Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Selasa, 14 Juli 2009

Memperkuat Sistem Presidensil, Mencegah Kabinet "Badut"

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia

Rilis beberapa lembaga survey terhadap hasil Pilpres 8 Juli lalu telah memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara diatas 50 persen. Jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Kemenangan ini juga dianggap sempurna oleh tim kampanye SBY-Boediono karena Pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Walau masih menunggu hasil resmi dari KPU pada 22-24 Juli mendatang, namun rilis lembaga survey tersebut sudah bisa mempengaruhi opini publik tentang siapa pemenang Pilpres. Seolah mengikuti jejak pemilu legislatif 9 April lalu yang memenangkan partai Demokrat, perlahan namun pasti, Demokrat semakin jauh mengungguli Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini. Ketokohan dan kharismatik SBY mampu memikat jutaan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya pada Demokrat dan SBY.
Sambil menunggu hasil resmi dari KPU, kemenangan SBY-Boediono tersebut untuk sementara meramaikan wacana koalisi kabinet dikalangan elit partai yang masuk dalam koalisi pemenangan SBY-Boediono maupun yang tidak. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar politik untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi.
Tapi lepas dari itu, sinyal bahwa SBY ingin memperkuat sistem presidensil ketika memutuskan menggandeng Boediono sebagai cawapres dari kalangan profesional alias non partai (walaupun menuai kekecewaan dari peserta koalisi) sebelum Pilpres lalu perlu untuk dinantikan. Apakah untuk kedua kalinya SBY berani tegas dengan melibatkan banyak kalangan profesional, teknokrat/akademisi dibanding politisi dalam penyusunan kabinet dalam visi memperkuat sistem presidensil nantinya, atau bahkan keinginan untuk membangun sistem presidensil yang kuat terhalang oleh tawar menawar dan tagih utang politik partai peserta koalisi?
Kalkulasi politik ini penting untuk dipelajari dan diperhitungkan mengingat jangan sampai komposisi kabinet nantinya bukan diduduki oleh kalangan profesional, jauh dari sentimen partai, tetapi diduduki oleh kalangan partai yang tidak sedikit diantaranya mengirimkan ’badut’ sebagai menteri hanya dengan pertimbangan balas jasa. Presiden juga betul-betul mengetahui kompetensi, kapabilitas dan kredebilitas menteri-menteri yang dipilihnya sendiri atau ditawarkan oleh partai, mencegah agar presiden tidak ’membeli kucing dalam karung’ yang dikhawatirkan bisa menciderai kinerja kabinet.

Memperkuat Sistem Presidensil
Di beberapa negara yang menganut sistem presidensil seperti Amerika Serikat misalnya, sistem presidensil menjadi kuat karena setidaknya ditopang oleh dua faktor utama; besarnya dukungan partai di parlemen. Dukungan mayoritas di parlemen ini memudahkan presiden dalam meramu kabinet tanpa terlalu khawatir akan tekanan dari pihak oposisi, setidaknya dalam mengamankan kebijakan-kebijakan strategis yang akan mendapatkan tantangan dari kalangan oposisi. Faktor kedua adalah kemampuan presiden untuk meramu kabinet yang aman dan akomodatif, selain karena kompetensi dan figuritas seorang presiden. Aman dan akomodatif dalam arti sang presiden mampu menempatkan figur yang tepat pada posisi yang tepat pula (right man in the right place) sehingga kebijakan yang dijalankan juga tidak setengah-setengah dan over lapping. Hal ini cenderung didasari pertimbangan kompetensi dan profesionalisme mengingat masa pemerintahan berlangsung selama lima tahun dan sangat beresiko menempatkan figur yang tidak sesuai. Walaupun ada mekanisme reshuffle.
Di Amerika serikat, sistem presidensil begitu kuat juga karena faktor konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan kekuasaan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan melakukan counter issue dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu.
Untuk faktor yang pertama ini, SBY tidak perlu berpikir keras tentang dukungan partai di parlemen. Demokrat sebagai kendaraan politiknya yang memenangi pemilu legisaltif lalu dengan perolehan suara cukup besar tentu akan loyal mendukung program-program strategis pemerintah. Ditambah lagi dengan dukungan partai peserta koalisi yang lain seperti PKS, PPP, PKB, maka posisi presiden sudah cukup kuat dan tidak perlu terlalu khawatir dengan tekanan oposisi. Komunikasi politik dengan wakil presiden pun tidak terlalu rumit dan politis dikarenakan Boediono adalah seorang profesional, bukan dari kalangan partai. Hal ini akan semakin memudahkan dan mengharmoniskan kinerja pemerintahan antara presiden dan wapres.
Untuk meramu format presidensil yang kuat, maka SBY-Boediono secara cermat harus mempertimbangkan beberapa faktor. Diantaranya adalah dukungan ideologis dalam kabinet. Pertimbangan ideologis ini memiliki nilai sensifitas tinggi dikarenakan massa ideologis antara partai-partai di Indonesia juga sangat banyak dan mengakar sampai ke grass root, masing-masing memiliki rasa fanatisme tinggi serta didukung dengan infrastruktur politik yang mumpuni.
Peta ideologi partai politik di Indonesia secara umum dibedakan dalam dua golongan besar, nasionalis dan agamis. Penggolongan dan pergumulan ideologi antara nasionalis dan agamis ini telah terjadi jauh sebelum Indonesia berdiri dan menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dua ideologi ini yang juga turut andil dalam memberikan sumbangsih terhadap pembentukan infrastruktur negara hingga kini.
Sembilan partai yang masuk parlimentary treshold dalam Pileg 9 April lalu, empat diantaranya adalah parpol yang mengenakan simbol Islam (PKS, PPP, PKB, PAN), sedangkan lima lainnya adalah partai nasionalis (PD, PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura). Terlepas dari apakah kabinet SBY-Boediono akan memakai tenaga PDIP, Golkar, Gerindra dan Hanura yang menjadi lawan politiknya pada Pilpres lalu dalam meramu kabinet, namun penting juga untuk menghitung kekuatan empat partai ini. Hanya empat partai ini dalam format parlimentary treshold yang tidak masuk dalam koalisi pemenangan SBY-Boediono pada Pilpres lalu. Maka jelas bahwa kepiawaian SBY dalam meramu kabinet yang akomodatif dari kombinasi ideologis ini juga turut menentukan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang akan dijalankan lima tahun kedepan.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Opini Tribun Timur, Rabu 29 Juli 2009









Tidak ada komentar:

Posting Komentar