Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Jumat, 17 Juli 2009

DPD Bukan Anak Bawang DPR

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia


Rilis sementara KPU terhadap hasil Pilpres 8 Juli lalu telah memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Kemenangan ini juga dianggap sempurna oleh tim kampanye SBY-Boediono karena Pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Walau masih menunggu proses sengketa di MK, namun rilis KPU tersebut sudah bisa mempengaruhi opini publik tentang siapa pemenang Pilpres. Seolah mengikuti jejak pemilu legislatif 9 April lalu yang memenangkan partai Demokrat, perlahan namun pasti, Demokrat semakin jauh mengungguli Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini. Ketokohan dan kharismatik SBY mampu memikat jutaan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Demokrat dan SBY. Orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien ke corak pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis turut mempengaruhi kemenangan SBY dan Demokrat dalam pemilu kemarin.

Amandemen Kelima, Kenapa Tidak?
Pasca pemilu ini, tidak kalah dengan panasnya isu perebutan kursi di eksekutif, menarik untuk menyimak kembali warna dan ritme politik yang akan dimainkan dalam kancah legislatif. Sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif untuk memperkuat mekanisme check and balances dalam konsep pembagian kekuasaan (separation of powers) dalam doktrin trias politica, maka secara eksternal, lembaga legislatif perlu diperkuat untuk melakukan counter issu atas kebijakan-kebijakan eksekutif yang tidak sejalan dengan konstitusi. Sedangkan secara internal, keseimbangan peran antara ’pemain’ dalam lembaga legislatif sendiri juga diperlukan untuk memperkuat peran kelembagaan dan menjamin kualitas produk legislasi.
Sebagai sebuah keprihatinan yang mungkin dalam ruang ini akan menemukan solusi cerdas, tulisan ini lahir untuk merangsang kembali diskursus polemik konstitusi pada tahun 2006. Masalah perbedaan kewenangan antara DPR dan DPD dalam visi menciptakan strong becameralism, dan memperkuat mekanisme check and balances di legislatif yang tidak memposisikan DPR dan DPD dalam posisi seimbang sehingga menciptakan ketimpangan legislasi. Dalam format kelembagaan kita, ada kesan high level politic dan low level politic yang merepresentasekan kekuatan politik antara DPR dan DPD.
Sejak usulan amandemen V UUD 1945 untuk memperkuat kewenangan DPD diajukan oleh beberapa anggota DPD seperti Irman Gusman, M. Ichsan Loulembah, Husein Rahayaan dan Piet Herman Abik ditembuskan ke MPR melalui surat usulan amandemen DPD bernomor DPD/HM.310/295/2006 pada tahun 2006 lalu, perdebatan tentang perlu tidaknya dilakukan amandemen V untuk menghapus diskriminasi konstitusi ini terus berlanjut dan memanas. Amandemen dianggap jalan terbaik untuk memperkuat kewenangan DPD. Namun untuk kesekian kalinya, mayoritas anggota DPR yang merupakan representasi Parpol kurang merespon keinginan DPD tersebut. DPR terkesan berat hati untuk membagi ’kue legislasi’ dengan DPD.
Pada tahun 2007, wacana usulan perubahan pasal 22D UUD 1945 tentang DPD yang dihembuskan DPD hampir mendekati klimaks. Rencana anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mencari tambahan dukungan sebanyak 226 suara sebagai syarat untuk mengajukan usulan perubahan pasal 22D UUD 1945, terus dilakukan. Sampai akhirnya DPD mendapatkan dukungan usulan perubahan baru mencapai 215 tanda tangan. Artinya DPD tinggal membutuhkan 11 suara lagi untuk membawa usulan perubahan itu ke sidang MPR (Kompas, 7/8/2007). Sebagaimana aturan yang tercantum dalam pasal 37 ayat (3) UUD bahwa syarat untuk mengajukan usulan perubahan itu adalah sekurang-kurangnya dihadiri oleh 2/3 anggota MPR atau 452 anggota. Namun lagi-lagi, DPD harus menelan pil pahit, beberapa anggota DPR, dengan alasan ’kebijaksanaan partai’ mencabut dukungan tersebut sehingga usulan amandemen konstitusi berhenti ditengah jalan akibat arogansi DPR.
Perjuangan panjang dan penuh tantangan yang dilakukan DPD ini merupakan bentuk kekecewaan dari diskriminasi konstitusi yang hanya membentuk DPD tanpa diberikan kewenangan membentuk undang-undang. Karena menurut pasal 22D UUD 1945 yang juga diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bahwa DPD hanya diberikan kewenangan mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ketika masuk pada ayat (2) lebih lanjut disebutkan bahwa setelah DPD mengusulkan rancangan undang-undang tersebut kepada DPR, maka DPR kemudian memanggil DPD untuk membahasnya sesuai Tatib DPR. Namun ketika tiba pada pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan.
Pada posisi ini kemudian diskriminasi konstitusi ini terlihat. DPD hanya dijadikan tameng mendapatkan pengakuan dari rakyat, bahwa pemerintah sudah memperhatikan aspirasi rakyat didaerah dengan membentuk DPD, sementara kekuasaan membentuk undang-undang tetap dimiliki oleh presiden dan DPR. DPD tak ubahnya lembaga penunjang (auxilary agency) DPR yang bertugas memberikan nasehat dan usulan, sementara ketika tahapan pengambilan keputusan, DPD tidak dilibatkan. Perselingkuhan politik antara partai-partai di DPR membawa DPD pada bayang-bayang ketidakpastian politik. DPD tetap diberikan kewenangan yang tumpul dan tetap mengekor dibelakang DPR. DPD dan DPR ibarat saudara tiri yang diperlakukan tidak proporsional oleh konstitusi sebagai ibu kandung.

Perbandingan Legitimasi
Sri Soemantri, guru besar emiretus ilmu hukum Unpad yang juga rektor Universitas Jayabaya Jakarta, dalam wawancara dengan Kompas (29/04/2006) juga menyayangkan ketimpangan kewenangan yang diberikan kepada DPD pasca amandemen III UUD. Menurutnya, ketimpangan kewenangan yang diberikan kepada DPD tidak sejalan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena jika dilihat, DPD lebih memiliki legitimasi yang kuat karena keanggotannya dipilih langsung oleh rakyat, berbeda dengan anggota DPR yang perekrutannya melewati gerbong Parpol. Secara sosiologis, format pemilihan langsung dari rakyat lebih mencerminkan konsep kedaulatan rakyat yang pure dibandingkan pemilihan melalui gerbong partai. Maka jika dihitung berat resiko dengan konstituen, maka resiko tanggungjawab anggota DPD lebih berat dari pada anggota DPR, karena pertanggungjawaban anggota DPD adalah pertanggungjawaban secara individu. Berbeda dengan anggota DPR yang diwakili oleh partai.
Perbedaan legitimasi yang tidak seimbang ini menyebabkan konsep bikameralisme di Indonesia bersifat tidak penuh. Dalam pandangan politik Agus Haryadi, bahwa konsep bikameralisme Indonesia menganut bicameral lunak (soft bikameralisme) yang diulas dalam bukunya “Bikameral Setengah Hati”. Keberadaan DPD di Indonesia’antara ada dan tiada’.
Sementara untuk membangun lembaga legislatif yang kuat, yang akan menunjang kerja-kerja pemerintahan, termasuk dalam hal mekanisme kontrol. Yang kita inginkan adalah terwujudnya dua kamar yang sama kuatnya (strong becameralism) antara DPR dan DPD. Bukan konsep bikameralism lunak (soft/weak bicameralisme), satu kamar mendominasi kamar lainnya (DPR mendominasi DPD). Bukan pula konsep trikameralism, kamar yang satu hanya menjadi ’penonton’ dua kamar lainnya (MPR). Sistem legislatif di Indonesia adalah sistem legislatif ’abstrak-samar’, bukan bikameral, trikameral, maupun unikameral. Sehingga tidak mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif, kritis-tajam.
Sebagai perbandingan, jika di Amerika, Kongres yang merupakan keterwakilan dari Senat dan House of Representatif, dimana status, kedudukan, dan kewenangan yang dimiliki oleh Senat dan House of Representatif bersifat seimbang (balances) dan saling menunjang. Atau konsep bikameralisme di Inggris antara House of Lord (upper house) dan House of Common (lower house), dimana produk legislasi mengalami proses dua kali penyaringan sebelum disahkan sehingga mendapatkan produk legislasi yang berkualitas. Bikameralisme Amerika dan Inggris merupakan contoh bikameralisme yang bersifat strong bikameralisme (dua kamar yang sama kuatnya), sementara konsep bikameralisme di Indonesia adalah soft bikameralisme (bikameral lunak). Konsep bikameralisme yang mendominasi kamar yang lain, DPR mendominasi DPD.
Namun perlu diingat pula bahwa, wacana penguatan peran DPD ini bukan membuka wilayah perdebatan antara isu negara kesatuan dengan federalisme. Karena itu akan kembali membuka konflik lama pada saat pertama kali pembuatan undang-undang tentang otonomi daerah dilakukan. Sebagai sebuah penghargaan terhadap pengorbanan para founding fathers, maka komitmen Indonesia sebagai negara kesatuan tetap dijunjung tinggi.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, amandemen V untuk memperkuat kewenangan DPD ini perlu dilakukan untuk memperkuat pressure issue di daerah. Dalam konsep negara kesatuan yang pluralistik seperti di Indonesia, terlalu riskan jika semua energi untuk mengurusi negara diserahkan kepada partai. Oleh karenanya, diperlukan lembaga lain yang khusus mengadvokasi isu-isu didaerah, tetapi tetap dalam konsep negara kesatuan republik Indonesia. Lembaga tersebut adalah DPD yang menjadi sharing partner DPR untuk mengawal isu-isu strategis yang bisa membahayakan eksistensi NKRI. Bukan malah menjadi ’anak bawang’ DPR.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar