Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 13 Juli 2009

Surat Untuk Wakil Rakyat

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia

Tanggal 9 Mei kemarin KPU pusat telah mengumumkan rekapitulasi akhir hasil suara pemilu legislatif yang menghasilkan 9 partai lolos parlimentary treshold, dengan kejutan partai Demokrat yang memenangi pemilu dengan perolehan suara diatas dua puluh persen. Mengalahkan Golkar dan PDIP yang harus puas diurutan kedua dan ketiga. Dalam hal ini, demokrasi menghasilkan proses regenerasi pemerintahan melalui proses pemilu. Di seluruh penjuru tanah air, caleg yang lolos menjadi anggota DPR, DPD maupun DPRD bergembira ria mendapat pekerjaan baru, dan terlebih gelar baru sebagai wakil rakyat yang terhormat.

Aib ’Yang Terhormat’
Pemilu merupakan sarana untuk mematangkan konsep demokrasi dan menciptakan renegerasi pemerintahan. Disisi lain, regenerasi pemerintahan juga berbanding lurus dan membuka peluang praktek korupsi. Sudah menjadi image bahwa selama ini gedung dewan selalu dikaitkan dengan korupsi. Asumsi ini mendasar karena beberapa hasil penelitian mengungkapkan gedung dewan menjadi tempat yang ideal untuk regenerasi koruptor.
Gedung dewan adalah tempat terhormat dan ’sakral’. Terhormat karena hanya lima ratus enam puluh rakyat Indonesia yang berkesempatan menduduki kursi empuk senayan dan menyandang predikat sebagai wakil rakyat yang terhormat. Sakral, karena dirumah itulah, nasib dua ratus juta lebih rakyat Indonesia ditentukan lewat legislasi yang dibuat bersama dengan eksekutif untuk kemudian dijalankan. Lima ratus lima puluh orang mengatur dan menentukan nasib dua ratus juta rakyat dalam suatu negara. Tetapi pertanyaannya kemudian, bagaimana jika anggota dewan sendiri tidak bisa mengatur dan mengontrol dirinya dari godaan materi dan syahwat?
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini gedung dewan adalah ’sarang tikus’, istilah untuk menyebut fenomena korupsi yang marak terjadi pada lembaga tersebut. Sebagai lembaga yang merepresentasekan kedaulatan rakyat, sangat naif jika rumah rakyat yang terhormat, suci dan ’sakral’, dicemari perilaku anggotanya yang senang bermain-main dengan skandal seperti korupsi.
Sekedar kilas balik dalam mengamati jejak parlemen kita. Selama ini harga diri parlemen telah cukup telak ditampar dengan berbagai skandal yang membuat wibawa parlemen jatuh. Dalam beberapa surveynya, ICW maupun TI selalu menempatkan gedung dewan sebagai lembaga terkorup. Semasa Orde Baru, korupsi di lembaga legislatif ibarat membungkus durian dalam karung. Tidak terlihat tapi baunya tercium sampai kemana-mana. Bertahun-tahun, korupsi di DPR dianggap lumrah dan sulit tersentuh hukum karena mereka yang menyusun peraturan tentang tugas dan kewenangan lembaga penyidik. Sehingga tahu, kelebihan dan kelemahannya. Selain karena rasa solidaritas dan kekompakan sesama legislator untuk saling melindungi.
Jika ada kasus korupsi yang tercium, Kepolisian dan Kejaksaan segan untuk menuduh, sekalipun ada bukti permulaan yang cukup. Media juga tidak berani menyoroti, apalagi pelakunya dari partai-partai besar. Takut SIUP dan SIT dicabut oleh pemerintah dengan tuduhan pencemaran nama baik (character assanation). Kekuasaan rezim Orba yang terlalu kuat menyebabkan kedaulatan hukum tidak bermakna dan para pelanggar hukum menikmati kebebasannya. Jadilah gedung dewan ‘tempat sakral’, yang sulit untuk ‘digagahi’. Maka jangan salahkan pengamat yang menilai bahwa korupsi di Indonesia sulit untuk dihilangkan. Persoalannya sederhana, disamping faktor budaya, korupsi di Indonesia bersifat hierarki. Maka ketika sang ‘big boss’ korupsi, anak buah secara otomatis juga akan ikut.
Dulu, ada stigma yang berkembang bahwa parlemen haram untuk disentuh hukum. Karena disana duduk orang-orang terhormat yang membuat peraturan. Ketika Abdurrahman Saleh sewaktu menjabat Jaksa Agung melontarkan wacana ‘kampung maling’ karena maraknya praktik korupsi dan suap yang melibatkan anggota DPR, reaksi yang muncul bermacam-macam. Ada yang murka, setengah murka, bahkan ada yang adem ayem. Karena menganggap korupsi di Indonesia sudah masuk dalam kategori ‘korupsi berjamaah’.
Jadi kesan yang muncul, maling tidak usah meneriaki maling. Dalam praktek, gedung dewan sering menjadi lokasi pembuatan ‘surat sakti’ yang ujung-ujungnya juga diseret arus korupsi. Surat sakti tersebut kemudian ‘dilelang’ melalui modus konsep desentralisasi pemerintahan menggunakan politik nepotis seperti kasus Bintan dan Tanjung Api-Api. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga daerah. Gedung dewan menjadi tempat stempel tender proyek ilegal yang merusak citra otonomi murni. Orde baru memang meninggalkan kursi tapi tidak meninggalkan jejak, jejak ini kemudian diikuti beramai-ramai. Parahnya, mental yang dibangun Orba adalah mental penjarah. Mental ini yang diperlihatkan legislator kita.
Gedung dewan adalah tempat terhormat. Karena yang mendudukinya adalah wakil-wakil rakyat, repersentasi dari keterwakilan Partai Politik sebagai simbol negara demokrasi. Dalam pola rekruitmen, Parpol mempercayakan figur untuk menduduki jabatan tersebut dengan beberapa pertimbangan, salah satunya integritas dan moralitas. Walaupun kecenderungan selama ini, yang jadi motivasi utama adalah faktor ‘gizi’.
Ketika figur yang ditetapkan sudah ditempatkan, secara otomatis sang legislator tidak hanya mempertaruhkan kredibilitas individual sebagai anggota dewan, tetapi lebih menyeluruh, kredebilitas Parpol juga menjadi taruhan. Kasus Bintan dan Tanjung Api-Api telah menampar muka sang legislator dan parpol yang mengusung. Inilah imbas dari demokrasi yang hanya bisa bertahan jika disokong dengan ‘gizi’ yang banyak. Demokrasi yang over lapping, karena diserahkan semua pada parpol untuk mengurusi negara yang juga sulit untuk diatur. Sementara Parpol juga tidak profesional dalam menempatkan kompetensi figur.
Sebagai legislator, mungkin karena merasa terhormat, segalanya bisa dilakukan. Normativitas aturan dikesampingkan demi tercapainya tujuan pribadi. Merasa istimewa karena memiliki fungi ganda. Sebagai subyek pembuat undang-undang, dan perumus anggaran negara. Merasa terhormat karena memiliki kekebalan politik (impunity), jadi hukum sewaktu-waktu bisa tunduk dihadapan pembuat undang-undang.

Membersihkan ’Sarang Tikus’
Pasca pemilu legislatif 9 April lalu, kini para caleg yang terpilih diperhadapkan pada tanggungjawab besar sebagai wakil rakyat. Nasib jutaan rakyat indonesia ditentukan oleh kecakapan dan keahlian dalam merumuskan peraturan yang akomodatif. Proses demokrasi yang mulai dibangun pada tahun 1998 ditentukan oleh kecakapan sang kegislator. Demokrasi yang matang bukan ditentukan oleh kedekatan personal atau hubungan kekerabatan, karena itu akan beresiko membangun negara aristrokrat. Bukan pula ditentukan oleh besarnya asupan ’gizi’ karena akan membawa implikasi pada peluang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Demokrasi yang matang adalah demokrasi yang akomodatif, aspiratif, dan menghargai keragaman sebagai sebuah kekayaan.
Sebenarnya, praktek korupsi di Indonesia bukannya tidak bisa dihilangkan, namun ada kesalahan berpikir yang membuat korupsi senantiasa beranak pinak. Salah satunya, korupsi tidak akan bisa hilang jika cara berpikir kita masih ‘inlander’ dan over materialism. Hukum dan aturan disepelekan oleh anggapan bahwa uang dapat mengalahkan segala-galanya. Bahwa sewaktu-waktu uang dapat membeli keadilan. Cara berpikir seperti ini yang terkesan masih menjangkiti para pejabat negara dan penegak hukum di Indonesia.
Korupsi telah menjadi budaya karena direproduksi oleh sistem sehingga membuat setiap orang sulit menghindar dari jebakan korupsi jika sedang dalam posisi memegang kekuasaan. Korupsi telah meruntuhkan tatanan nilai dan moral ke-Indonesiaan yang tercermin dalam konsep negara kesatuan. Dalam sepuluh tahun terakhir, laporan Transparency International (TI) dan PERC selalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia dan di Asia. Edgargo Buscaglia dan Maria Dakolias dalam An Análisis of the Causes of Corruption in the Judiciary mengatakan, perang melawan korupsi ádalah tugas utama yang harus diselesaikan dimasa reformasi. Termasuk Indonesia, ádalah mustahil untuk mereformasi suatu negara jikalau korupsi masih merajalela. Maka jika ingin melihat Indonesia bermartabat dimata dunia, maka tidak ada jalan lain selain menjadikan korupsi sebagai musuh bersama (the common enemy).

Pernah dimuat di Opini TRIBUN TIMUR Makasar, Edisi 21 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar