Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Selasa, 14 Juli 2009

Menantang Golkar Menjadi Oposisi

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia

Setelah melalui proses yang panjang, Pemilu 2009 akhirnya berakhir dengan keputusan sementara KPU yang memenangkan pasangan SBY-Boediono dengan perolehan suara 60,80 persen. Mengalahkan dua pasangan lainnya, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto dengan perolehan suara masing-masing 26,79 persen dan 12,41 persen. Selain itu, Pemilu 2009 juga melahirkan beberapa kejutan. Pertama, untuk pertama kalinya dalam sistem politik di Indonesia, perolehan suara pemenang Pemilu diatas 50 persen (SBY-Boediono 60,80 persen). Kedua, karena sesuai undang-undang Pilpres yang menyebutkan jika perolehan suara salah satu pasangan calon melampaui 50 persen, maka pemilu hanya berlangsung satu putaran saja. Sedangkan kejutan lainnya, Demokrat mencatat sejarah baru sebagai partai pemenang Pemilu dengan kemenangan beruntunnya pada Pileg dan Pilpres 2009 serta berhasil menyingkirkan dominasi politik Golkar dan PDIP sebagai pemain utama dalam pentas politik selama ini.
Walau masih menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi, namun hangatnya wacana dilingkaran elit dalam pembagian kursi di kabinet pasca Pemilu menarik untuk dicermati. Beberapa elit partai terlihat mulai melakukan lobi dan tawar menawar untuk memasukan jagoannya dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk. Bagi partai yang masuk dalam tim pemenangan, sekarang saatnya untuk ‘menagih utang’ atas imbalan jasa yang telah diberikan. Dan bagi partai yang tidak masuk dalam koalisi tetapi memiliki ’amunisi’ yang cukup banyak dan diperhitungkan di parlemen, bagi mereka hanya dua pilihan; merapat ke koalisi kabinet atau menyatakan diri sebagai oposisi.

Menunggu Keberanian Golkar
Wacana menarik yang juga turut menjadi perhatian pasca Pemilu adalah publik menunggu partai yang akan memberanikan diri maju menjadi partai oposisi. Dinegara demokratis, oposisi diperlukan untuk memperkuat mekanisme check and balances antara tiga cabang utama kekuasaan; eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam doktrin trias politica. Memperkuat lembaga legislatif sekaligus juga memperkuat sistem presidensil di negara yang menganut sistem presidensil. Selama ini, partai oposisi melekat pada PDIP. Namun melihat kiprah PDIP sebagai partai oposisi yang lalu, maka perlu kiranya untuk menambah amunisi oposisi di parlemen, setidaknya untuk meramaikan diskursus demokrasi di Indonesia. Dan sinyalemen baru muncul untuk mendorong Golkar menjadi partai oposisi.
Puluhan tahun berkiprah di pentas politik Indonesia, baik sebagai organisasi politik non-partai maupun sebagai parpol (Golkar sebagai parpol nanti pada Pemilu 1999), tak sekalipun Golkar berani menyatakan diri sebagai oposisi. Sekian lama, stigma yang melekat dan ’mendarah daging’ di benak sebagian rakyat Indonesia, bahwa Golkar sebagai organisasi politik penyokong Orba. Kebencian sebagian masyarakat yang anti-Orba dan gelombang reformasi yang bergulir pada tahun 1998 akhirnya berpengaruh pada kekalahan Golkar pada Pemilu legislatif tahun 1999. Kekalahan berulang (yang lebih parah) akhirnya dialami Golkar pada Pemilu 2009.
Faktor utama yang memberi sumbangan terhadap kekalahan Golkar pada Pemilu 2009 adalah ada kesan terlampau percaya diri (over confidence) dan kesalahan berpikir yang lama tertanam di benak sebagian elit Golkar bahwa kejayaan Golkar selamanya akan bertahan, walau sistem Pemilu berganti, dari Pemilu tidak langsung ke sistem Pemilu langsung. Padahal, justeru pada sistem Pemilu langsung, tanda-tanda keruntuhan Golkar mulai terlihat. Pada sistem Pemilu tidak langsung, Golkar mendapat label ’istimewa’ dari penguasa Orba sehingga memungkinkan Golkar selalu menang pada setiap Pemilu. Sokongan politik secara total yang diberikan Golkar kepada Soeharto melalui kendali terhadap sipil dan militer saat itu menjadikan Soeharto selalu terpilih sebagai Presiden RI.
Status sebagai ’anak emas’ Orba dan kemenangan mutlak Golkar pada beberapa Pemilu sebelum Pemilu tahun 1999 menjadikan alasan faktor terlampau percaya diri tersebut tertanam kuat. Imbasnya, pasca amandemen III UUD 1945 pada tahun 2001, mesin politik Golkar yang selama periode Orba mengendalikan kekuatan sipil dan militer, kebingungan mencari dukungan ketika sistem pemilihan langsung digulirkan pada tahun 2004 dan dilanjutkan pada Pemilu 2009. Militer diperintahkan untuk tidak lagi terjun ke dunia politik dengan dihapuskannya dwi fungsi ABRI di parlemen. Sementara ide demokratisasi yang bergulir pada tahun 1998 membuat kendali politik terhadap sipil mulai berkurang dan mengendur. Tumbuhnya organisasi masyarakat sipil seperti LSM dan NGO turut memberikan sumbangan bagi penyadaran politik masyarakat setelah sekian tahun berada dibawah halusinasi politik Orba.
Hilangnya dua sokongan utama kekuatan politik Orba ini akhirnya mempengaruhi menurunnya perolehan suara Golkar. Sehingga pada pemilu 2009, Golkar seakan tidak siap untuk menerima kekalahan. Publik seakan tidak percaya perolehan suara Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto pada Pemilu 2009 sangat minim. Walau kalah dan menang dalam dunia politik adalah hal yang lumrah, namun untuk Golkar sebagai Parpol besar, kekalahan pada Pemilu 2009 merupakan sebuah tamparan dan aib.
Oleh karena itu, melihat kiprah Golkar pada Pileg dan Pilpres lalu yang menuai banyak kekalahan, revitalisasi peran politik perlu dilakukan Golkar untuk kembali memperkuat amunisi menjelang Pemilu 2014. Pada Pemilu 2009, banyak suara pendukung Golkar beralih ke parpol lain. Termasuk massa ideologis Golkar yang bertahun-tahun setia memilih Golkar. Demikian pula pada pertarungan Pilkada di beberapa daerah lalu, Golkar terbukti keok menghadapi lawan-lawan politiknya. Banyak jagoan-jagoan Golkar yang tersungkur (baca:kalah).
Maka sebagai partai yang kalah baik dalam Pileg maupun Piplres kemarin, sudah saatnya Golkar melakukan refleksi dan instropeksi untuk mengkaji ulang kekuatan, daya saing, dan besaran legitimasi rakyat terhadap Golkar. Pasca runtuhnya kekuasaan Orba dan pasca pemilu 1999, Golkar seolah kehilangan sentuhan sebagai organisasi politik yang sudah makan asam garam kehidupan politik di negeri ini. Kekalahan Golkar pada beberapa Pilkada di tanah air dan terakhir pada Pileg dan Pilpres kemarin semakin kuat menunjukan rapuhnya infrastruktur dan konsolidasi partai. Walaupun kalah dan menang adalah hal lumrah dalam dunia politik, namun sebagai partai yang sarat pengalaman, beberapa kasus kekalahan sebagai imbas dari mekanisme pemilihan langsung pada beberapa arena pertarungan pada Pilkada di beberapa daerah lalu mengisyaratkan menurunnya legitimasi rakyat terhadap kader-kader Golkar. Pergeseran orientasi pemilih dari pemilih pasif-patron-klien, ke pemilih aktif-cerdas-rasional-kritis juga menjadi faktor kekalahan Golkar.
Menyadari hal ini, maka tidak ada cara lain bagi elit Golkar selain memikirkan format politik apa yang akan digunakan Golkar untuk kembali meraih kepercayaan rakyat. Dan salah satu solusi dari sekian banyak solusi yang ada adalah Golkar bisa menjadi oposisi. Namun pertanyaannya kemudian, beranikah Golkar menjadi partai oposisi setelah sekian tahun identik sebagai organisasi politik penyokong Orde Baru? Selain bahwa Golkar belum punya pengalaman menjadi partai oposisi.
Menjadi oposisi bukan sebuah pandangan politik turunnya strata politik sebuah partai. Menjadi oposisi juga bukan berarti menghalangi kerja-kerja pemerintahan. Justeru sebaliknya, pilihan menjadi oposisi akan semakin memperkuat identitas ideologis partai tersebut. Oposisi adalah salah satu kekuatan politik negara demokratis. Melalui kiprahnya sebagai partai oposisi, Golkar bisa meraih simpati rakyat dengan peran-peran mereka, turut menjadi pengawal kebijakan pemerintah yang benar-benar tertuju kepada rakyat, sekaligus melakukan counter issue atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Mungkin dengan menjadi oposisi, Golkar akan kembali menemukan ’sentuhan aslinya’.
Jika Golkar menjadi oposisi, maka dipastikan peta kekuatan oposisi di parlemen semakin kuat karena PDIP dan Gerindra hampir pasti menjadi oposisi. Kekuatan ini bisa bertambah jika Golkar dan Hanura bergabung dalam koalisi oposisi bersama PDIP dan Gerindra. Koalisi empat partai ini akan menjadi oposisi yang paling kuat karena menguasai 43, 9 persen dari 560 kursi di parlemen.
Sebagai perbandingan, salah satu faktor keberhasilan sistem presidensil di AS adalah karena konsistensi kaum oposisi yang memainkan perannya secara profesional, tidak setengah-setengah. Peran oposisi yang dimainkan betul-betul mencerminkan konsep keseimbangan (check and balances) antara eksekutif dan legislatif dalam menangani isu-isu strategis. Pasca pemilu, partai yang kalah akan langsung menjadi oposisi yang akan mengawal dan mengkritisi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah yang mayoritas adalah partai pemenang pemilu.
Maka untuk mengawal wacana pasca Pilpres ini, publik menunggu langkah politik dan kepiawaian SBY dalam meramu kabinet untuk mengamankan perahunya mengarungi samudra yang luas dan dalam selama lima tahun kedepan. Perahu yang akan dinakhodainya, membawa dua ratus dua puluh juta nyawa, dibantu para abdi yang ahli dalam bidangnya. Publik juga menunggu kiprah partai yang berani menjadi oposisi sebagai salah satu kekuatan politik negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Beranikah Golkar menjadi oposisi?

tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, edisi 3 Agustus 2009

4 komentar:

  1. bagi saya tulisan ini adalah tulisan yang terlalu berani. Dan ini menunjukkan bahwa saudara wiwin adalah anak muda, bukan orang tua. ciri khas itulah yang menonjol dari sekian bnayak tulisannya. Satu-satunya anak muda yang cukup produktif untuk wilayah makassar, yang tampaknya mampu menegosiasikan emosi dan nalar kemanusiaan. Anak muda yang hingga hari ini masih jalan kaki dan sederhana

    BalasHapus
  2. Sepakat pak wiwin.. Golkar harus berani merubah haluan politiknya.. jangan jadi kacung terus.. ya minimal untuk periode inilah., kali aja klo jadi oposisi, 2014 Golkar menang Pemilu.. he..he..

    BalasHapus
  3. Klo sya sebenarnya maux Golkar jadi oposisi.. apalgi pasca kalah Pemilu dari Demokrat.. apalagi kalo isu neolib itu benar, wah bahaya kalau presure oposisi di parlemen nda kuat.. Indonesia bisa dijual.. wah jangan sampai dech...!!

    BalasHapus
  4. Jangan harap Golkar jadi oposisi.. Golkar akan selamanya jadi rulling parti.. klaupun ga mnang, Golkar bisa dipasang jadi bemperx demokrat..

    BalasHapus