Jakpus dianggap belum sepenuhnya menjamin menurunnya angka korupsi di Indonesia.
Paradigma korupsi yang tersentralistis pada masa Orba berangsur-angsur mulai hilang dan berkurang, berganti dengan praktek korupsi yang meluas di seluruh Indonesia. Kran mulai berkuasanya rezim otonomi daerah melalui pemberlakuan UU No 22 Tahun 1999 kemudian diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ternyata diselewengkan. Konsep otonomi luas disalahartikan dengan kesempatan untuk menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya dengan melakukan korupsi. Kondisi ini akhirnya membuka peluang korupsi menjadi terbuka lebar, yang dilakukan oleh pejabat lokal. Sementara proses penanganan dan penyelesaian hukum terhadap para tersangka koruptor dari daerah yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan setempat ini terlampau lemah. Hal ini kemudian yang memperkuat tuntutan untuk membentuk Pengadilan Tipikor dan KPK di seluruh propinsi di Indonesia.
RUU Pengadilan Tipikor; Mempertahankan Status Quo?
Menyimak proses pembahasan RUU Pengadilan Tipikor yang sementara berjalan, ada beberapa catatan kritis yang menyertai upaya Pansus RUU Pengadilan Tipikor membentuk Pengadilan Tipikor di seluruh propinsi dalam motivasinya memperluas pemberantasan korupsi di Indonesia. Diantaranya, membentuk Pengadilan Tipikor pada PN setempat dengan mengangkat ketua PN merangkap sebagai ketua Pengadilan Tipikor merupakan tindakan rangkap jabatan yang berlawanan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Praktek rangkap jabatan merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan profesionalisme kerja.
Namun yang lebih mengkhawatirkan dari tindakan rangkap jabatan tersebut adalah mengangkat ketua PN setempat yang juga merangkap sebagai Ketua Pengadilan Tipikor merupakan sinyal kuning proses penyelesaian perkara korupsi di daerah akan terkatung-katung serta hanya akan melanggengkan status quo proses pemberantasan korupsi di daerah. Selama ini, upaya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di sejumlah daerah menunjukan rapor merah. Hal ini dikarenakan praktek lembaga pengadilan setempat yang menerapkan pola konvensional dalam memvonis sejumlah kasus korupsi. Banyak data yang menunjukan vonis terhadap perkara korupsi yang dilakoni PN daerah selama ini berputar-putar pada dua jenis vonis; membebaskan para tersangka korupsi atau memvonis lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Vonis hakim PN tersebut dalam prakteknya telah berlawanan dengan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebuah instrumen hukum yang mana ingin membangun komitmen praktek penyelenggaraan negara jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance and clean government). Upaya untuk menimbulkan efek jera (shock therapy) kepada para koruptor dan calon koruptor untuk tidak mengulangi perbuatannya juga akhirnya tidak terlaksana akibat vonis tersebut.
Sementara pada sisi yang lain, vonis hakim-hakim PN setempat yang sering membebaskan atau memvonis rendah para koruptor dalam prakteknya telah menciderai tiga tujuan utama hukum; kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Membebaskan koruptor atau memvonis lebih rendah dari tuntutan JPU (atau vonis minimal 4 tahun penjara dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) sejatinya telah menghilangkan atau bahkan mengurangi terpenuhinya nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat.
Hal lain yang juga patut untuk dikritisi adalah pengaturan kedudukan Pengadilan Tipikor pada PN setempat dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor ini berpotensi menghilangkan kemandirian Pengadilan Tipikor sebagai lembaga pengadilan yang merdeka. Pengadilan Tipikor adalah lembaga pengadilan yang dalam menjalankan kewenangannya terlepas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan lain. Terbebas dari intervensi pihak-pihak yang secara internal dan eksternal berupaya menghambat jalannya pemeriksaan perkara korupsi guna mewujudkan independensi Pengadilan Tipikor.
Oleh karena itu idealnya, sebagaimana KPK yang berdiri independen dan profesional, Pansus RUU Pengadilan Tipikor juga seyogyanya mengupayakan Pengadilan Tipikor agar bisa berdiri dan bekerja secara mandiri dan profesional dengan tidak melibatkannya dalam birokrasi lembaga pengadilan lain. Hal ini didukung alasan kuat bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus, jenis kasus yang ditangani juga adalah korupsi yang merupakan kasus pidana khusus, bukan seperti kasus pidana konvensional lainnya seperti pencurian, pembunuhan dan semacamnya. Selain itu, pengaturan komposisi hakim dalam Pengadilan Tipikor yang akan dibentuk nantinya juga diupayakan sebagaimana praktek Pengadilan Tipikor di PN Jakpus selama ini, tetap melibatkan penggabungan hakim karir dengan hakim ad hoc dengan perbandingan tiga berbanding dua, tiga hakim ad hoc dan dua hakim karir. Dengan komposisi tersebut, tiga tujuan hukum yang ingin dicapai; keadilan, kepastian dan kemanfaatan lebih mungkin tercapai.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Satjipto Rhardjo dalam tulisannya di Kompas 6 Maret 2006, (Determinasi Anti Korupsi), bahwa dalam menjalankan fungsinya terdapat dua tipe pengadilan. Pertama, pengadilan yang berjalan seperti mesin, yang menerapkan hukum seperti dibaca dari prosedur dan pasal-pasalnya (penafsiran normatif), praktik mengadili hanya mengeja undang-undang. Kedua, pengadilan termasuk hakimnya yang menjalankan hukum dengan nurani (conscience of the court), Menurutnya bahwa saat ini Indonesia membutuhkan pengadilan tipe kedua. Dan hal ini telah dimiliki oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sabtu, 15 Agustus 2009
BHP; Dosa Sosial Negara (BHP adalah wujud baru kolonialisme lokal)
Wiwin Suwandi
Mantan Ketua dan Dewan Pers Lembaga Pers Mahasiswa Hukum (LPMH) Fak Hukum Unhas, Makassar
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul gelombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Namun tulisan ini hanya mengulas sekilas mengenai gelombang ekonomi dunia dalam hubungannya dengan privatisasi dan komersialisasi aset-aset negara di beberapa negara di dunia, termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satunya dalam proyek swastanisasi pendidikan melalui BHP di Indonesia. (Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai gelombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington “Will More Countries Become Democratic?” (1984).
Pada tahun 1970-an, gelombang perubahan di bidang ekonomi berlangsung sangat cepat. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara intervensionist di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis.
Antara Welfare State vs Nachwachtaersstaat
Dalam hal ini, terjadi dua kubu perdebatan yang sangat sengit saat itu; antara kaum kapitalisme-liberal yang menganut paham nachwachtaersstaat vs sosialis-marxist yang menganut paham welfare state. Para penganut paham kapitalisme-liberal yang mengkonsumsi teori Adam Smith menghendaki pembatasan atau pengurangan kekuasaan, peran dan campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi warganya. Mereka menganjurkan agar perputaran ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar. Negara hanya sebagai pengawas dan sekedar berfungsi sebagai penjaga malam saja (nachwachtaersstaat). Para penganut paham ini beralasan bahwa keadilan ekonomi hanya akan terjadi jika perputaran roda ekonomi bukan menjadi tanggungjawab negara tetapi diserahkan kepada mekanisme pasar.
Sementara para penganut sosialisme lebih menghendaki campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi warganya dengan regulasi yang ketat dan terkontrol. Kaum sosialisme khawatir jika persoalan ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, akan menimbulkan resiko kompetisi yang tidak sehat, monopoli dan praktek bisnis hitam. Terjadi sentralisasi dan polarisasi penguasaan aset-aset ekonomi ke tangan pelaku bisnis raksasa yang kemudian bisa mendikte dan ‘mengendalikan negara’. Kaum sosialis mengkritik cara pandang kaum liberal-kapitalis tentang resiko free market yang tidak dikendalikan melalui regulasi yang ketat oleh negara akan mengakibatkan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi antara kelas-kelas sosial dalam sebuah negara dan antar negara-negara di dunia. Dalam paham negara kesejahteraan (welfare state), negara memiliki tanggungjawab sosial untuk mengurusi ‘kaum tidak berpunya’. Selain negara juga dituntut untuk mengendalikan perputaran dan kepemilikan akses-akses ekonomi seadil-adilnya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih sosial. Tidak sekedar berfungsi sebagai negara penjaga malam sebagaimana doktrin kaum liberal-kapitalis.
Namun pada akhirnya, sebagaimana kasus perang dingin (PD II) perang ideologi ini akhirnya dimenangkan oleh kaum kapitalisme-liberal atas kaum sosialis. Karena sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi besar-besaran di Inggris, di Perancis, di Jerman, di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang sebelumnya mengidealkan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Beberapa orientasi liberalisasi ekonomi ini juga pada akhirnya mengarah pada dunia pendidikan. Settingan pasar bebas yang ’menjebak’ negara dengan memasukan pendidikan sebagai sasaran privatisasi akhirnya juga berimbas ke beberapa negara berkembang. Dengan alasan menutupi devisit APBN dan menggenjot pertumbuhan ekonomi negara, maka beberapa aset negara yang sebenarnya ’haram’ untuk diprivatisasi, akhirnya juga terkena proyek privatisasi tersebut.
Pendidikan diangap sebagai ladang strategis proyek privatisasi Termasuk Indonesia dengan menggolkan proyek otonomi kampus melalui UU Badan Hukum Pendidikan. Jika dilihat dari sejarahnya, praktek otonomi kampus di Indonesia bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kemudian diperkuat dengan UU No tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencantumkan BHP pada pasal 53. Praktek otonomi kampus yang pada mulanya berbentuk BHMN ini lahir dari PP nomor 60 dan 61 tahun 1999 yang di uji coba di 4 universitas tertinggi di Indonesia yaitu UI, UGM, IPB, dan ITB mulai tahun 2000 kemudian disusul oleh dua universitas lainnya pada tahun 2004 yaitu UPI dan USU.
Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan pra kondisi menuju BHP.
Pada awalnya, BHP menjadi polemik cukup serius ketika baru sebagai rancangan. Demonstrasi yang menuntut pembatalan pengesahan RUU menjadi UU BHP itu marak terjadi di Indonesia. Utamanya dilakukan oleh mahasiswa. Alasan nyata yang disuarakan oleh penentang BHP adalah bahwa negara telah terjebak skenario pasar bebas yang mengincar dunia pendidikan sebagai sasaran bisnis baru. Beberapa aset-aset ekonomi strategis lain selain pendidikan telah jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan raksasa asing atau dalam bahasa ekonominya Multinational Corporation’s (MNCs). Dan pendidikan menjadi target berikutnya. Oleh karenanya, setelah pemberlakukan RUU menjadi UU BHP oleh DPR pada bulan Desember lalu, maka upaya hukum yang bisa dilakukan masyarakat untuk menuntut pembatalan UU BHP ini adalah melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Rahim BHP secara yuridis tertulis didalam Pasal 53 UU N0 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Salah satu ayat dalam Pasal 53 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur keterlibatan warga masyarakat dalam hal pengelolaan keuangan dalam mekanisme BHP. Kemudian lebih rinci dalam UU BHP, aturan ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini berdasar pada pasal 4 ayat 2 dalam undang-undang tersebut tersebut yang berbunyi: “salah satu prinsip dari pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mendiri dalam bidang akademik maupun non akademik.”
Ini berarti dalam BHP, setiap penyelenggara satuan pendidikan, baik formal maupun non formal, baik dari tingkat dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi diberi keleluasaan dalam hal kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Satuan pendidikan bebas melakukan kebijakan secara mendiri membentuk otonomi yang diinginkan dan melibatkan masyarakat sesuai dengan pasal 53 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai batas keterlibatan masyarakat ataupun kalangan masyarakat seperti apa yang dapat terlibat dalam pendidikan dalam UU BHP tersebut. Hal ini yang dikhawatirkan menimbulkan interpretasi ganda terhadap keterlibatan pengusaha (baca: investior) yang ingin berinvestasi dalam dunia pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Sekaligus mereduksi tanggungjawab negara.
Membuka Peluang Korupsi
Berbeda dengan BHMN yang masih menggunakan kata NEGARA dalam redaksinya. Maka dalam BHP, peran negara betul-betul telah direduksi secara sistematis. Walaupun ada salah satu pasal dalam UU BHP yang mengatur kewajiban negara mendanai 50% untuk biaya operasional dalam PT tersebut, namun hal ini masih disangsikan. Mengingat dalam redaksi konstitusi saja telah ditegaskan negara wajib menjamin anggaran 20 persen untuk biaya pendidikan di Indonesia, tetapi nyatanya tidak pernah terealisasi. Oleh karena itu dalam BHP, PT seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan.
Hal lain yang juga dikhawatirkan jika penyelenggaraan satuan pendidikan melalui mekanisme BHP adalah terbukanya peluang korupsi secara sistematis. Tentunya kita masih ingat dengan berita tentang dugaan korupsi di beberapa PTN yang dimuat koran nasional dan lokal beberapa waktu lalu. Menurut keyakinan penulis, ibarat durian, bau korupsi itu sebenarnya sudah tercium namun langkah hukum untuk menyelesaikannya terkendala prosedur acara. Disamping ada konspirasi politik yang medelegitimasi independensi hukum.
Oleh karenanya, jika pada saat belum BHP saja yang pengelolaan keuangan masih diawasi oleh pemerintah pusat, praktek korupsi itu sudah terjadi, bagaimana jika pengelolaan keuangan itu dikerjakan secara mandiri (baca: otonomi)? Karena ketika dulu sistem pelaporan keuangan masih secara hierarkis (struktural), maka pada BHP, pengelolaan termasuk pelaporan keuangan tersebut dilakukan secara internal yang membuka peluang konspirasi (baca: kongkalikong) terjadinya praktek korupsi yang dilakukan pejabat PT. Dan ini bisa saja terjadi karena pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pengelolaan keuangan selain yang 50 persen tersebut (50 persen sisanya dilaporkan kemana?).
Perjanjian Investasi; Berpotensi Rugikan PT
Hal lain yang juga patut kita cermati dalam UU BHP adalah keterlibatan modal asing atau investasi diluar subsidi pemerintah yang akan menopang penyelenggaraan satuan pendidikan tersebut. Pengaturan tentang ini juga terdapat dalam PP No 77 Tahun 2007 tentang keterlibatan modal asing dalam pendidikan. Alasan ‘sakral’ pemerintah menggolkan proyek BHP tersebut adalah agar masyarakat bisa membantu menangani biaya operasional. Salah satu komponen masyarakat disini dalam bahasa ekonominya bisa ditafsirkan pengusaha atau investor yang memiliki modal. Disamping alasan lain bahwa negara tidak memiliki cukup modal untuk membiayai keseluruhan anggaran pendidikan, maka perlibatan modal asing dan modal investasi dimungkinkan (walaupun alasan ini sudah terbantahkan dengan fakta banyaknya sumber-sumber ekonomi lain yang bisa dialokasikan untuk membantu biaya pendidikan).
Oleh karena itu, kita bisa mengkaji persoalan ini secara lebih obyektif. Dalam hukum perjanjian, syarat dasar timbulnya perjanjian adalah bermula dari adanya itikad baik oleh kedua belah pihak untuk saling bekerjasama, sebab yang halal, dan saling menguntungkan (dalam arti tidak ada kecurangan didalamnya). Nah, karena PT membutuhkan modal untuk membantu pembiayaan sektor pendidikan (diluar subsidi negara), maka PT tersebut akan mengadakan kerjasama bantuan modal pendidikan dengan beberapa perusahaan (asing atau lokal).
Disinilah potensi konflik itu kemudian muncul. Selama ini tanggapan balik (kalau tidak dibilang upaya penyelamatan) yang sering dilontarkan oleh para perumus UU BHP maupun yang pro terhadap UU BHP adalah hanya melihat dari sudut pandang positif perjanjiannya saja, bahwa perjanjian akan membawa keuntungan kedua belah pihak. Bagaimana jika kita membalik paradigmanya kearah negatif thingkingnya. Bagaimana jika dalam proses berjalannya perjanjian tersebut, pihak PT melakukan ingkar janji (bahasa hukumnya; wanprestasi) yang resikonya bisa menimbulkan kerugian bagi mitra dalam perjanjian itu. Maka dalam resiko perjanjian, pihak yang tidak melaksanakan kewajiban harus membayar denda atas kelalaian hukum yang diakibatkan olehnya.
Jika ini terjadi, maka pihak PT akan membayar kerugian tersebut dengan mengambil alokasi 50 persen yang berasal dari bantuan pemerintah. Jika itu tidak cukup, maka PT akan menempuh kebijakan klasik, menaikan SPP mahasiswa untuk menutupi defisit anggaran pendidikan sebagai konsekuensi logis dari praktek otonomi tersebut.
Pertanyaan lainnya adalah bagaimana jika dalam perjanjian tersebut, salah satu pihak (taruhlah PT atau mitra perusahaan) memiliki itikad buruk? Yang dimaksud disini adalah, karena dikampus terdapat ilmuwan dan peneliti-peneliti yang jasanya bisa dipakai dan dibeli dengan uang untuk kepentingan perusahaan, maka tidak menutup kemungkinan, kecerdasan intelektual itu diselewengkan untuk kepentingan perusahaan yang tidak pro rakyat. Banyak kasus yang menyebutkan fenomena pelacuran intelektual yang memback-up proyek-proyek hitam pemerintah maupun perusahaan-perusahaan lintah. Jika hal ini terjadi maka pihak PT akan dimintai pertanggungjawaban dan memikul dosa sosial yang teramat berat dikemudian hari. Kampus yang seyogyanya menjadi mitra masyarakat dengan penemuan-penemuan ilmiahnya yang membantu meringankan beban masyarakat terjebak pada godaan shyahwat materi dan melacurkan intelektualnya.
Oleh karenanya, semakin jelas potensi kerugian itu terjadi jika melalui penerapan BHP dibandingkan jika penyelenggaraan pendidikan masih menjadi tanggungjawab pemerintah. Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pendidikan bertujuan untuk mencerahkan, membebaskan dari perbudakan, bukan untuk membodohkan, menciptakan kolonialisme lokal Dan BHP adalah bentuk baru dari kolonialisme lokal itu. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu ayat dalam al-qur’an yang kurang lebih isinya berbunyi”bersekutulah kamu dalam amal kebaikan dan jangan bersekutu dalam kejahatan”. Bagi para perumus dan pihak yang pro BHP, BHP adalah sistem setan yang tidak harus diterapkan.
Tulisan ini dimuat di Jurnal Eksepsi, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Fakultas Hukum Unhas..
Mantan Ketua dan Dewan Pers Lembaga Pers Mahasiswa Hukum (LPMH) Fak Hukum Unhas, Makassar
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul gelombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Namun tulisan ini hanya mengulas sekilas mengenai gelombang ekonomi dunia dalam hubungannya dengan privatisasi dan komersialisasi aset-aset negara di beberapa negara di dunia, termasuk dalam bidang pendidikan. Salah satunya dalam proyek swastanisasi pendidikan melalui BHP di Indonesia. (Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai gelombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington “Will More Countries Become Democratic?” (1984).
Pada tahun 1970-an, gelombang perubahan di bidang ekonomi berlangsung sangat cepat. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara intervensionist di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis.
Antara Welfare State vs Nachwachtaersstaat
Dalam hal ini, terjadi dua kubu perdebatan yang sangat sengit saat itu; antara kaum kapitalisme-liberal yang menganut paham nachwachtaersstaat vs sosialis-marxist yang menganut paham welfare state. Para penganut paham kapitalisme-liberal yang mengkonsumsi teori Adam Smith menghendaki pembatasan atau pengurangan kekuasaan, peran dan campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi warganya. Mereka menganjurkan agar perputaran ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar. Negara hanya sebagai pengawas dan sekedar berfungsi sebagai penjaga malam saja (nachwachtaersstaat). Para penganut paham ini beralasan bahwa keadilan ekonomi hanya akan terjadi jika perputaran roda ekonomi bukan menjadi tanggungjawab negara tetapi diserahkan kepada mekanisme pasar.
Sementara para penganut sosialisme lebih menghendaki campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi warganya dengan regulasi yang ketat dan terkontrol. Kaum sosialisme khawatir jika persoalan ekonomi diserahkan pada mekanisme pasar, akan menimbulkan resiko kompetisi yang tidak sehat, monopoli dan praktek bisnis hitam. Terjadi sentralisasi dan polarisasi penguasaan aset-aset ekonomi ke tangan pelaku bisnis raksasa yang kemudian bisa mendikte dan ‘mengendalikan negara’. Kaum sosialis mengkritik cara pandang kaum liberal-kapitalis tentang resiko free market yang tidak dikendalikan melalui regulasi yang ketat oleh negara akan mengakibatkan ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi antara kelas-kelas sosial dalam sebuah negara dan antar negara-negara di dunia. Dalam paham negara kesejahteraan (welfare state), negara memiliki tanggungjawab sosial untuk mengurusi ‘kaum tidak berpunya’. Selain negara juga dituntut untuk mengendalikan perputaran dan kepemilikan akses-akses ekonomi seadil-adilnya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih sosial. Tidak sekedar berfungsi sebagai negara penjaga malam sebagaimana doktrin kaum liberal-kapitalis.
Namun pada akhirnya, sebagaimana kasus perang dingin (PD II) perang ideologi ini akhirnya dimenangkan oleh kaum kapitalisme-liberal atas kaum sosialis. Karena sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi besar-besaran di Inggris, di Perancis, di Jerman, di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang sebelumnya mengidealkan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
Beberapa orientasi liberalisasi ekonomi ini juga pada akhirnya mengarah pada dunia pendidikan. Settingan pasar bebas yang ’menjebak’ negara dengan memasukan pendidikan sebagai sasaran privatisasi akhirnya juga berimbas ke beberapa negara berkembang. Dengan alasan menutupi devisit APBN dan menggenjot pertumbuhan ekonomi negara, maka beberapa aset negara yang sebenarnya ’haram’ untuk diprivatisasi, akhirnya juga terkena proyek privatisasi tersebut.
Pendidikan diangap sebagai ladang strategis proyek privatisasi Termasuk Indonesia dengan menggolkan proyek otonomi kampus melalui UU Badan Hukum Pendidikan. Jika dilihat dari sejarahnya, praktek otonomi kampus di Indonesia bermula dari lahirnya peraturan pemerintah (PP) No. 60 dan 61 tahun 1999, tentang perubahan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kemudian diperkuat dengan UU No tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mencantumkan BHP pada pasal 53. Praktek otonomi kampus yang pada mulanya berbentuk BHMN ini lahir dari PP nomor 60 dan 61 tahun 1999 yang di uji coba di 4 universitas tertinggi di Indonesia yaitu UI, UGM, IPB, dan ITB mulai tahun 2000 kemudian disusul oleh dua universitas lainnya pada tahun 2004 yaitu UPI dan USU.
Dari kedua PP tersebut, maka dipilihlah empat perguruan tinggi negeri untuk dijadikan Perguruan Tinggi (PT) BHMN. Keempat perguruan tinggi tersebut adalah UI, IPB, ITB, dan UGM. Keempat PTN tersebut diberi kewenangan untuk mengatur keuangan sendiri serta menutupi kekurangan dana operasional pendidikan. Salah satu cara yang ditempuh oleh keempat PTN tersebut adalah dengan cara menaikan SPP bagi mahasiswa. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata BHMN merupakan pra kondisi menuju BHP.
Pada awalnya, BHP menjadi polemik cukup serius ketika baru sebagai rancangan. Demonstrasi yang menuntut pembatalan pengesahan RUU menjadi UU BHP itu marak terjadi di Indonesia. Utamanya dilakukan oleh mahasiswa. Alasan nyata yang disuarakan oleh penentang BHP adalah bahwa negara telah terjebak skenario pasar bebas yang mengincar dunia pendidikan sebagai sasaran bisnis baru. Beberapa aset-aset ekonomi strategis lain selain pendidikan telah jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan raksasa asing atau dalam bahasa ekonominya Multinational Corporation’s (MNCs). Dan pendidikan menjadi target berikutnya. Oleh karenanya, setelah pemberlakukan RUU menjadi UU BHP oleh DPR pada bulan Desember lalu, maka upaya hukum yang bisa dilakukan masyarakat untuk menuntut pembatalan UU BHP ini adalah melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Rahim BHP secara yuridis tertulis didalam Pasal 53 UU N0 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Salah satu ayat dalam Pasal 53 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur keterlibatan warga masyarakat dalam hal pengelolaan keuangan dalam mekanisme BHP. Kemudian lebih rinci dalam UU BHP, aturan ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini berdasar pada pasal 4 ayat 2 dalam undang-undang tersebut tersebut yang berbunyi: “salah satu prinsip dari pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mendiri dalam bidang akademik maupun non akademik.”
Ini berarti dalam BHP, setiap penyelenggara satuan pendidikan, baik formal maupun non formal, baik dari tingkat dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi diberi keleluasaan dalam hal kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Satuan pendidikan bebas melakukan kebijakan secara mendiri membentuk otonomi yang diinginkan dan melibatkan masyarakat sesuai dengan pasal 53 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai batas keterlibatan masyarakat ataupun kalangan masyarakat seperti apa yang dapat terlibat dalam pendidikan dalam UU BHP tersebut. Hal ini yang dikhawatirkan menimbulkan interpretasi ganda terhadap keterlibatan pengusaha (baca: investior) yang ingin berinvestasi dalam dunia pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis. Sekaligus mereduksi tanggungjawab negara.
Membuka Peluang Korupsi
Berbeda dengan BHMN yang masih menggunakan kata NEGARA dalam redaksinya. Maka dalam BHP, peran negara betul-betul telah direduksi secara sistematis. Walaupun ada salah satu pasal dalam UU BHP yang mengatur kewajiban negara mendanai 50% untuk biaya operasional dalam PT tersebut, namun hal ini masih disangsikan. Mengingat dalam redaksi konstitusi saja telah ditegaskan negara wajib menjamin anggaran 20 persen untuk biaya pendidikan di Indonesia, tetapi nyatanya tidak pernah terealisasi. Oleh karena itu dalam BHP, PT seperti sebuah corporate, atau dalam terminologi HAR Tilaar ditengarai sebagai upaya Mcdonaldisai (baca: mekdonalisasi) pendidikan.
Hal lain yang juga dikhawatirkan jika penyelenggaraan satuan pendidikan melalui mekanisme BHP adalah terbukanya peluang korupsi secara sistematis. Tentunya kita masih ingat dengan berita tentang dugaan korupsi di beberapa PTN yang dimuat koran nasional dan lokal beberapa waktu lalu. Menurut keyakinan penulis, ibarat durian, bau korupsi itu sebenarnya sudah tercium namun langkah hukum untuk menyelesaikannya terkendala prosedur acara. Disamping ada konspirasi politik yang medelegitimasi independensi hukum.
Oleh karenanya, jika pada saat belum BHP saja yang pengelolaan keuangan masih diawasi oleh pemerintah pusat, praktek korupsi itu sudah terjadi, bagaimana jika pengelolaan keuangan itu dikerjakan secara mandiri (baca: otonomi)? Karena ketika dulu sistem pelaporan keuangan masih secara hierarkis (struktural), maka pada BHP, pengelolaan termasuk pelaporan keuangan tersebut dilakukan secara internal yang membuka peluang konspirasi (baca: kongkalikong) terjadinya praktek korupsi yang dilakukan pejabat PT. Dan ini bisa saja terjadi karena pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi pengelolaan keuangan selain yang 50 persen tersebut (50 persen sisanya dilaporkan kemana?).
Perjanjian Investasi; Berpotensi Rugikan PT
Hal lain yang juga patut kita cermati dalam UU BHP adalah keterlibatan modal asing atau investasi diluar subsidi pemerintah yang akan menopang penyelenggaraan satuan pendidikan tersebut. Pengaturan tentang ini juga terdapat dalam PP No 77 Tahun 2007 tentang keterlibatan modal asing dalam pendidikan. Alasan ‘sakral’ pemerintah menggolkan proyek BHP tersebut adalah agar masyarakat bisa membantu menangani biaya operasional. Salah satu komponen masyarakat disini dalam bahasa ekonominya bisa ditafsirkan pengusaha atau investor yang memiliki modal. Disamping alasan lain bahwa negara tidak memiliki cukup modal untuk membiayai keseluruhan anggaran pendidikan, maka perlibatan modal asing dan modal investasi dimungkinkan (walaupun alasan ini sudah terbantahkan dengan fakta banyaknya sumber-sumber ekonomi lain yang bisa dialokasikan untuk membantu biaya pendidikan).
Oleh karena itu, kita bisa mengkaji persoalan ini secara lebih obyektif. Dalam hukum perjanjian, syarat dasar timbulnya perjanjian adalah bermula dari adanya itikad baik oleh kedua belah pihak untuk saling bekerjasama, sebab yang halal, dan saling menguntungkan (dalam arti tidak ada kecurangan didalamnya). Nah, karena PT membutuhkan modal untuk membantu pembiayaan sektor pendidikan (diluar subsidi negara), maka PT tersebut akan mengadakan kerjasama bantuan modal pendidikan dengan beberapa perusahaan (asing atau lokal).
Disinilah potensi konflik itu kemudian muncul. Selama ini tanggapan balik (kalau tidak dibilang upaya penyelamatan) yang sering dilontarkan oleh para perumus UU BHP maupun yang pro terhadap UU BHP adalah hanya melihat dari sudut pandang positif perjanjiannya saja, bahwa perjanjian akan membawa keuntungan kedua belah pihak. Bagaimana jika kita membalik paradigmanya kearah negatif thingkingnya. Bagaimana jika dalam proses berjalannya perjanjian tersebut, pihak PT melakukan ingkar janji (bahasa hukumnya; wanprestasi) yang resikonya bisa menimbulkan kerugian bagi mitra dalam perjanjian itu. Maka dalam resiko perjanjian, pihak yang tidak melaksanakan kewajiban harus membayar denda atas kelalaian hukum yang diakibatkan olehnya.
Jika ini terjadi, maka pihak PT akan membayar kerugian tersebut dengan mengambil alokasi 50 persen yang berasal dari bantuan pemerintah. Jika itu tidak cukup, maka PT akan menempuh kebijakan klasik, menaikan SPP mahasiswa untuk menutupi defisit anggaran pendidikan sebagai konsekuensi logis dari praktek otonomi tersebut.
Pertanyaan lainnya adalah bagaimana jika dalam perjanjian tersebut, salah satu pihak (taruhlah PT atau mitra perusahaan) memiliki itikad buruk? Yang dimaksud disini adalah, karena dikampus terdapat ilmuwan dan peneliti-peneliti yang jasanya bisa dipakai dan dibeli dengan uang untuk kepentingan perusahaan, maka tidak menutup kemungkinan, kecerdasan intelektual itu diselewengkan untuk kepentingan perusahaan yang tidak pro rakyat. Banyak kasus yang menyebutkan fenomena pelacuran intelektual yang memback-up proyek-proyek hitam pemerintah maupun perusahaan-perusahaan lintah. Jika hal ini terjadi maka pihak PT akan dimintai pertanggungjawaban dan memikul dosa sosial yang teramat berat dikemudian hari. Kampus yang seyogyanya menjadi mitra masyarakat dengan penemuan-penemuan ilmiahnya yang membantu meringankan beban masyarakat terjebak pada godaan shyahwat materi dan melacurkan intelektualnya.
Oleh karenanya, semakin jelas potensi kerugian itu terjadi jika melalui penerapan BHP dibandingkan jika penyelenggaraan pendidikan masih menjadi tanggungjawab pemerintah. Salah satu poin penting dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Pendidikan bertujuan untuk mencerahkan, membebaskan dari perbudakan, bukan untuk membodohkan, menciptakan kolonialisme lokal Dan BHP adalah bentuk baru dari kolonialisme lokal itu. Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu ayat dalam al-qur’an yang kurang lebih isinya berbunyi”bersekutulah kamu dalam amal kebaikan dan jangan bersekutu dalam kejahatan”. Bagi para perumus dan pihak yang pro BHP, BHP adalah sistem setan yang tidak harus diterapkan.
Tulisan ini dimuat di Jurnal Eksepsi, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Fakultas Hukum Unhas..
Minggu, 19 Juli 2009
Resensi Buku "Aib Politik Islam, Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan"
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia ‘Islam Yes, Partai Islam No!’ Slogan politik yang dilontarkan Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish Madjid) untuk mengkritik corak politik partai-partai politik Islam yang bertarung pada Pemilu 2004. Slogan tersebut mewakili keresahan Cak Nur terhadap fenomena degradasi ideologi yang sedang terjadi dalam tubuh partai-partai Islam. Virus sektarianisme yang dipertontonkan dan dipelihara oleh partai-partai Islam saat itu telah memantik api persaingan dan permusuhan diantara partai-partai bercorak Islam yang masing-masing berambisi menjadi pemenang dalam pertarungan. Keresahan ini akhirnya membuat cak nur mengembangkan ide sekularisasi (bukan sekularisme), pemisahan antara Islam dengan politik. Cara pandang Cak Nur ini selaras dengan pemikiran Kuntowijoyo yang membuat tesis tentang Ilmu Sosial Profetik, sebuah tesis yang juga mempelajari perbandingan antara model perjuangan Islam secara struktural dan kultural. Kedua begawan ini sampai pada titik kesimpulan bahwa perjuangan Islam struktural cenderung akan melemahkan fondasi iman dan ketauhidan umat muslim karena akan terbagi dalam sekat dan petak ideologis. Karena dalam Islam struktural, intervensi politik yang tidak bisa diimbangi dengan kemurnian tauhid, akan mengakibatkan pengikisan ideologis dalam tubuh partai tersebut dan lebih luas lagi, umat Islam sendiri. Posisi ini kemudian menggeser Islam sebagai agama yang mengajarkan nilai-nilai universal menjadi nilai-nilai partikular, kepentingan kemanusiaan yang lebih luas menjadi kepentingan kelompok yang sempit, membujuk kearifan dan kedewasaan politik menjadi sesuatu yang dangkal dan bermusuhan. Selang beberapa tahun kemudian, buku Aib politik Islam (API) terbitan Antonylib-Indonesia, 2009, yang ditulis oleh Fajlurrahman Jurdi.SH. seolah mengulang drama dan meramaikan wacana tersebut. Tampil dengan bahasanya yang lugas, vulgar, berani, dan nekat, penulis dengan kesan sadis menelanjangi perilaku partai-partai islam yang mempertontonkan aib dimana-mana melalui bahasa kampanye yang menggiurkan. Karena buku ini terbit menjelang pemilu 2009, maka setiap bahasa yang terangkai dipastikan akan membuat panas kuping fungsionaris partai-partai Islam yang disinggung dalam buku ini. Sementara masyarakat lain yang kemampuan pustakanya masih lemah, akan merasa geli membaca tiap rangkaian kalimat yang bukan hanya membantai secara sadis tingkah laku fungsionaris partai-partai islam, tapi juga ’porno’. Dalam buku ini, Fajlurrahman sebagai Direktur Eksekutif PuKAP-Indonesia, yang memang sudah sejak lama menekuki studi-studi sosial, termasuk mempelajari corak politik partai-partai politik islam beserta tingkah laku elitnya, mengkritik keras cara politik partai-partai Islam yang menjual murah ideologinya demi kekuasaan. Manufer partai-partai Islam yang beberapa diantaranya berselingkuh dengan partai berhaluan nasionalis hanya untuk membangun koalisi dan mendulang suara, dikhawatirkan penulis (sebagaimana cak nur dan kuntowijoyo) akan membuat sekat dan petak-petak ideologis hingga mengakibatkan kemunduran bahkan kehancuran dalam tubuh umat islam itu sendiri. Manufer politik parpol-parpol berasaskan Islam pada saat itu seperti PAN, PBB, PPP, PBR, PKS, PKNUI, dan PKB yang bertarung dan saling menjegal untuk mendapatkan suara terbanyak, telah mengakibatkan kebimbangan dalam tubuh umat Islam akan masa depan visi memperjuangkan amar ma’’ruf nahi mungkar dan tu’minunnah billah di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Alih-alih memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar, melalui pilihan politik Islam secara struktural, yang akhirnya membuat sekat-sekat ideologis, partai-partai Islam yang bertarung dalam pemilu 2004 secara langsung telah melemahkan akar ideologis nilai-nilai perjuangan Islam itu sendiri. Pada Bab I tentang Politik, Demokrasi, dan Islam Politik yang terbagi dalam sub bab; Teori Politik, Demokrasi, Transisi Demokrasi, Islam Politik, Elite Islam, Perilaku Politik, Perilaku Politik Elite Islam, penulis menyoroti perilaku elit politik islam yang seakan memuja materialisme, hedonis dan berpenampilan bak selebritis. Perilaku politik elit Islam yang sangat mengecewakan saat ini mencerminkan erosi moralitas dikalangan elit. Bahkan elit Islam meninggalkan messages suci Al-Qur’an yang merupakan teks otentik yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Teks suci tersebut banyak dikebiri oleh elite Islam karena menghilangkan makna transenden sebagai bagian dari keotentikan Al-Qur’an. Artinya bukan berarti elit politik Islam merubah redaksi Al-Qur’an, tetapi mereduksi makna teks tersebut sehingga apa yang menjadi pesan utamanya mengalami perubahan sesuai dengan pesan “sponsor” yaitu elit politik. Elit islam tidak sedikit yang memilih meleburkan diri dalam arus utama kekuasaan, mendukung status quo kekuasaan yang sebenarnya menyimpang dari ajaran-ajaran islam. Menutup mata dan telinga terhadap penderitaan rakyat jelata sehingga pesan keummatan yang terkandung dalam al qur’an dan as-sunnah terhalangi oleh tembok-tembok birokrasi yang tuli. Keegoisan elit politik islam dalam menggunakan bahasa politik tingkat atas (high level) yang tidak bisa dimengerti oleh kaum abangan mengakibatkan putusnya jembatan komunikasi antara elit politik islam dan masyarakat bawah. Konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai-partai islam maupun antara sesama partai-partai islam dengan sendirinya telah merenggangkan bahkan menghilangkan ikatan silaturahim (habbluminannas). Di sisi lain, kemilau duniawi telah membutakan mata hati para elit islam yang bermain-main dengan korupsi. Sedangkan pada Bab II tentang Ideologi Politik, yang terbagi dalam sub bab; Konsepsi Teoritik Tentang Ideologi, Ideologi Politik, Ideologi Partai Politik, penulis juga menyoroti fenomena pengikisan (baca: degradasi) ideologi yang terjadi dalam tubuh partai-partai islam. Islam adalah suatu keyakinan, atau suatu pandangan hidup yang memiliki dasar-dasar parenial, memiliki metodologi, aturan dan tujuan hidup untuk menuju pada Tuhan yang abstrak. Karena Islam adalah pandangan hidup, maka untuk mempermudah pemahaman kita pada tulisan ini, penulis menggunakan Islam sebagai Ideologi. Jika Islam adalah ideologi, maka partai Islam adalah partai yang menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan cita-cita perjuangan. Seluruh taktik strategi, metodologi, sikap dan perilaku yang dibangun untuk bertarung dalam arena demokrasi dan sistem sekular tidak akan keluar dari aturan. Tapi konsep tersebut tidak dilaksanakan oleh partai-partai islam yang tidak menjadikan islam sebagai ideologi perjuangan. Kemudian dalam Bab III tentang ”Islam Murni” dan ”Islam Politik” Ditengah Transisi Demokrasi, yang juga terdiri dari sub bab; Islam dan Transisi Demokrasi, Islam Murni Dalam Konteks Politik, Islam dan Kekuasaan Politik, Hubungan Demokrasi dan Islam, Mentalitas ”Islam Politik”. Dalam bab ini, penulis mengemukakan tesis bahwa Islam politik di Indonesia cenderung dihinggapi oleh sindrom inferioritas dalam menghadapi kekuatan politik sekuler. Dipundak kekuatan “Islam politik” seperti partai-partai Islam yakni PPP, PKS, PBB, ada ekspektasi besar untuk membangun kekuatan Islam politik itu, namun pada kenyataannya mereka sulit untuk bersatu dalam rangka memperjuangkan kepentingan umat Islam serta nilai-nilai Islam dalam konteks politik. Akhirnya yang terjadi adalah kompromi-kompromi politik, bahkan tidak segan-segan ideologi partai ditanggalkan demi meraih “pragmatisme” sesat. Mentalitas inferior yang terbangun dalam pemikiran kekuatan “Islam politik” di Indonesia, menyebabkan kekuatan politik Islam tidak mampu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik sekuler yang memiliki mesin besar untuk mengambil kekuasaan, ketimbang yang dimiliki oleh kekuatan “Islam politik”. “Islam politik” Indonesia, dimainkan dan diwakili oleh partai-partai politik, sedangkan organisasi kultural seperti Muhammadiyah dan NU memiliki agenda perjuangan Islam untuk membangun masyarakat yang “bertamaddun”, yaitu masyarakat yang taat akan nilai-nilai Islam dan membangun bangsa dengan niai-nilai transendensi itu. Oleh sebab itu, “Islam politik” sebagai suatu kekuatan, belum sepenuhnya memiliki energi untuk membangun kekuatan politik yang betul-betul Islami. Disamping mentalitas yang mereka miliki tidak begitu baik, karena terlalu inferior diantara belantara partai sekuler, maka mereka dengan sangat mudah berubah haluan. Dari kekuatan Islam melebur menjadi sekuler, atau dari Islam “hendak” menggabungkan diri dengan partai sekuler, tetapi tidak berani terang-terangan. Karena itu, ia menjadi hibrid, tidak berani menonjolkan identias dan ideologi yang dianutnya, karena berharap bisa bekerja sama dengan partai sekuler dan melakukan kompromi politik sekalipun merugikan ideologi yang dianutnya. Namun disisi tertentu, punya harapan untuk menjadi kekuatan “Islam politik” dan representasi kepentingan umat Islam. Mentalitas inilah yang dialami oleh PKS, PBB dan PPP saat ini, namun yang paling “mengerikan” diantara ketiga partai ini, sebagaimana pembahasan-pembahasan sebelumnya adalah PKS, yang pandai mengubah diri dan tidak berdiri tegak dengan ideologi dan keyakinannya. Dalam Bab IV tentang Partai Politik dan Kegagalan Partai Islam Dalam Diskursif Demokrasi Liberal, yang terbagi dalam sub bab; Partai Politik, Fungsi Partai Politik, Tipe Partai Politik, Partai Kader (Kaukus) dan Partai Massa, Sistem Kepartaian dan Proses Politik di Indonesia, Proses Politik di Indonesia, Kegagalan Partai Islam Indonesia. Penulis lebih menyoroti kegagalan partai islam di Indonesia yang lebih senang membangun rivalitas dengan partai seideologis, sementara di sisi yang lain membangun romantisme hubungan dengan partai-partai beraliran nasionalis-sekuler. Kemudian dalam Bab V tentang Artikulasi Politik Partai Islam. Pada bagian ini kemudian, wacana kritik sebagaimana banyak ditemukan dalam buku ini bermuara. Penulis mengkritik perilaku binal partai-partai islam yang sedang asyik melacurkan diri dalam arus kekuasaan dan demokrasi sekular. Sebuah demokrasi yang menawarkan sejumlah ’kegilaan-kegilaan’ epistemik, membongkar tata cara berpikir para elit islam yang masuk dalam kerangkeng kekuasaan. Pada wilayah ini, penulis menghujat sikap politik elit partai islam yang berpikir pragmatis dan oportunis. Tidak berani mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu harus diluruskan atau ditinggalkan karena memang salah. Secara lugas dan tajam, penulis mengkritik pengikisan ideologi yang menghinggapi partai-partai islam sekarang ini. Dengan memakai bahasa linguistik yang vulgar dan berani, penulis menelanjangi perilaku partai-partai islam dengan bermacam-macam istilah. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Pekerja Seks Komersial (PSK); Pragmatisme dan Pengkhianatan PKS. Kemudian berturut turut Partai Bulan Bintang (PBB); Partai Bintang Bulan, Partai Bulan-Bulanan, Partai Bolak Balik (yang penting PBB). Partai Persatuan Pembangunan; Partai Amanat Nasional (PAN)-Muhammadiyah-Partai Matahari Bangsa(T) (PMB); Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)-Nahdlatululama-Partai Kebangkitan Nasional Ulama. Pada bagian ini, penulis ’menghabisi’ perilaku partai-partai islam yang terkesan pragmatis dan oportunis. Penulis menilai pengikisan (baca:degradasi) ideologi yang terjadi dalam tubuh partai-partai islam saat ini sudah teramat parah sehingga dikhawatirkan dapat memicu pada sengketa ideologis dan perpecahan umat. Beberapa partai islam yang dari awalnya menyatakan konsisten akan berjuang dalam ’garis lurus’, akhirnya juga tidak mampu menggeser kemapanan partai-partai besar yang berhaluan nasionalis. Karena tidak mampu menghadapi kekuatan besar partai-partai yang berhaluan nasionalis, maka sekedar ’mencari selamat’ untuk ’tetap hidup’, maka beberapa partai islam, bersedia menggadaikan ideologis dan melakukan tawar menawar harga (baca: koalisi) dengan partai-partai nasionalis. Sementara menurut kaca mata penulis, dalam koalisi tersebut, partai islam terkesan dirugikan dan hanya dijadikan alat politik saja. Tidak sedikit dari partai-partai tersebut yang memiliki konflik internal, seperti konflik antara paman dan keponakan dalam PKB, maupun ’kegilaan’ untuk menjadikan mantan pemimpin sebagai ’guru bangsa’. Kemudian pada bagian keenam atau bagian terakhir, penulis melengkapinya dengan tesis tentang Pemilu 2009, Kekalahan Bagi Partai Islam: Analisis Atas Hasil Survey. Dalam bagian ini penulis meragukan kemampuan partai-partai islam dalam meraih suara signifikan untuk memenangi pemilu 2009. Untuk mendukung argumentasinya, penulis mengambil data dari Lingkaran Survey Indonesia pada tahun 2007. Dalam survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia pada Maret 2007, partai Islam tetap mengalami nasib yang “mengerikan”. Tidak mendapatkan suara maksimal serta pesimisme masyarakat terhadap partai yang berlabel Islam cenderung tinggi. Dengan menggunakan sistem Multistage random sampling, dengan jumlah responden awal 1200 responden dan menggunakan wawancara tatap muka dengan responden menggunakan kuesioner, PT LSI melakukan kalkulasi yang tentu mengecewakan. Dengan Margin of error sebesar ±2.9%, partai Islam menempati urutan keempat yang diwakili oleh PKS (5,6%) ditinggal jauh diatasnya oleh Partai Demokrat (16,3%). Pada bagian terakhir, penulis mencoba meredam gejolak amarah pembaca, utamanya yang berasal dari fungsionaris partai sebagaimana yang disinggung secara tajam dalam buku ini dengan mengatakan bahwa kehadiran buku ini bukan untuk melawan partai Islam, tetapi untuk mengubah kemapanan berpikir mereka yang kemudian terjebak dalam sistem demokrasi sekular. Karena jebakan itu, sulit untuk membedakan mana yang Islam dan bukan, mana yang kiri dan mana yang kanan, semuanya serba “hibrid”, abu-abu, kabur dan tidak jelas. Untuk itu, buku ini diharapkan untuk meluruskan “narasi” ideologis partai Islam agar segera melakukan revitalisasi dan memperbaiki tatanan struktur dan kaderisasi politik terhadap fungsionarisnya, agar mereka bisa menjadi kekuatan alternatif dalam “lingkaran” demokrasi sekuler. Dinamisasi intelektual yang didukung dengan argumentasi dan data yang kuat, membuat Fajlurrahman Jurdi berani menghadirkan buku ini kehadapan pembaca yang selama ini dirasa kurang tersentuh ’cahaya pencerahan’ oleh karena hingar bingar politik yang cenderung ’menyesatkan’. Hingar bingar yang tidak saja membutakan mata hati, tetapi menjauhkan entitas keummatan dalam visi memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Terbitan PuKAP-Indonesia Resensi ini pernah dimuat di harian FAJAR, edisi Minggu 5 April 2009 |
Jumat, 17 Juli 2009
DPD Bukan Anak Bawang DPR
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Rilis sementara KPU terhadap hasil Pilpres 8 Juli lalu telah memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Kemenangan ini juga dianggap sempurna oleh tim kampanye SBY-Boediono karena Pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Walau masih menunggu proses sengketa di MK, namun rilis KPU tersebut sudah bisa mempengaruhi opini publik tentang siapa pemenang Pilpres. Seolah mengikuti jejak pemilu legislatif 9 April lalu yang memenangkan partai Demokrat, perlahan namun pasti, Demokrat semakin jauh mengungguli Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini. Ketokohan dan kharismatik SBY mampu memikat jutaan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Demokrat dan SBY. Orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien ke corak pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis turut mempengaruhi kemenangan SBY dan Demokrat dalam pemilu kemarin. Amandemen Kelima, Kenapa Tidak? Pasca pemilu ini, tidak kalah dengan panasnya isu perebutan kursi di eksekutif, menarik untuk menyimak kembali warna dan ritme politik yang akan dimainkan dalam kancah legislatif. Sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif untuk memperkuat mekanisme check and balances dalam konsep pembagian kekuasaan (separation of powers) dalam doktrin trias politica, maka secara eksternal, lembaga legislatif perlu diperkuat untuk melakukan counter issu atas kebijakan-kebijakan eksekutif yang tidak sejalan dengan konstitusi. Sedangkan secara internal, keseimbangan peran antara ’pemain’ dalam lembaga legislatif sendiri juga diperlukan untuk memperkuat peran kelembagaan dan menjamin kualitas produk legislasi. Sebagai sebuah keprihatinan yang mungkin dalam ruang ini akan menemukan solusi cerdas, tulisan ini lahir untuk merangsang kembali diskursus polemik konstitusi pada tahun 2006. Masalah perbedaan kewenangan antara DPR dan DPD dalam visi menciptakan strong becameralism, dan memperkuat mekanisme check and balances di legislatif yang tidak memposisikan DPR dan DPD dalam posisi seimbang sehingga menciptakan ketimpangan legislasi. Dalam format kelembagaan kita, ada kesan high level politic dan low level politic yang merepresentasekan kekuatan politik antara DPR dan DPD. Sejak usulan amandemen V UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan DPD diajukan oleh beberapa anggota DPD seperti Irman Gusman, M. Ichsan Loulembah, Husein Rahayaan dan Piet Herman Abik ditembuskan ke MPR melalui surat usulan amandemen DPD bernomor DPD/HM.310/295/2006 pada tahun 2006 lalu, perdebatan tentang perlu tidaknya dilakukan amandemen V untuk menghapus diskriminasi konstitusi ini terus berlanjut dan memanas. Amandemen dianggap jalan terbaik untuk memperkuat kewenangan DPD. Namun untuk kesekian kalinya, mayoritas anggota DPR yang merupakan representasi Parpol kurang merespon keinginan DPD tersebut. DPR terkesan berat hati untuk membagi ’kue legislasi’ dengan DPD. Pada tahun 2007, wacana usulan perubahan pasal 22D UUD 1945 tentang DPD yang dihembuskan DPD hampir mendekati klimaks. Rencana anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mencari tambahan dukungan sebanyak 226 suara sebagai syarat untuk mengajukan usulan perubahan pasal 22D UUD 1945, terus dilakukan. Sampai akhirnya DPD mendapatkan dukungan usulan perubahan baru mencapai 215 tanda tangan. Artinya DPD tinggal membutuhkan 11 suara lagi untuk membawa usulan perubahan itu ke sidang MPR (Kompas, 7/8/2007). Sebagaimana aturan yang tercantum dalam pasal 37 ayat (3) UUD bahwa syarat untuk mengajukan usulan perubahan itu adalah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR atau 452 anggota. Namun lagi-lagi, DPD harus menelan pil pahit, beberapa anggota DPR, dengan alasan ’kebijaksanaan partai’ mencabut dukungan tersebut sehingga usulan amandemen konstitusi berhenti ditengah jalan akibat arogansi DPR. Perjuangan panjang dan penuh tantangan yang dilakukan DPD ini merupakan bentuk kekecewaan dari diskriminasi konstitusi yang hanya membentuk DPD tanpa diberikan kewenangan membentuk undang-undang. Karena menurut pasal 22D UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa DPD hanya diberikan kewenangan mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketika masuk pada ayat (2) lebih lanjut disebutkan bahwa setelah DPD mengusulkan rancangan undang-undang tersebut kepada DPR, maka DPR kemudian memanggil DPD untuk membahasnya sesuai Tatib DPR. Namun ketika tiba pada pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan. Pada posisi ini kemudian diskriminasi konstitusi ini terlihat. DPD hanya dijadikan tameng mendapatkan pengakuan dari rakyat, bahwa pemerintah sudah memperhatikan aspirasi rakyat didaerah dengan membentuk DPD, sementara kekuasaan membentuk undang-undang tetap dimiliki oleh presiden dan DPR. DPD tak ubahnya lembaga penunjang (auxilary agency) DPR yang bertugas memberikan nasehat dan usulan, sementara ketika tahapan pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan. Perselingkuhan politik antara partai-partai di DPR membawa DPD pada bayang-bayang ketidakpastian politik. DPD tetap diberikan kewenangan yang tumpul dan tetap mengekor dibelakang DPR. DPD dan DPR ibarat saudara tiri yang diperlakukan tidak proporsional oleh konstitusi sebagai ibu kandung. Perbandingan Legitimasi Sri Soemantri, guru besar emiretus ilmu hukum Unpad yang juga rektor Universitas Jayabaya Jakarta, dalam wawancara dengan Kompas (29/04/2006) juga menyayangkan ketimpangan kewenangan yang diberikan kepada DPD pasca amandemen III UUD. Menurutnya, ketimpangan kewenangan yang diberikan kepada DPD tidak sejalan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena jika dilihat, DPD lebih memiliki legitimasi yang kuat karena keanggotannya dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan anggota DPR yang perekrutannya melewati gerbong Parpol. Secara sosiologis, format pemilihan langsung dari rakyat lebih mencerminkan konsep kedaulatan rakyat yang pure dibandingkan pemilihan melalui gerbong partai. Maka jika dihitung berat resiko dengan konstituen, maka resiko tanggungjawab anggota DPD lebih berat dari pada anggota DPR, karena pertanggungjawaban anggota DPD adalah pertanggungjawaban secara individu. Berbeda dengan anggota DPR yang diwakili oleh partai. Perbedaan legitimasi yang tidak seimbang ini menyebabkan konsep bikameralisme di Indonesia bersifat tidak penuh. Dalam pandangan politik Agus Haryadi, bahwa konsep bikameralisme Indonesia menganut bicameral lunak (soft bikameralisme) yang diulas dalam bukunya “Bikameral Setengah Hati”. Keberadaan DPD di Indonesia’antara ada dan tiada’. Sementara untuk membangun lembaga legislatif yang kuat, yang akan menunjang kerja-kerja pemerintahan, termasuk dalam hal mekanisme kontrol. Yang kita inginkan adalah terwujudnya dua kamar yang sama kuatnya (strong becameralism) antara DPR dan DPD. Bukan konsep bikameralism lunak (soft/weak bicameralisme), satu kamar mendominasi kamar lainnya (DPR mendominasi DPD). Bukan pula konsep trikameralism, kamar yang satu hanya menjadi ’penonton’ dua kamar lainnya (MPR). Sistem legislatif di Indonesia adalah sistem legislatif ’abstrak-samar’, bukan bikameral, trikameral, maupun unikameral. Sehingga tidak mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif, kritis-tajam. Sebagai perbandingan, jika di Amerika, Kongres yang merupakan keterwakilan dari Senat dan House of Representatif, dimana status, kedudukan, dan kewenangan yang dimiliki oleh Senat dan House of Representatif bersifat seimbang (balances) dan saling menunjang. Atau konsep bikameralisme di Inggris antara House of Lord (upper house) dan House of Common (lower house), dimana produk legislasi mengalami proses dua kali penyaringan sebelum disahkan sehingga mendapatkan produk legislasi yang berkualitas. Bikameralisme Amerika dan Inggris merupakan contoh bikameralisme yang bersifat strong bikameralisme (dua kamar yang sama kuatnya), sementara konsep bikameralisme di Indonesia adalah soft bikameralisme (bikameral lunak). Konsep bikameralisme yang mendominasi kamar yang lain, DPR mendominasi DPD. Namun perlu diingat pula bahwa, wacana penguatan peran DPD ini bukan membuka wilayah perdebatan antara isu negara kesatuan dengan federalisme. Karena itu akan kembali membuka konflik lama pada saat pertama kali pembuatan undang-undang tentang otonomi daerah dilakukan. Sebagai sebuah penghargaan terhadap pengorbanan para founding fathers, maka komitmen Indonesia sebagai negara kesatuan tetap dijunjung tinggi. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, amandemen V untuk memperkuat kewenangan DPD ini perlu dilakukan untuk memperkuat pressure issue di daerah. Dalam konsep negara kesatuan yang pluralistik seperti di Indonesia, terlalu riskan jika semua energi untuk mengurusi negara diserahkan kepada partai. Oleh karenanya, diperlukan lembaga lain yang khusus mengadvokasi isu-isu didaerah, tetapi tetap dalam konsep negara kesatuan republik Indonesia. Lembaga tersebut adalah DPD yang menjadi sharing partner DPR untuk mengawal isu-isu strategis yang bisa membahayakan eksistensi NKRI. Bukan malah menjadi ’anak bawang’ DPR. |
Selasa, 14 Juli 2009
Menantang Golkar Menjadi Oposisi
Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Setelah melalui proses yang panjang, Pemilu 2009 akhirnya berakhir dengan keputusan sementara KPU yang memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Mengalahkan dua pasangan lainnya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Selain itu, Pemilu 2009 juga melahirkan beberapa kejutan. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sistem politik di Indonesia, perolehan suara pemenang Pemilu diatas 50 persen (SBY-Boediono 60,80 persen). Kedua, karena sesuai undang-undang Pilpres yang menyebutkan jika perolehan suara salah satu pasangan calon melampaui 50 persen, maka pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Sedangkan kejutan lainnya, Demokrat mencatat sejarah baru sebagai partai pemenang Pemilu dengan kemenangan beruntunnya pada Pileg dan Pilpres 2009 serta berhasil menyingkirkan dominasi politik Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini.
Walau masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, namun hangatnya wacana dilingkaran elit dalam pembagian kursi di kabinet pasca Pemilu menarik untuk dicermati. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi.
Menunggu Keberanian Golkar
Wacana menarik yang juga turut menjadi perhatian pasca Pemilu adalah publik menunggu partai yang akan memberanikan diri maju menjadi partai oposisi. Dinegara demokratis, oposisi diperlukan untuk memperkuat mekanisme check and balances antara tiga cabang utama kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam doktrin trias politica. Memperkuat lembaga legislatif sekaligus juga memperkuat sistem presidensil di negara yang menganut sistem presidensil. Selama ini, partai oposisi melekat pada PDIP. Namun melihat kiprah PDIP sebagai partai oposisi yang lalu, maka perlu kiranya untuk menambah amunisi oposisi di parlemen, setidaknya untuk meramaikan diskursus demokrasi di Indonesia. Dan sinyalemen baru muncul untuk mendorong Golkar menjadi partai oposisi.
Puluhan tahun berkiprah di pentas politik Indonesia, baik sebagai organisasi politik non-partai maupun sebagai parpol (Golkar sebagai parpol nanti pada Pemilu 1999), tak sekalipun Golkar berani menyatakan diri sebagai oposisi. Sekian lama, stigma yang melekat dan ’mendarah daging’ di benak sebagian rakyat Indonesia, bahwa Golkar sebagai organisasi politik penyokong Orba. Kebencian sebagian masyarakat yang anti-Orba dan gelombang reformasi yang bergulir pada tahun 1998 akhirnya berpengaruh pada kekalahan Golkar pada Pemilu legislatif tahun 1999. Kekalahan berulang (yang lebih parah) akhirnya dialami Golkar pada Pemilu 2009.
Faktor utama yang memberi sumbangan terhadap kekalahan Golkar pada Pemilu 2009 adalah ada kesan terlampau percaya diri (over confidence) dan kesalahan berpikir yang lama tertanam di benak sebagian elit Golkar bahwa kejayaan Golkar selamanya akan bertahan, walau sistem Pemilu berganti, dari Pemilu tidak langsung ke sistem Pemilu langsung. Padahal, justeru pada sistem Pemilu langsung, tanda-tanda keruntuhan Golkar mulai terlihat. Pada sistem Pemilu tidak langsung, Golkar mendapat label ’istimewa’ dari penguasa Orba sehingga memungkinkan Golkar selalu menang pada setiap Pemilu. Sokongan politik secara total yang diberikan Golkar kepada Soeharto melalui kendali terhadap sipil dan militer saat itu menjadikan Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden RI.
Status sebagai ’anak emas’ Orba dan kemenangan mutlak Golkar pada beberapa Pemilu sebelum Pemilu tahun 1999 menjadikan alasan faktor terlampau percaya diri tersebut tertanam kuat. Imbasnya, pasca amandemen III UUD 1945 pada tahun 2001, mesin politik Golkar yang selama periode Orba mengendalikan kekuatan sipil dan militer, kebingungan mencari dukungan ketika sistem pemilihan langsung digulirkan pada tahun 2004 dan dilanjutkan pada Pemilu 2009. Militer diperintahkan untuk tidak lagi terjun ke dunia politik dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI di parlemen. Sementara ide demokratisasi yang bergulir pada tahun 1998 membuat kendali politik terhadap sipil mulai berkurang dan mengendur. Tumbuhnya organisasi masyarakat sipil seperti LSM dan NGO turut memberikan sumbangan bagi penyadaran politik masyarakat setelah sekian tahun berada dibawah halusinasi politik Orba.
Hilangnya dua sokongan utama kekuatan politik Orba ini akhirnya mempengaruhi menurunnya perolehan suara Golkar. Sehingga pada pemilu 2009, Golkar seakan tidak siap untuk menerima kekalahan. Publik seakan tidak percaya perolehan suara Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto pada Pemilu 2009 sangat minim. Walau kalah dan menang dalam dunia politik adalah hal yang lumrah, namun untuk Golkar sebagai Parpol besar, kekalahan pada Pemilu 2009 merupakan sebuah tamparan dan aib.
Oleh karena itu, melihat kiprah Golkar pada Pileg dan Pilpres lalu yang menuai banyak kekalahan, revitalisasi peran politik perlu dilakukan Golkar untuk kembali memperkuat amunisi menjelang Pemilu 2014. Pada Pemilu 2009, banyak suara pendukung Golkar beralih ke parpol lain. Termasuk massa ideologis Golkar yang bertahun-tahun setia memilih Golkar. Demikian pula pada pertarungan Pilkada di beberapa daerah lalu, Golkar terbukti keok menghadapi lawan-lawan politiknya. Banyak jagoan-jagoan Golkar yang tersungkur (baca:kalah).
Maka sebagai partai yang kalah baik dalam Pileg maupun Piplres kemarin, sudah saatnya Golkar melakukan refleksi dan instropeksi untuk mengkaji ulang kekuatan, daya saing, dan besaran legitimasi rakyat terhadap Golkar. Pasca runtuhnya kekuasaan Orba dan pasca pemilu 1999, Golkar seolah kehilangan sentuhan sebagai organisasi politik yang sudah makan asam garam kehidupan politik di negeri ini. Kekalahan Golkar pada beberapa Pilkada di tanah air dan terakhir pada Pileg dan Pilpres kemarin semakin kuat menunjukan rapuhnya infrastruktur dan konsolidasi partai. Walaupun kalah dan menang adalah hal lumrah dalam dunia politik, namun sebagai partai yang sarat pengalaman, beberapa kasus kekalahan sebagai imbas dari mekanisme pemilihan langsung pada beberapa arena pertarungan pada Pilkada di beberapa daerah lalu mengisyaratkan menurunnya legitimasi rakyat terhadap kader-kader Golkar. Pergeseran orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien, ke pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis juga menjadi faktor kekalahan Golkar.
Menyadari hal ini, maka tidak ada cara lain bagi elit Golkar selain memikirkan format politik apa yang akan digunakan Golkar untuk kembali meraih kepercayaan rakyat. Dan salah satu solusi dari sekian banyak solusi yang ada adalah Golkar bisa menjadi oposisi. Namun pertanyaannya kemudian, beranikah Golkar menjadi partai oposisi setelah sekian tahun identik sebagai organisasi politik penyokong Orde Baru? Selain bahwa Golkar belum punya pengalaman menjadi partai oposisi.
Menjadi oposisi bukan sebuah pandangan politik turunnya strata politik sebuah partai. Menjadi oposisi juga bukan berarti menghalangi kerja-kerja pemerintahan. Justeru sebaliknya, pilihan menjadi oposisi akan semakin memperkuat identitas ideologis partai tersebut. Oposisi adalah salah satu kekuatan politik negara demokratis. Melalui kiprahnya sebagai partai oposisi, Golkar bisa meraih simpati rakyat dengan peran-peran mereka, turut menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang benar-benar tertuju kepada rakyat, sekaligus melakukan counter issue atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Mungkin dengan menjadi oposisi, Golkar akan kembali menemukan ’sentuhan aslinya’.
Jika Golkar menjadi oposisi, maka dipastikan peta kekuatan oposisi di parlemen semakin kuat karena PDIP dan Gerindra hampir pasti menjadi oposisi. Kekuatan ini bisa bertambah jika Golkar dan Hanura bergabung dalam koalisi oposisi bersama PDIP dan Gerindra. Koalisi empat partai ini akan menjadi oposisi yang paling kuat karena menguasai 43, 9 persen dari 560 kursi di parlemen.
Sebagai perbandingan, salah satu faktor keberhasilan sistem presidensil di AS adalah karena konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu.
Maka untuk mengawal wacana pasca Pilpres ini, publik menunggu langkah politik dan kepiawaian SBY dalam meramu kabinet untuk mengamankan perahunya mengarungi samudra yang luas dan dalam selama lima tahun kedepan. Perahu yang akan dinakhodainya, membawa dua ratus dua puluh juta nyawa, dibantu para abdi yang ahli dalam bidangnya. Publik juga menunggu kiprah partai yang berani menjadi oposisi sebagai salah satu kekuatan politik negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Beranikah Golkar menjadi oposisi?
tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi 3 Agustus 2009
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia
Setelah melalui proses yang panjang, Pemilu 2009 akhirnya berakhir dengan keputusan sementara KPU yang memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Mengalahkan dua pasangan lainnya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Selain itu, Pemilu 2009 juga melahirkan beberapa kejutan. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sistem politik di Indonesia, perolehan suara pemenang Pemilu diatas 50 persen (SBY-Boediono 60,80 persen). Kedua, karena sesuai undang-undang Pilpres yang menyebutkan jika perolehan suara salah satu pasangan calon melampaui 50 persen, maka pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Sedangkan kejutan lainnya, Demokrat mencatat sejarah baru sebagai partai pemenang Pemilu dengan kemenangan beruntunnya pada Pileg dan Pilpres 2009 serta berhasil menyingkirkan dominasi politik Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini.
Walau masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, namun hangatnya wacana dilingkaran elit dalam pembagian kursi di kabinet pasca Pemilu menarik untuk dicermati. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi.
Menunggu Keberanian Golkar
Wacana menarik yang juga turut menjadi perhatian pasca Pemilu adalah publik menunggu partai yang akan memberanikan diri maju menjadi partai oposisi. Dinegara demokratis, oposisi diperlukan untuk memperkuat mekanisme check and balances antara tiga cabang utama kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam doktrin trias politica. Memperkuat lembaga legislatif sekaligus juga memperkuat sistem presidensil di negara yang menganut sistem presidensil. Selama ini, partai oposisi melekat pada PDIP. Namun melihat kiprah PDIP sebagai partai oposisi yang lalu, maka perlu kiranya untuk menambah amunisi oposisi di parlemen, setidaknya untuk meramaikan diskursus demokrasi di Indonesia. Dan sinyalemen baru muncul untuk mendorong Golkar menjadi partai oposisi.
Puluhan tahun berkiprah di pentas politik Indonesia, baik sebagai organisasi politik non-partai maupun sebagai parpol (Golkar sebagai parpol nanti pada Pemilu 1999), tak sekalipun Golkar berani menyatakan diri sebagai oposisi. Sekian lama, stigma yang melekat dan ’mendarah daging’ di benak sebagian rakyat Indonesia, bahwa Golkar sebagai organisasi politik penyokong Orba. Kebencian sebagian masyarakat yang anti-Orba dan gelombang reformasi yang bergulir pada tahun 1998 akhirnya berpengaruh pada kekalahan Golkar pada Pemilu legislatif tahun 1999. Kekalahan berulang (yang lebih parah) akhirnya dialami Golkar pada Pemilu 2009.
Faktor utama yang memberi sumbangan terhadap kekalahan Golkar pada Pemilu 2009 adalah ada kesan terlampau percaya diri (over confidence) dan kesalahan berpikir yang lama tertanam di benak sebagian elit Golkar bahwa kejayaan Golkar selamanya akan bertahan, walau sistem Pemilu berganti, dari Pemilu tidak langsung ke sistem Pemilu langsung. Padahal, justeru pada sistem Pemilu langsung, tanda-tanda keruntuhan Golkar mulai terlihat. Pada sistem Pemilu tidak langsung, Golkar mendapat label ’istimewa’ dari penguasa Orba sehingga memungkinkan Golkar selalu menang pada setiap Pemilu. Sokongan politik secara total yang diberikan Golkar kepada Soeharto melalui kendali terhadap sipil dan militer saat itu menjadikan Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden RI.
Status sebagai ’anak emas’ Orba dan kemenangan mutlak Golkar pada beberapa Pemilu sebelum Pemilu tahun 1999 menjadikan alasan faktor terlampau percaya diri tersebut tertanam kuat. Imbasnya, pasca amandemen III UUD 1945 pada tahun 2001, mesin politik Golkar yang selama periode Orba mengendalikan kekuatan sipil dan militer, kebingungan mencari dukungan ketika sistem pemilihan langsung digulirkan pada tahun 2004 dan dilanjutkan pada Pemilu 2009. Militer diperintahkan untuk tidak lagi terjun ke dunia politik dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI di parlemen. Sementara ide demokratisasi yang bergulir pada tahun 1998 membuat kendali politik terhadap sipil mulai berkurang dan mengendur. Tumbuhnya organisasi masyarakat sipil seperti LSM dan NGO turut memberikan sumbangan bagi penyadaran politik masyarakat setelah sekian tahun berada dibawah halusinasi politik Orba.
Hilangnya dua sokongan utama kekuatan politik Orba ini akhirnya mempengaruhi menurunnya perolehan suara Golkar. Sehingga pada pemilu 2009, Golkar seakan tidak siap untuk menerima kekalahan. Publik seakan tidak percaya perolehan suara Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto pada Pemilu 2009 sangat minim. Walau kalah dan menang dalam dunia politik adalah hal yang lumrah, namun untuk Golkar sebagai Parpol besar, kekalahan pada Pemilu 2009 merupakan sebuah tamparan dan aib.
Oleh karena itu, melihat kiprah Golkar pada Pileg dan Pilpres lalu yang menuai banyak kekalahan, revitalisasi peran politik perlu dilakukan Golkar untuk kembali memperkuat amunisi menjelang Pemilu 2014. Pada Pemilu 2009, banyak suara pendukung Golkar beralih ke parpol lain. Termasuk massa ideologis Golkar yang bertahun-tahun setia memilih Golkar. Demikian pula pada pertarungan Pilkada di beberapa daerah lalu, Golkar terbukti keok menghadapi lawan-lawan politiknya. Banyak jagoan-jagoan Golkar yang tersungkur (baca:kalah).
Maka sebagai partai yang kalah baik dalam Pileg maupun Piplres kemarin, sudah saatnya Golkar melakukan refleksi dan instropeksi untuk mengkaji ulang kekuatan, daya saing, dan besaran legitimasi rakyat terhadap Golkar. Pasca runtuhnya kekuasaan Orba dan pasca pemilu 1999, Golkar seolah kehilangan sentuhan sebagai organisasi politik yang sudah makan asam garam kehidupan politik di negeri ini. Kekalahan Golkar pada beberapa Pilkada di tanah air dan terakhir pada Pileg dan Pilpres kemarin semakin kuat menunjukan rapuhnya infrastruktur dan konsolidasi partai. Walaupun kalah dan menang adalah hal lumrah dalam dunia politik, namun sebagai partai yang sarat pengalaman, beberapa kasus kekalahan sebagai imbas dari mekanisme pemilihan langsung pada beberapa arena pertarungan pada Pilkada di beberapa daerah lalu mengisyaratkan menurunnya legitimasi rakyat terhadap kader-kader Golkar. Pergeseran orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien, ke pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis juga menjadi faktor kekalahan Golkar.
Menyadari hal ini, maka tidak ada cara lain bagi elit Golkar selain memikirkan format politik apa yang akan digunakan Golkar untuk kembali meraih kepercayaan rakyat. Dan salah satu solusi dari sekian banyak solusi yang ada adalah Golkar bisa menjadi oposisi. Namun pertanyaannya kemudian, beranikah Golkar menjadi partai oposisi setelah sekian tahun identik sebagai organisasi politik penyokong Orde Baru? Selain bahwa Golkar belum punya pengalaman menjadi partai oposisi.
Menjadi oposisi bukan sebuah pandangan politik turunnya strata politik sebuah partai. Menjadi oposisi juga bukan berarti menghalangi kerja-kerja pemerintahan. Justeru sebaliknya, pilihan menjadi oposisi akan semakin memperkuat identitas ideologis partai tersebut. Oposisi adalah salah satu kekuatan politik negara demokratis. Melalui kiprahnya sebagai partai oposisi, Golkar bisa meraih simpati rakyat dengan peran-peran mereka, turut menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang benar-benar tertuju kepada rakyat, sekaligus melakukan counter issue atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Mungkin dengan menjadi oposisi, Golkar akan kembali menemukan ’sentuhan aslinya’.
Jika Golkar menjadi oposisi, maka dipastikan peta kekuatan oposisi di parlemen semakin kuat karena PDIP dan Gerindra hampir pasti menjadi oposisi. Kekuatan ini bisa bertambah jika Golkar dan Hanura bergabung dalam koalisi oposisi bersama PDIP dan Gerindra. Koalisi empat partai ini akan menjadi oposisi yang paling kuat karena menguasai 43, 9 persen dari 560 kursi di parlemen.
Sebagai perbandingan, salah satu faktor keberhasilan sistem presidensil di AS adalah karena konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu.
Maka untuk mengawal wacana pasca Pilpres ini, publik menunggu langkah politik dan kepiawaian SBY dalam meramu kabinet untuk mengamankan perahunya mengarungi samudra yang luas dan dalam selama lima tahun kedepan. Perahu yang akan dinakhodainya, membawa dua ratus dua puluh juta nyawa, dibantu para abdi yang ahli dalam bidangnya. Publik juga menunggu kiprah partai yang berani menjadi oposisi sebagai salah satu kekuatan politik negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Beranikah Golkar menjadi oposisi?
tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi 3 Agustus 2009
Memperkuat Sistem Presidensil, Mencegah Kabinet "Badut"
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Rilis beberapa lembaga survey terhadap hasil Pilpres 8 Juli lalu telah memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara diatas 50 persen. Jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Kemenangan ini juga dianggap sempurna oleh tim kampanye SBY-Boediono karena Pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Walau masih menunggu hasil resmi dari KPU pada 22-24 Juli mendatang, namun rilis lembaga survey tersebut sudah bisa mempengaruhi opini publik tentang siapa pemenang Pilpres. Seolah mengikuti jejak pemilu legislatif 9 April lalu yang memenangkan partai Demokrat, perlahan namun pasti, Demokrat semakin jauh mengungguli Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini. Ketokohan dan kharismatik SBY mampu memikat jutaan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Demokrat dan SBY. Sambil menunggu hasil resmi dari KPU, kemenangan SBY-Boediono tersebut untuk sementara meramaikan wacana koalisi kabinet dikalangan elit partai yang masuk dalam koalisi pemenangan SBY-Boediono maupun yang tidak. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar politik untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi. Tapi lepas dari itu, sinyal bahwa SBY ingin memperkuat sistem presidensil ketika memutuskan menggandeng Boediono sebagai cawapres dari kalangan profesional alias non partai (walaupun menuai kekecewaan dari peserta koalisi) sebelum Pilpres lalu perlu untuk dinantikan. Apakah untuk kedua kalinya SBY berani tegas dengan melibatkan banyak kalangan profesional, teknokrat/akademisi dibanding politisi dalam penyusunan kabinet dalam visi memperkuat sistem presidensil nantinya, atau bahkan keinginan untuk membangun sistem presidensil yang kuat terhalang oleh tawar menawar dan tagih utang politik partai peserta koalisi? Kalkulasi politik ini penting untuk dipelajari dan diperhitungkan mengingat jangan sampai komposisi kabinet nantinya bukan diduduki oleh kalangan profesional, jauh dari sentimen partai, tetapi diduduki oleh kalangan partai yang tidak sedikit diantaranya mengirimkan ’badut’ sebagai menteri hanya dengan pertimbangan balas jasa. Presiden juga betul-betul mengetahui kompetensi, kapabilitas dan kredebilitas menteri-menteri yang dipilihnya sendiri atau ditawarkan oleh partai, mencegah agar presiden tidak ’membeli kucing dalam karung’ yang dikhawatirkan bisa menciderai kinerja kabinet. Memperkuat Sistem Presidensil Di beberapa negara yang menganut sistem presidensil seperti Amerika Serikat misalnya, sistem presidensil menjadi kuat karena setidaknya ditopang oleh dua faktor utama; besarnya dukungan partai di parlemen. Dukungan mayoritas di parlemen ini memudahkan presiden dalam meramu kabinet tanpa terlalu khawatir akan tekanan dari pihak oposisi, setidaknya dalam mengamankan kebijakan-kebijakan strategis yang akan mendapatkan tantangan dari kalangan oposisi. Faktor kedua adalah kemampuan presiden untuk meramu kabinet yang aman dan akomodatif, selain karena kompetensi dan figuritas seorang presiden. Aman dan akomodatif dalam arti sang presiden mampu menempatkan figur yang tepat pada posisi yang tepat pula (right man in the right place) sehingga kebijakan yang dijalankan juga tidak setengah-setengah dan over lapping. Hal ini cenderung didasari pertimbangan kompetensi dan profesionalisme mengingat masa pemerintahan berlangsung selama lima tahun dan sangat beresiko menempatkan figur yang tidak sesuai. Walaupun ada mekanisme reshuffle. Di Amerika serikat, sistem presidensil begitu kuat juga karena faktor konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan kekuasaan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan melakukan counter issue dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu. Untuk faktor yang pertama ini, SBY tidak perlu berpikir keras tentang dukungan partai di parlemen. Demokrat sebagai kendaraan politiknya yang memenangi pemilu legisaltif lalu dengan perolehan suara cukup besar tentu akan loyal mendukung program-program strategis pemerintah. Ditambah lagi dengan dukungan partai peserta koalisi yang lain seperti PKS, PPP, PKB, maka posisi presiden sudah cukup kuat dan tidak perlu terlalu khawatir dengan tekanan oposisi. Komunikasi politik dengan wakil presiden pun tidak terlalu rumit dan politis dikarenakan Boediono adalah seorang profesional, bukan dari kalangan partai. Hal ini akan semakin memudahkan dan mengharmoniskan kinerja pemerintahan antara presiden dan wapres. Untuk meramu format presidensil yang kuat, maka SBY-Boediono secara cermat harus mempertimbangkan beberapa faktor. Diantaranya adalah dukungan ideologis dalam kabinet. Pertimbangan ideologis ini memiliki nilai sensifitas tinggi dikarenakan massa ideologis antara partai-partai di Indonesia juga sangat banyak dan mengakar sampai ke grass root, masing-masing memiliki rasa fanatisme tinggi serta didukung dengan infrastruktur politik yang mumpuni. Peta ideologi partai politik di Indonesia secara umum dibedakan dalam dua golongan besar, nasionalis dan agamis. Penggolongan dan pergumulan ideologi antara nasionalis dan agamis ini telah terjadi jauh sebelum Indonesia berdiri dan menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dua ideologi ini yang juga turut andil dalam memberikan sumbangsih terhadap pembentukan infrastruktur negara hingga kini. Sembilan partai yang masuk parlimentary treshold dalam Pileg 9 April lalu, empat diantaranya adalah parpol yang mengenakan simbol Islam (PKS, PPP, PKB, PAN), sedangkan lima lainnya adalah partai nasionalis (PD, PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura). Terlepas dari apakah kabinet SBY-Boediono akan memakai tenaga PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres lalu dalam meramu kabinet, namun penting juga untuk menghitung kekuatan empat partai ini. Hanya empat partai ini dalam format parlimentary treshold yang tidak masuk dalam koalisi pemenangan SBY-Boediono pada Pilpres lalu. Maka jelas bahwa kepiawaian SBY dalam meramu kabinet yang akomodatif dari kombinasi ideologis ini juga turut menentukan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang akan dijalankan lima tahun kedepan. Tulisan ini pernah dimuat dalam Opini Tribun Timur, Rabu 29 Juli 2009 |
Demokrasi (Tidak) Untuk Dijual
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Selama 10 tahun reformasi yang didahului dengan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Pemilu Tahun 1999 yang diikuti oleh 48 Parpol kemudian dilanjutkan dengan pemilu demokratis pada tahun 2004 dan 2009 telah menandai babak baru pertumbuhan embrio demokrasi di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan juga dibuat untuk memperkokoh fondasi demokrasi dan menciptakan civil society yang kuat. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibuat untuk memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban antara negara dan warga negara sekaligus sebagai pembatas kekuasaan penyelenggara negara. Era kebebasan dan transparansi informasi mendapat jaminan dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik semakin memperluas partisipasi dan pendidikan politik (political education) masyarakat. Jaminan kebebasan berkumpul, bersuara dan berpendapat mendapat ruang dalam perluasan pasal 28 (A-J) Amandemen ke-4 UUD 1945. Untuk memperkuat hal tersebut UU No 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Isipol/ICCPR) semakin menyemarakkan kehidupan politik di Indonesia. Secara kelembagaan, demokrasi diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dibentuk pada Amandemen ke-3 UUD 1945, semakin memperluas partisipasi politik masyarakat di daerah untuk berkomunikasi dengan pusat tanpa harus melalui partai politik. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat tepat sebagai tempat ’mengeluh’ warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar UUD untuk mengajukan judicial review UU terhadap UUD (MA UU terhadap peraturan dibawah UU). Selain itu UU No 22 Tahun 2004 tentang KY juga membuat diskrsus tentang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka (independent of judiciary) antara cabang kekuasaan kehakiman semakin seru dan menarik. Kemudian, untuk menghapus trauma sentralisasi kekuasaan pada masa Orba, pembuatan UU No 12 Tahun 2008 sebagai perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 yang mengantikan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah semakin membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan. Pemilihan Umum secara langsung tahun 2004 dan 2009 juga membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu berdemokrasi setelah selama 32 tahun lamanya, cerita demokrasi di Indonesia menjadi sangat mahal harganya pada masa rezim Orba. Namun ada sebuah kegelisahan yang muncul dibalik semua kisah ’kesuksesan’ itu. Benarkah kita sudah membangun sebuah fondasi kenegaraan melalui sistem demokrasi yang kuat? Demokrasi Kontekstual Kisah kesuksesan yang penulis kemukakan dalam pandangan diatas, hanyalah kulit luar dari lapisan dalam demokrasi kita yang sebenarnya sangat rapuh. Ketika Parpol menjamur pasca reformasi ’98 dan mengikuti Pemilu ’99 dan 2004, muncul secercah harapan akan perkembangan sistem kenegaraan dan menjamin peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Ruang kebebasan publik dibuka selebar-lebarnya, hal yang tidak terjadi ketika rezim Orba berkuasa. Tetapi siapa yang sangka, euforia pembentukan Parpol juga diikuti dengan nafsu kekuasaan yang menyebabkan demokrasi kita hanya mampu bertahan jika disokong dengan ‘gizi’ yang banyak. Seharusnya, setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan diatas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, semestinya reformasi kita berjalan mulus. Tetapi mengapa malah sebaliknya, reformasi dan demokrasi di Indonesia seolah stagnan. Ibarat kapal kehabisan bahan bakar, nyaris karam dihantam gelombang dilautan lepas. Demokrasi kita cenderung menyemarakkan perilaku korupsi yang bukannya menurun, tetapi mengalami peningkatan secara kuantitas dan kualitas. Ketika rezim Orba berkuasa, korupsi terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Ini dikarenakan sistem sentralisasi kekuasaan memungkinkan elit Orba menjadi pemain kunci dalam ’pembagian lahan’ proyek di Indonesia. Tetapi ketika rezim Orba runtuh, skala korupsi menjadi lebih kecil tetapi menjamur sampi ke level paling bawah. UU No 12 Tahun 2008 sebagai perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disatu sisi, tidak hanya membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan, tetapi membuka peluang korupsi menjadi lebih besar. Korupsi dikerjakan secara ’beramai-ramai’, walaupun dengan skala yang lebih kecil. Akibatnya tiap tahun, Transparansi Internasional selalu menyindir kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Memang benar, demokrasi kita menang secara kuantitas, tidak secara kualitas. Demokrasi kita juga menang pada tataran legislasi, tetapi lemah pada implementasi. Pembentukan lembaga-lembaga negara, pembuatan peraturan perundang-undangan dan penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tahun 2004 dan 2009 sebagai instrumen demokrasi, hanya nampak pada tataran normatif dan sekilas mampu menghapus traumatik demokrasi yang dibungkam rezim Orde Baru dulu. Tapi sekali lagi kita harus ingat dan sadar, bahwa untuk mengukur kesuksesan demokrasi, tidak dilihat dari peningkatan kuantitas. Demokrasi harus diukur secara kualitas. Demokrasi kita adalah demokrasi kontekstual. Ketika pesta demokrasi berupa pemilihan presiden dan wakil presiden maupun Pilkada di beberapa daerah melanda, yang dijadikan patokan adalah seberapa besar para ’petarung’ membayar upeti kepada Parpol. Demokrasi kita tidak lebih sekedar demokrasi uang. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek ’money politik’ dianggap lumrah dinegeri yang mengaku berdemokrasi ini. Tiap kali ada Pemilu maupun Pilkada, media massa ramai-ramai menyoroti biaya kampanye yang berkisar milyaran rupiah. Tiap orang yang ingin menjadi pejabat publik, ’wajib’ menyetor sepersekian milyar pada parpol. Parpol lebih sibuk mencari nasabah yang mau menyumbang biaya kampanye partai ketimbang memikirkan nasib sepersekian persen rakyat Indonesia yang masih terperangkap dijaring kemiskinan. Parpol tidak lebih sebagai mesin proyek. Demokrasi kita sudah dijual. Demokrasi kita sudah dibajak! Seyogyanya, untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia, harus dilihat sejauh mana keterlibatan warga negara dalam mengakses hak dan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan dalam konstitusi tentang pemerataan sosial. Selama ini dalam praktek, umumnya rakyat masih sekedar obyek (client). Untuk menikmati sumber daya yang dikuasai negara (menurut versi pasal 33 UUD 1945), terkadang rakyat dikorbankan sebagai subordinat bagi pelaku kekuasaan. Bukan sebagai subyek yang menentukan sendiri dan mampu mengkomunikasikan secara proporsional hak-hak dan kewajibannya melalui ruang-ruang demokrasi yang dibentuk. Dalam rezim otoritarianisme, subordinasi politik itu cenderung dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Dalam demokrasi minimalis, hukumannya bisa berbentuk penutupan akses ke sumberdaya publik. Dua konsep diatas cenderung merugikan ”citizenship rights”, atau status rakyat sebagai warga negara yang merdeka. Mancur Olson, dalam karyanya Power and Prosperity, menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil. Tesis Olson diatas, dapat kita cerna sedikit untuk mencermati kondisi kenegaraan pada masa rezim Orba berkuasa. Orba, dengan kekuasaannya mampu ’menjinakkan’ oposisi, bahkan menyingkirkannya. Orba mengundang investor untuk berinvestasi dengan mengenakan regulasi longgar dan membuka peluang eksploitasi sebesar-besarnya. IMF dan Worl Bank mengepung dan menjerat Indonesia dengan pinjaman luar negeri melalui Letter of Intent (LoI) yang juga pada akhirnya membuat Indonesia terlilit utang triliunan rupiah dan bunga yang menggunung. Setelah Orba jatuh, penguasa-penguasa lokal memanfaatkan peluang tersebut untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga ke daerah. Investasi asing dibuka melalui undang-undang pertambangan, perkebunan, dan penanaman modal asing. Akibatnya tanah masyarakat adat (indigenous people) tergusur oleh roda pembangunan. Kebijakan luar negeri kita juga tidak mampu membentengi kedaulatan negara hingga kita harus kelimpungan ketika dampak kenaikan minyak dunia membuat perusahaan lokal gulung tikar dan ribuan orang kehilangan mata pencahariannya. Globalisasi melalui liberalisasi pasar modal yang kita masuki ternyata menyeret kita (negara berkembang) pada pusaran arus yang menghanyutkan Akibat keputusan kenaikan BBM, nelayan meratap tidak bisa melaut karena harga solar tinggi. Petani meradang karena harga pupuk melangit. Jumlah angka putus sekolah mengalami peningkatan, utamanya anak-anak yang terpaksa banting tulang membantu mencukupi nafkah keluarga. Angkutan darat juga merugi karena harus antre berjam-jam untuk mendapatkan BBM. Para ibu rumah tangga harus rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan satu liter minyak tanah yang hanya bisa dipakai sehari, sudah itu dua atau tiga hari lambung kompor kembali kosong. Industri banyak yang gulung tikar karena tidak bisa beroperasi. Akibatnya jumlah pengangguran bertambah dan angka kriminalitas juga mengalami peningkatan. Inikah demokrasi yang setiap hari kita bangga-banggakan diruang seminar? saya pikir sudah saatnya kita, para penggiat demokrasi mengkaji ulang sistem demokrasi yang kita terapkan kini. |
Senin, 13 Juli 2009
Surat Untuk Wakil Rakyat
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Tanggal 9 Mei kemarin KPU pusat telah mengumumkan rekapitulasi akhir hasil suara pemilu legislatif yang menghasilkan 9 partai lolos parlimentary treshold, dengan kejutan partai Demokrat yang memenangi pemilu dengan perolehan suara diatas dua puluh persen. Mengalahkan Golkar dan PDIP yang harus puas diurutan kedua dan ketiga. Dalam hal ini, demokrasi menghasilkan proses regenerasi pemerintahan melalui proses pemilu. Di seluruh penjuru tanah air, caleg yang lolos menjadi anggota DPR, DPD maupun DPRD bergembira ria mendapat pekerjaan baru, dan terlebih gelar baru sebagai wakil rakyat yang terhormat. Aib ’Yang Terhormat’ Pemilu merupakan sarana untuk mematangkan konsep demokrasi dan menciptakan renegerasi pemerintahan. Disisi lain, regenerasi pemerintahan juga berbanding lurus dan membuka peluang praktek korupsi. Sudah menjadi image bahwa selama ini gedung dewan selalu dikaitkan dengan korupsi. Asumsi ini mendasar karena beberapa hasil penelitian mengungkapkan gedung dewan menjadi tempat yang ideal untuk regenerasi koruptor. Gedung dewan adalah tempat terhormat dan ’sakral’. Terhormat karena hanya lima ratus enam puluh rakyat Indonesia yang berkesempatan menduduki kursi empuk senayan dan menyandang predikat sebagai wakil rakyat yang terhormat. Sakral, karena dirumah itulah, nasib dua ratus juta lebih rakyat Indonesia ditentukan lewat legislasi yang dibuat bersama dengan eksekutif untuk kemudian dijalankan. Lima ratus lima puluh orang mengatur dan menentukan nasib dua ratus juta rakyat dalam suatu negara. Tetapi pertanyaannya kemudian, bagaimana jika anggota dewan sendiri tidak bisa mengatur dan mengontrol dirinya dari godaan materi dan syahwat? Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini gedung dewan adalah ’sarang tikus’, istilah untuk menyebut fenomena korupsi yang marak terjadi pada lembaga tersebut. Sebagai lembaga yang merepresentasekan kedaulatan rakyat, sangat naif jika rumah rakyat yang terhormat, suci dan ’sakral’, dicemari perilaku anggotanya yang senang bermain-main dengan skandal seperti korupsi. Sekedar kilas balik dalam mengamati jejak parlemen kita. Selama ini harga diri parlemen telah cukup telak ditampar dengan berbagai skandal yang membuat wibawa parlemen jatuh. Dalam beberapa surveynya, ICW maupun TI selalu menempatkan gedung dewan sebagai lembaga terkorup. Semasa Orde Baru, korupsi di lembaga legislatif ibarat membungkus durian dalam karung. Tidak terlihat tapi baunya tercium sampai kemana-mana. Bertahun-tahun, korupsi di DPR dianggap lumrah dan sulit tersentuh hukum karena mereka yang menyusun peraturan tentang tugas dan kewenangan lembaga penyidik. Sehingga tahu, kelebihan dan kelemahannya. Selain karena rasa solidaritas dan kekompakan sesama legislator untuk saling melindungi. Jika ada kasus korupsi yang tercium, Kepolisian dan Kejaksaan segan untuk menuduh, sekalipun ada bukti permulaan yang cukup. Media juga tidak berani menyoroti, apalagi pelakunya dari partai-partai besar. Takut SIUP dan SIT dicabut oleh pemerintah dengan tuduhan pencemaran nama baik (character assanation). Kekuasaan rezim Orba yang terlalu kuat menyebabkan kedaulatan hukum tidak bermakna dan para pelanggar hukum menikmati kebebasannya. Jadilah gedung dewan ‘tempat sakral’, yang sulit untuk ‘digagahi’. Maka jangan salahkan pengamat yang menilai bahwa korupsi di Indonesia sulit untuk dihilangkan. Persoalannya sederhana, disamping faktor budaya, korupsi di Indonesia bersifat hierarki. Maka ketika sang ‘big boss’ korupsi, anak buah secara otomatis juga akan ikut. Dulu, ada stigma yang berkembang bahwa parlemen haram untuk disentuh hukum. Karena disana duduk orang-orang terhormat yang membuat peraturan. Ketika Abdurrahman Saleh sewaktu menjabat Jaksa Agung melontarkan wacana ‘kampung maling’ karena maraknya praktik korupsi dan suap yang melibatkan anggota DPR, reaksi yang muncul bermacam-macam. Ada yang murka, setengah murka, bahkan ada yang adem ayem. Karena menganggap korupsi di Indonesia sudah masuk dalam kategori ‘korupsi berjamaah’. Jadi kesan yang muncul, maling tidak usah meneriaki maling. Dalam praktek, gedung dewan sering menjadi lokasi pembuatan ‘surat sakti’ yang ujung-ujungnya juga diseret arus korupsi. Surat sakti tersebut kemudian ‘dilelang’ melalui modus konsep desentralisasi pemerintahan menggunakan politik nepotis seperti kasus Bintan dan Tanjung Api-Api. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga daerah. Gedung dewan menjadi tempat stempel tender proyek ilegal yang merusak citra otonomi murni. Orde baru memang meninggalkan kursi tapi tidak meninggalkan jejak, jejak ini kemudian diikuti beramai-ramai. Parahnya, mental yang dibangun Orba adalah mental penjarah. Mental ini yang diperlihatkan legislator kita. Gedung dewan adalah tempat terhormat. Karena yang mendudukinya adalah wakil-wakil rakyat, repersentasi dari keterwakilan Partai Politik sebagai simbol negara demokrasi. Dalam pola rekruitmen, Parpol mempercayakan figur untuk menduduki jabatan tersebut dengan beberapa pertimbangan, salah satunya integritas dan moralitas. Walaupun kecenderungan selama ini, yang jadi motivasi utama adalah faktor ‘gizi’. Ketika figur yang ditetapkan sudah ditempatkan, secara otomatis sang legislator tidak hanya mempertaruhkan kredibilitas individual sebagai anggota dewan, tetapi lebih menyeluruh, kredebilitas Parpol juga menjadi taruhan. Kasus Bintan dan Tanjung Api-Api telah menampar muka sang legislator dan parpol yang mengusung. Inilah imbas dari demokrasi yang hanya bisa bertahan jika disokong dengan ‘gizi’ yang banyak. Demokrasi yang over lapping, karena diserahkan semua pada parpol untuk mengurusi negara yang juga sulit untuk diatur. Sementara Parpol juga tidak profesional dalam menempatkan kompetensi figur. Sebagai legislator, mungkin karena merasa terhormat, segalanya bisa dilakukan. Normativitas aturan dikesampingkan demi tercapainya tujuan pribadi. Merasa istimewa karena memiliki fungi ganda. Sebagai subyek pembuat undang-undang, dan perumus anggaran negara. Merasa terhormat karena memiliki kekebalan politik (impunity), jadi hukum sewaktu-waktu bisa tunduk dihadapan pembuat undang-undang. Membersihkan ’Sarang Tikus’ Pasca pemilu legislatif 9 April lalu, kini para caleg yang terpilih diperhadapkan pada tanggungjawab besar sebagai wakil rakyat. Nasib jutaan rakyat indonesia ditentukan oleh kecakapan dan keahlian dalam merumuskan peraturan yang akomodatif. Proses demokrasi yang mulai dibangun pada tahun 1998 ditentukan oleh kecakapan sang kegislator. Demokrasi yang matang bukan ditentukan oleh kedekatan personal atau hubungan kekerabatan, karena itu akan beresiko membangun negara aristrokrat. Bukan pula ditentukan oleh besarnya asupan ’gizi’ karena akan membawa implikasi pada peluang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Demokrasi yang matang adalah demokrasi yang akomodatif, aspiratif, dan menghargai keragaman sebagai sebuah kekayaan. Sebenarnya, praktek korupsi di Indonesia bukannya tidak bisa dihilangkan, namun ada kesalahan berpikir yang membuat korupsi senantiasa beranak pinak. Salah satunya, korupsi tidak akan bisa hilang jika cara berpikir kita masih ‘inlander’ dan over materialism. Hukum dan aturan disepelekan oleh anggapan bahwa uang dapat mengalahkan segala-galanya. Bahwa sewaktu-waktu uang dapat membeli keadilan. Cara berpikir seperti ini yang terkesan masih menjangkiti para pejabat negara dan penegak hukum di Indonesia. Korupsi telah menjadi budaya karena direproduksi oleh sistem sehingga membuat setiap orang sulit menghindar dari jebakan korupsi jika sedang dalam posisi memegang kekuasaan. Korupsi telah meruntuhkan tatanan nilai dan moral ke-Indonesiaan yang tercermin dalam konsep negara kesatuan. Dalam sepuluh tahun terakhir, laporan Transparency International (TI) dan PERC selalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia dan di Asia. Edgargo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Análisis of the Causes of Corruption in the Judiciary mengatakan, perang melawan korupsi ádalah tugas utama yang harus diselesaikan dimasa reformasi. Termasuk Indonesia, ádalah mustahil untuk mereformasi suatu negara jikalau korupsi masih merajalela. Maka jika ingin melihat Indonesia bermartabat dimata dunia, maka tidak ada jalan lain selain menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (the common enemy). Pernah dimuat di Opini TRIBUN TIMUR Makasar, Edisi 21 Mei 2009 |
Demokrasi dan Regenerasi Koruptor
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Terungkapnya kasus suap yang dibeberkan oleh Artalyta Suryani sebagai saksi kunci pada persidangan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan yang mengakibatkan gedung bundar (Kejagung) dan gedung dewan (DPR) ‘kebakaran jenggot’ dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan dan beberapa anggota DPR dalam kasus suap BLBI mengindikasikan bahwa demokrasi yang selama ini digulirkan hanya sebatas wacana. Demokrasi di Indonesia tidak mengurangi budaya korup yang menunjukan grafik menanjak secara bertahap. Selama 10 tahun reformasi, capaian terbesar demokrasi kita hanya mendidik dan melahirkan koruptor. Budaya korup di Indonesia bermetamorfosa sesuai perkembangan zaman dan menciptakan regenerasi koruptor. Tidak salah kiranya jika tiap tahun TI dan PERC selalu menampar Indonesia dengan risetnya yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. Dalam konteks ini, semakin jelas kiranya bahwa praktek demokrasi kita hanya senantiasa memupuk dan mengembangbiakan koruptor. Kasus suap yang melibatkan beberapa anggota DPR dan Menteri dalam kasus pengalihan fungsi hutan maupun misteri suap aliran dana BI yang sementara hangat diperbincangkan, kembali mencoreng citra Indonesia dimata dunia dan semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah tempat potensial ‘perkembangbiakan’ sehingga melahirkan regenerasi koruptor. Sindiran ini mungkin sedikit menyakitkan bagi kita yang mendambakan terciptanya clean dan good governance pasca bergulirnya 10 tahun reformasi. Ditengah drama perburuan koruptor dan aset negara diluar negeri yang belum selesai. Ditengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, para wakil rakyat dan beberapa penegak hukum seperti Jaksa Urip malah melawan arus. Wakil rakyat telah ‘menodai’ kesucian rumah rakyat. Korupsi telah meruntuhkan iman wakil rakyat untuk tidak menodai rumah rakyat yang suci tersebut dengan bersama-sama melakukan korupsi. Disisi yang lain, kedekatan Urip, seorang jaksa senior di Kejagung dengan Artalyta, seorang pengusaha, menegaskan bahwa hukum dinegeri ini begitu mudah diintervensi oleh kuasa politik. Kepatuhan Urip terhadap Artalyta dalam salah satu rekaman percakapan di persidangan, memaksa nalar rasional kita untuk mencari alasan hukum apa yang membuat seorang jaksa senior begitu mudahnya tunduk dan hormat hingga menggadaikan idealismenya demi kepuasan materi, dan menjual keadilan kepada seorang pengusaha. Korupsi dan Demokrasi yang Kebablasan Mancur Olson, dalam salah satu karyanya Power and Prosperity, menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil. Tesis Olson diatas, dapat kita cerna sedikit untuk mencermati kondisi kenegaraan pada masa rezim Orba berkuasa. Orba, dengan kekuasaannya mampu ’menjinakkan’ oposisi, bahkan menyingkirkannya. Orba mengundang investor untuk berinvestasi dengan mengenakan regulasi longgar dan membuka peluang eksploitasi sebesar-besarnya. IMF dan Worl Bank mengepung dan menjerat Indonesia dengan pinjaman luar negeri melalui Letter of Intent (LoI) yang juga pada akhirnya membuat Indonesia terlilit utang triliunan rupiah dan bunga yang menggunung. Ketika rezim Orba, korupsi terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Ini dikarenakan sistem sentralisasi kekuasaan memungkinkan elit Orba menjadi pemain kunci dalam ’pembagian lahan’ proyek di Indonesia. Tetapi ketika rezim Orba runtuh, skala korupsi menjadi lebih kecil tetapi menjamur sampi ke level paling bawah. Disatu sisi, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak hanya membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan, tetapi membuka peluang korupsi menjadi lebih besar. Korupsi dikerjakan secara ’beramai-ramai’, walaupun dengan skala yang lebih kecil. Kasus Tanjung Bintang dan Tanjung Api-Api adalah bukti lemahnya sistem hukum kita. Setelah Orba jatuh, penguasa-penguasa lokal memanfaatkan peluang tersebut untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga ke daerah. Investasi asing dibuka melalui undang-undang pertambangan, perkebunan, dan penanaman modal asing. Kasus Migas, pembalakan liar dll, adalah bukti nyata sisi lemah sistem hukum kita yang menyerahkan kekuasaan kepada kapitalis. Akibatnya tanah masyarakat adat (indigenous people) tergusur oleh roda pembangunan. Kebijakan luar negeri kita juga tidak mampu membentengi kedaulatan negara hingga kita harus kelimpungan ketika dampak kenaikan minyak dunia membuat perusahaan lokal gulung tikar dan ribuan orang kehilangan mata pencahariannya. Globalisasi melalui liberalisasi pasar modal yang kita masuki ternyata menyeret kita (negara berkembang) pada pusaran arus yang menghanyutkan Pada kenyataannya, penegakan hukum (law enforcement) terhadap kasus korupsi selama satu dasawarsa tidak menunjukan perubahan dan hasil yang signifikan terhadap perubahan sikap, komitmen, perilaku, dan kinerja birokrasi. Termasuk kinerja lembaga penegak hukum (Opini Kompas 22 Agustus 2008). Ketika UU N0 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan keputusan politik pemilihan Presiden dan Pilkada secara langsung disahkan, ada harapan akan adanya peningkatan kualitas berdemokrasi dalam kehidupan bernegara hingga melahirkan civil society yang kuat melalui konsep desentralisasi pemerintahan untuk menghapus sentralisasi pemerintahan ala Orba yang memupuk budaya korup di pemerintahan. Namun seperti yang sudah terjadi, UU Pemda melalui konsep desentralisasi juga tidak bisa mencegah mewabahnya virus korupsi hingga ke daerah. Mekanisme pemilihan langsung juga terbukti tidak mampu menjinakkan korupsi. Dalam kehidupan politik kita, sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek ’money politik’ dianggap lumrah dinegeri yang mengaku berdemokrasi ini. Tiap kali ada Pemilu maupun Pilkada, media massa ramai-ramai menyoroti biaya kampanye yang berkisar milyaran rupiah. Tiap orang yang ingin menjadi pejabat publik, ’wajib’ menyetor sepersekian milyar pada parpol. Parpol lebih sibuk mencari nasabah yang mau menyumbang biaya kampanye partai ketimbang memikirkan nasib sepersekian persen rakyat Indonesia yang masih terperangkap dijaring kemiskinan. Seyogyanya, untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia, harus dilihat sejauh mana keterlibatan warga negara dalam mengakses hak dan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan dalam konstitusi tentang pemerataan sosial. Selama ini dalam praktek, umumnya rakyat masih sekedar obyek (client). Untuk menikmati sumber daya yang dikuasai negara (menurut versi pasal 33 UUD 1945), terkadang rakyat dikorbankan sebagai subordinat bagi pelaku kekuasaan. Bukan sebagai subyek yang menentukan sendiri dan mampu mengkomunikasikan secara proporsional hak-hak dan kewajibannya melalui ruang-ruang demokrasi yang dibentuk. Dalam rezim otoritarianisme, subordinasi politik itu cenderung dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Dalam demokrasi minimalis, hukumannya bisa berbentuk penutupan akses ke sumberdaya publik. Dua konsep diatas cenderung merugikan ”citizenship rights”, atau status rakyat sebagai warga negara yang merdeka. Pernah dimuat di Opini Tribun Timur Makassar, Edisi Nopember 2008 |
Penegakan Hukum, Antara Law in Book dan Law in Action
Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konsitusi PuKAP-Indonesia Dalam Indonesia Law and Society (1999), Timothy Lindsey mengatakan bahwa negara hukum adalah negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada aturan main. Ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998, banyak pihak berharap konsistensi penegakan aturan hukum tanpa pandang bulu berdasarkan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) dilaksanakan. Peralihan kekuasaan antar-rezim menjanjikan sebuah harapan ke arah kehidupan demokrasi yang lebih baik. Sejarah kelam rezim Orba yang menomorduakan penegakan hukum dan merekayasa bahasa hukum untuk melanggengkan kekuasaan mengakibatkan hilangnya tiga tujuan utama hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Hukum di jalankan di atas pembungkaman dan kepura-puraan. Harapan para pihak agar reformasi yang digulirkan melahirkan tatanan kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan bernegara bukannya tanpa alasan. Dalam proses kelahirannya, era reformasi merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap keadaan lama (status quo) rezim Orba yang menerapkan monopoli politik. Monopoli yang tidak juga membawa Indonesia keluar dari kungkungan krisis ekonomi pada paruh 1997. Angka kemiskinan dan pengangguran meningkat, utang luar negeri menumpuk, korupsi merajalela, delegitimasi politik atas hukum yang sedemikian kuat, dan menurunnya kepercayaan rakyat atas kepemimpinan elite hingga menimbulkan reaksi keras menuntut perubahan merupakan gejala sosial yang menuntut pemecahan secara cepat dan cermat. Dalam konsep penegakan hukum, era reformasi menginginkan suatu perubahan paradigma hukum yang dapat menciptakan sistem sosial yang lebih demokratis dan dapat menyerap aspirasi rakyat tanpa pandang bulu. Sebuah paradigma yang tidak hanya melihat hukum sebagai huruf-huruf mati sebagaimana tertulis dalam KUHP/KUHAP dan beberapa peraturan tertulis lainnya. Bukan pula paradigma hukum yang tidak mampu menembus tembok-tembok birokrasi yang buta dan tuli dalam tujuannya menciptakan keadilan bagi rakyat. Namun sebuah paradigma yang memiliki visi yang jelas. Visi mewujudkan negara hukum yang demokratis, aspiratif dan akomodatif. Penegakan hukum tanpa pandang bulu sebagai penghargaan terhadap konsep kedaulatan rakyat. Hukum dan Politik; Hubungan Tuan dan Budak Tidak salah memang ketika banyak pihak yang mengatakan bahwa dalam proses pemilu yang sementara berjalan, kedaulatan hukum telah digadai demi tujuan politik. Hal ini wajar mengingat hukum adalah produk politik. Hukum dan politik adalah hubungan "tuan" dan "budak", atasan dan anak buah. Hukum dari awal keberadaannya tetap sebagai ilmu yang konsisten menjaga prinsip-prinsip independensi dan universalitasnya, namun intervensi politik yang terkadang membuat hukum lebih menonjolkan sisi individualitas sehingga kehilangan makna aslinya. Dalam hal ini undang-undang pemilu ibarat pisau bermata dua, tidak saja menjadi sarana politik sebagai proses regenerasi pemerintahan namun juga menjadi pintu yang penuh dengan "jebakan". Pintu jebakan bagi pihak-pihak yang tidak berdedikasi. Dalam beberapa kasus yang terjadi, proses pelaksanaan pemilu diwarnai cerita-cerita memilukan dari aib demokrasi. Kilauan materi dan mahalnya ongkos politik telah mempreteli idealisme aparat hukum yang melanggar sumpahnya mewujudkan pemilu yang transparan, jujur, adil dan bermartabat dengan terlibat dalam skandal seperti manipulasi suara. Abdi negara yang bekerja dibawah sumpah undang-undang pemilu, telah memilih jalan yamg salah dengan menggadaikan kepercayaan rakyat. Bahasa hukum melalui undang-undang pemilu tidak dimaknai sebagai sarana dalam menyampaikan aspirasi politik secara jujur dan bertanggungjawab untuk membangun kualitas kehidupan bernegara yang lebih kuat. Tetapi lebih dilihat sebagai objek menjanjikan eksploitasi materi dari skandal manipulasi suara. Dedikasi dan profesionalisme menjadi barang usang yang bisa digadaikan sewaktu-waktu. Pelaksanaan pemilu telah melahirkan fenomena baru, fenomena "tuan" dan "budak". Dalam kekisruhan pemilu yang sementara ramai dibicarakan, elite politik yang merasa kepentingannya dilanggar maupun karena jumlah perolehan suaranya relatif kecil, menganggap kacaunya pelaksanaan pemilu diakibatkan lemahnya koordinasi dalam hierarkis satuan kerja hingga tidak sedikit di antara mereka yang mengugat KPU karena dinilai gagal dalam permasalahan DPT. KPU sebagai pihak yang merasa dipojokkan membela diri dengan berpatokan pada undang-undang pemilu. Saling tuding sebagai pihak yang paling benar membuat legitimasi pemilu diragukan menurut sebagian orang. Jadilah proses pemilu sebuah sinetron politik yang sarat kepentingan dan jauh dari substansi demokrasi. Dalam proses ini kemudian, pesimisme rakyat akan lahirnya sebuah pemerintahan yang kuat kian terbukti dengan menurunnya legitimasi hasil pemilu. Respons masyarakat sangatlah sederhana. Bagaimana mungkin menggantungkan harapan pada sebuah sistem yang proses pelaksanaannya diragukan karena cacat hukum? Bagaimana mungkin keterwakilan aspirasi politik masyarakat hanya berkisar sepersekian persen dari jumlah dua ratus dua puluh juta penduduk? Dan bagaimana mungkin nasib dua ratus dua puluh juta penduduk ditentukan oleh kalkulasi politik partai yang juga terbukti hanya mementingkan kepentingannya sendiri-sendiri? Setengah Hati Di Indonesia, konsistensi penegakan hukum untuk mewujudkan kedaulatan hukum masih terkesan diterapkan setengah hati. Bahasa hukum masih dimaknai hanya sebatas teks-teks mati, bukan sebagai alat rekayasa sosial untuk mewujudkan tiga tujuan hukum; keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Klimaks dari proses pemilihan umum sebagai bagian dari alur perjalanan demokrasi yang mulai digulirkan pada tahun 1999, terlihat belum mampu menghasilkan formula baku yang mampu membuktikan bahwa kita adalah negara yang betul-betul menerapkan konsep negara hukum secara konsisten. Ibarat kain yang sobek, negara hukum kita penuh dengan tambalan-tambalan. Prestasi empat kali amandemen UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002 belum mampu membersihkan lembaga-lembaga negara dari praktik haram korupsi. Perkembangan korupsi di Indonesia bukan karena kekurangan instrumen hukum. Bahkan (kalau boleh saya simpulkan), dibandingkan negara lain, Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak instrumen hukum pemberantasan korupsi. Ditambah lagi dengan lembaga superbody seperti KPK dan Pengadilan Tipikor yang membuat nyali koruptor menjadi ciut. Namun korupsi tumbuh subur dan sulit dihilangkan di Indonesia karena kita masih belum menghargai dan menghormati hukum. Kita masih memandang setengah hati konsep penegakan hukum yang diwacanakan. Membaca klimaks dari alur pemilu, setidaknya ada beberapa masalah yang untuk beberapa tahun ke depan, masih sulit untuk bisa diselesaikan. Pertama; penegakan hukum akan selamanya menjadi mimpi di siang bolong karena karakter politik yang cenderung membatasi kedaulatan hukum. Ketika berhubungan dengan kepentingan elite, maka bahasa hukum diselewengkan untuk sekadar mencari selamat dan nama baik partai terjaga. Hal ini dimaklumi mengingat produk hukum yang dihasilkan cenderung mengikuti selera partai di parlemen. Kedua, konsep kemandirian ekonomi masih jauh dari harapan (jauh panggang dari api) karena formula regulasi ekonomi yang dihasilkan di parlemen terjebak konsep kapitalisme global yang mengikuti selera pasar (market). Dalam mekanisme free market, konsep ekonomi kerakyatan akan susah bertahan di tengah serbuan produk asing yang tidak saja unggul dari segi merek dan kualitas, tetapi karena faktor teknologi. Dengan model ekonomi yang diterapkan sekarang ini, Indonesia dengan kekayaan alamnya, selamanya akan menjadi negara penyokong utama sumber bahan baku yang ketika di produksi di negara-negara industri besar, dikirim kembali ke Indonesia dengan harga pasar yang jauh lebih mahal. Ketiga, regulasi yang melindungi objek-objek vital negara (yang perlindungannya dijamin dalam pasal 33 UUD 1945) masih cenderung membuka wilayah eksploitasi yang luas bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Banyak fakta yang menunjukkan kerusakan ekologi akibat eksploitasi berlebihan sumberdaya alam diakibatkan regulasi lokal dan nasional yang terlalu longgar terhadap investasi asing. Namun sumber utama dari permasalahan ini adalah aturan hukum (rule of law) kita yang tidak konsisten membahasakan Indonesia sebagai negara hukum. Aturan hukum kita hanya sebatas slogan, bukan tindakan. Law in book (hukum dalam teks/bahasa) berbeda dengan law in action (hukum dalam penerapannya). (**) Tulisan ini dimuat di Opini FAJAR, edisi 11 Mei 2009 |
Langganan:
Postingan (Atom)