Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 13 Juli 2009

Penegakan Hukum, Antara Law in Book dan Law in Action

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konsitusi PuKAP-Indonesia

Dalam Indonesia Law and Society (1999), Timothy Lindsey mengatakan bahwa negara hukum adalah negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya, harus tunduk pada aturan main. Ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998, banyak pihak berharap konsistensi penegakan aturan hukum tanpa pandang bulu berdasarkan prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) dilaksanakan.
Peralihan kekuasaan antar-rezim menjanjikan sebuah harapan ke arah kehidupan demokrasi yang lebih baik. Sejarah kelam rezim Orba yang menomorduakan penegakan hukum dan merekayasa bahasa hukum untuk melanggengkan kekuasaan mengakibatkan hilangnya tiga tujuan utama hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Hukum di jalankan di atas pembungkaman dan kepura-puraan.
Harapan para pihak agar reformasi yang digulirkan melahirkan tatanan kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan bernegara bukannya tanpa alasan. Dalam proses kelahirannya, era reformasi merupakan reaksi atas ketidakpuasan terhadap keadaan lama (status quo) rezim Orba yang menerapkan monopoli politik. Monopoli yang tidak juga membawa Indonesia keluar dari kungkungan krisis ekonomi pada paruh 1997. Angka kemiskinan dan pengangguran meningkat, utang luar negeri menumpuk, korupsi merajalela, delegitimasi politik atas hukum yang sedemikian kuat, dan menurunnya kepercayaan rakyat atas kepemimpinan elite hingga menimbulkan reaksi keras menuntut perubahan merupakan gejala sosial yang menuntut pemecahan secara cepat dan cermat.
Dalam konsep penegakan hukum, era reformasi menginginkan suatu perubahan paradigma hukum yang dapat menciptakan sistem sosial yang lebih demokratis dan dapat menyerap aspirasi rakyat tanpa pandang bulu. Sebuah paradigma yang tidak hanya melihat hukum sebagai huruf-huruf mati sebagaimana tertulis dalam KUHP/KUHAP dan beberapa peraturan tertulis lainnya.
Bukan pula paradigma hukum yang tidak mampu menembus tembok-tembok birokrasi yang buta dan tuli dalam tujuannya menciptakan keadilan bagi rakyat. Namun sebuah paradigma yang memiliki visi yang jelas. Visi mewujudkan negara hukum yang demokratis, aspiratif dan akomodatif. Penegakan hukum tanpa pandang bulu sebagai penghargaan terhadap konsep kedaulatan rakyat.
Hukum dan Politik; Hubungan Tuan dan Budak
Tidak salah memang ketika banyak pihak yang mengatakan bahwa dalam proses pemilu yang sementara berjalan, kedaulatan hukum telah digadai demi tujuan politik. Hal ini wajar mengingat hukum adalah produk politik. Hukum dan politik adalah hubungan "tuan" dan "budak", atasan dan anak buah.
Hukum dari awal keberadaannya tetap sebagai ilmu yang konsisten menjaga prinsip-prinsip independensi dan universalitasnya, namun intervensi politik yang terkadang membuat hukum lebih menonjolkan sisi individualitas sehingga kehilangan makna aslinya. Dalam hal ini undang-undang pemilu ibarat pisau bermata dua, tidak saja menjadi sarana politik sebagai proses regenerasi pemerintahan namun juga menjadi pintu yang penuh dengan "jebakan". Pintu jebakan bagi pihak-pihak yang tidak berdedikasi. Dalam beberapa kasus yang terjadi, proses pelaksanaan pemilu diwarnai cerita-cerita memilukan dari aib demokrasi. Kilauan materi dan mahalnya ongkos politik telah mempreteli idealisme aparat hukum yang melanggar sumpahnya mewujudkan pemilu yang transparan, jujur, adil dan bermartabat dengan terlibat dalam skandal seperti manipulasi suara. Abdi negara yang bekerja dibawah sumpah undang-undang pemilu, telah memilih jalan yamg salah dengan menggadaikan kepercayaan rakyat.
Bahasa hukum melalui undang-undang pemilu tidak dimaknai sebagai sarana dalam menyampaikan aspirasi politik secara jujur dan bertanggungjawab untuk membangun kualitas kehidupan bernegara yang lebih kuat. Tetapi lebih dilihat sebagai objek menjanjikan eksploitasi materi dari skandal manipulasi suara. Dedikasi dan profesionalisme menjadi barang usang yang bisa digadaikan sewaktu-waktu. Pelaksanaan pemilu telah melahirkan fenomena baru, fenomena "tuan" dan "budak".
Dalam kekisruhan pemilu yang sementara ramai dibicarakan, elite politik yang merasa kepentingannya dilanggar maupun karena jumlah perolehan suaranya relatif kecil, menganggap kacaunya pelaksanaan pemilu diakibatkan lemahnya koordinasi dalam hierarkis satuan kerja hingga tidak sedikit di antara mereka yang mengugat KPU karena dinilai gagal dalam permasalahan DPT. KPU sebagai pihak yang merasa dipojokkan membela diri dengan berpatokan pada undang-undang pemilu. Saling tuding sebagai pihak yang paling benar membuat legitimasi pemilu diragukan menurut sebagian orang. Jadilah proses pemilu sebuah sinetron politik yang sarat kepentingan dan jauh dari substansi demokrasi.
Dalam proses ini kemudian, pesimisme rakyat akan lahirnya sebuah pemerintahan yang kuat kian terbukti dengan menurunnya legitimasi hasil pemilu. Respons masyarakat sangatlah sederhana. Bagaimana mungkin menggantungkan harapan pada sebuah sistem yang proses pelaksanaannya diragukan karena cacat hukum? Bagaimana mungkin keterwakilan aspirasi politik masyarakat hanya berkisar sepersekian persen dari jumlah dua ratus dua puluh juta penduduk? Dan bagaimana mungkin nasib dua ratus dua puluh juta penduduk ditentukan oleh kalkulasi politik partai yang juga terbukti hanya mementingkan kepentingannya sendiri-sendiri?
Setengah Hati
Di Indonesia, konsistensi penegakan hukum untuk mewujudkan kedaulatan hukum masih terkesan diterapkan setengah hati. Bahasa hukum masih dimaknai hanya sebatas teks-teks mati, bukan sebagai alat rekayasa sosial untuk mewujudkan tiga tujuan hukum; keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Klimaks dari proses pemilihan umum sebagai bagian dari alur perjalanan demokrasi yang mulai digulirkan pada tahun 1999, terlihat belum mampu menghasilkan formula baku yang mampu membuktikan bahwa kita adalah negara yang betul-betul menerapkan konsep negara hukum secara konsisten. Ibarat kain yang sobek, negara hukum kita penuh dengan tambalan-tambalan. Prestasi empat kali amandemen UUD 1945 dalam kurun waktu 1999-2002 belum mampu membersihkan lembaga-lembaga negara dari praktik haram korupsi.
Perkembangan korupsi di Indonesia bukan karena kekurangan instrumen hukum. Bahkan (kalau boleh saya simpulkan), dibandingkan negara lain, Indonesia termasuk negara yang memiliki banyak instrumen hukum pemberantasan korupsi. Ditambah lagi dengan lembaga superbody seperti KPK dan Pengadilan Tipikor yang membuat nyali koruptor menjadi ciut. Namun korupsi tumbuh subur dan sulit dihilangkan di Indonesia karena kita masih belum menghargai dan menghormati hukum. Kita masih memandang setengah hati konsep penegakan hukum yang diwacanakan.
Membaca klimaks dari alur pemilu, setidaknya ada beberapa masalah yang untuk beberapa tahun ke depan, masih sulit untuk bisa diselesaikan. Pertama; penegakan hukum akan selamanya menjadi mimpi di siang bolong karena karakter politik yang cenderung membatasi kedaulatan hukum. Ketika berhubungan dengan kepentingan elite, maka bahasa hukum diselewengkan untuk sekadar mencari selamat dan nama baik partai terjaga. Hal ini dimaklumi mengingat produk hukum yang dihasilkan cenderung mengikuti selera partai di parlemen.
Kedua, konsep kemandirian ekonomi masih jauh dari harapan (jauh panggang dari api) karena formula regulasi ekonomi yang dihasilkan di parlemen terjebak konsep kapitalisme global yang mengikuti selera pasar (market). Dalam mekanisme free market, konsep ekonomi kerakyatan akan susah bertahan di tengah serbuan produk asing yang tidak saja unggul dari segi merek dan kualitas, tetapi karena faktor teknologi. Dengan model ekonomi yang diterapkan sekarang ini, Indonesia dengan kekayaan alamnya, selamanya akan menjadi negara penyokong utama sumber bahan baku yang ketika di produksi di negara-negara industri besar, dikirim kembali ke Indonesia dengan harga pasar yang jauh lebih mahal. Ketiga, regulasi yang melindungi objek-objek vital negara (yang perlindungannya dijamin dalam pasal 33 UUD 1945) masih cenderung membuka wilayah eksploitasi yang luas bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.
Banyak fakta yang menunjukkan kerusakan ekologi akibat eksploitasi berlebihan sumberdaya alam diakibatkan regulasi lokal dan nasional yang terlalu longgar terhadap investasi asing. Namun sumber utama dari permasalahan ini adalah aturan hukum (rule of law) kita yang tidak konsisten membahasakan Indonesia sebagai negara hukum. Aturan hukum kita hanya sebatas slogan, bukan tindakan. Law in book (hukum dalam teks/bahasa) berbeda dengan law in action (hukum dalam penerapannya). (**)

Tulisan ini dimuat di Opini FAJAR, edisi 11 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar