Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia Selama 10 tahun reformasi yang didahului dengan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998, demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Pemilu Tahun 1999 yang diikuti oleh 48 Parpol kemudian dilanjutkan dengan pemilu demokratis pada tahun 2004 dan 2009 telah menandai babak baru pertumbuhan embrio demokrasi di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan juga dibuat untuk memperkokoh fondasi demokrasi dan menciptakan civil society yang kuat. UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dibuat untuk memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban antara negara dan warga negara sekaligus sebagai pembatas kekuasaan penyelenggara negara. Era kebebasan dan transparansi informasi mendapat jaminan dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik semakin memperluas partisipasi dan pendidikan politik (political education) masyarakat. Jaminan kebebasan berkumpul, bersuara dan berpendapat mendapat ruang dalam perluasan pasal 28 (A-J) Amandemen ke-4 UUD 1945. Untuk memperkuat hal tersebut UU No 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Isipol/ICCPR) semakin menyemarakkan kehidupan politik di Indonesia. Secara kelembagaan, demokrasi diberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dibentuk pada Amandemen ke-3 UUD 1945, semakin memperluas partisipasi politik masyarakat di daerah untuk berkomunikasi dengan pusat tanpa harus melalui partai politik. Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat tepat sebagai tempat ’mengeluh’ warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar UUD untuk mengajukan judicial review UU terhadap UUD (MA UU terhadap peraturan dibawah UU). Selain itu UU No 22 Tahun 2004 tentang KY juga membuat diskrsus tentang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka (independent of judiciary) antara cabang kekuasaan kehakiman semakin seru dan menarik. Kemudian, untuk menghapus trauma sentralisasi kekuasaan pada masa Orba, pembuatan UU No 12 Tahun 2008 sebagai perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 yang mengantikan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah semakin membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan. Pemilihan Umum secara langsung tahun 2004 dan 2009 juga membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu berdemokrasi setelah selama 32 tahun lamanya, cerita demokrasi di Indonesia menjadi sangat mahal harganya pada masa rezim Orba. Namun ada sebuah kegelisahan yang muncul dibalik semua kisah ’kesuksesan’ itu. Benarkah kita sudah membangun sebuah fondasi kenegaraan melalui sistem demokrasi yang kuat? Demokrasi Kontekstual Kisah kesuksesan yang penulis kemukakan dalam pandangan diatas, hanyalah kulit luar dari lapisan dalam demokrasi kita yang sebenarnya sangat rapuh. Ketika Parpol menjamur pasca reformasi ’98 dan mengikuti Pemilu ’99 dan 2004, muncul secercah harapan akan perkembangan sistem kenegaraan dan menjamin peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Ruang kebebasan publik dibuka selebar-lebarnya, hal yang tidak terjadi ketika rezim Orba berkuasa. Tetapi siapa yang sangka, euforia pembentukan Parpol juga diikuti dengan nafsu kekuasaan yang menyebabkan demokrasi kita hanya mampu bertahan jika disokong dengan ‘gizi’ yang banyak. Seharusnya, setelah kita menjalankan reformasi yang ditegakkan diatas dua pilar, demokrasi dan pasar bebas, semestinya reformasi kita berjalan mulus. Tetapi mengapa malah sebaliknya, reformasi dan demokrasi di Indonesia seolah stagnan. Ibarat kapal kehabisan bahan bakar, nyaris karam dihantam gelombang dilautan lepas. Demokrasi kita cenderung menyemarakkan perilaku korupsi yang bukannya menurun, tetapi mengalami peningkatan secara kuantitas dan kualitas. Ketika rezim Orba berkuasa, korupsi terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Ini dikarenakan sistem sentralisasi kekuasaan memungkinkan elit Orba menjadi pemain kunci dalam ’pembagian lahan’ proyek di Indonesia. Tetapi ketika rezim Orba runtuh, skala korupsi menjadi lebih kecil tetapi menjamur sampi ke level paling bawah. UU No 12 Tahun 2008 sebagai perubahan atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disatu sisi, tidak hanya membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan, tetapi membuka peluang korupsi menjadi lebih besar. Korupsi dikerjakan secara ’beramai-ramai’, walaupun dengan skala yang lebih kecil. Akibatnya tiap tahun, Transparansi Internasional selalu menyindir kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Memang benar, demokrasi kita menang secara kuantitas, tidak secara kualitas. Demokrasi kita juga menang pada tataran legislasi, tetapi lemah pada implementasi. Pembentukan lembaga-lembaga negara, pembuatan peraturan perundang-undangan dan penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung tahun 2004 dan 2009 sebagai instrumen demokrasi, hanya nampak pada tataran normatif dan sekilas mampu menghapus traumatik demokrasi yang dibungkam rezim Orde Baru dulu. Tapi sekali lagi kita harus ingat dan sadar, bahwa untuk mengukur kesuksesan demokrasi, tidak dilihat dari peningkatan kuantitas. Demokrasi harus diukur secara kualitas. Demokrasi kita adalah demokrasi kontekstual. Ketika pesta demokrasi berupa pemilihan presiden dan wakil presiden maupun Pilkada di beberapa daerah melanda, yang dijadikan patokan adalah seberapa besar para ’petarung’ membayar upeti kepada Parpol. Demokrasi kita tidak lebih sekedar demokrasi uang. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek ’money politik’ dianggap lumrah dinegeri yang mengaku berdemokrasi ini. Tiap kali ada Pemilu maupun Pilkada, media massa ramai-ramai menyoroti biaya kampanye yang berkisar milyaran rupiah. Tiap orang yang ingin menjadi pejabat publik, ’wajib’ menyetor sepersekian milyar pada parpol. Parpol lebih sibuk mencari nasabah yang mau menyumbang biaya kampanye partai ketimbang memikirkan nasib sepersekian persen rakyat Indonesia yang masih terperangkap dijaring kemiskinan. Parpol tidak lebih sebagai mesin proyek. Demokrasi kita sudah dijual. Demokrasi kita sudah dibajak! Seyogyanya, untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia, harus dilihat sejauh mana keterlibatan warga negara dalam mengakses hak dan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan dalam konstitusi tentang pemerataan sosial. Selama ini dalam praktek, umumnya rakyat masih sekedar obyek (client). Untuk menikmati sumber daya yang dikuasai negara (menurut versi pasal 33 UUD 1945), terkadang rakyat dikorbankan sebagai subordinat bagi pelaku kekuasaan. Bukan sebagai subyek yang menentukan sendiri dan mampu mengkomunikasikan secara proporsional hak-hak dan kewajibannya melalui ruang-ruang demokrasi yang dibentuk. Dalam rezim otoritarianisme, subordinasi politik itu cenderung dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Dalam demokrasi minimalis, hukumannya bisa berbentuk penutupan akses ke sumberdaya publik. Dua konsep diatas cenderung merugikan ”citizenship rights”, atau status rakyat sebagai warga negara yang merdeka. Mancur Olson, dalam karyanya Power and Prosperity, menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil. Tesis Olson diatas, dapat kita cerna sedikit untuk mencermati kondisi kenegaraan pada masa rezim Orba berkuasa. Orba, dengan kekuasaannya mampu ’menjinakkan’ oposisi, bahkan menyingkirkannya. Orba mengundang investor untuk berinvestasi dengan mengenakan regulasi longgar dan membuka peluang eksploitasi sebesar-besarnya. IMF dan Worl Bank mengepung dan menjerat Indonesia dengan pinjaman luar negeri melalui Letter of Intent (LoI) yang juga pada akhirnya membuat Indonesia terlilit utang triliunan rupiah dan bunga yang menggunung. Setelah Orba jatuh, penguasa-penguasa lokal memanfaatkan peluang tersebut untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga ke daerah. Investasi asing dibuka melalui undang-undang pertambangan, perkebunan, dan penanaman modal asing. Akibatnya tanah masyarakat adat (indigenous people) tergusur oleh roda pembangunan. Kebijakan luar negeri kita juga tidak mampu membentengi kedaulatan negara hingga kita harus kelimpungan ketika dampak kenaikan minyak dunia membuat perusahaan lokal gulung tikar dan ribuan orang kehilangan mata pencahariannya. Globalisasi melalui liberalisasi pasar modal yang kita masuki ternyata menyeret kita (negara berkembang) pada pusaran arus yang menghanyutkan Akibat keputusan kenaikan BBM, nelayan meratap tidak bisa melaut karena harga solar tinggi. Petani meradang karena harga pupuk melangit. Jumlah angka putus sekolah mengalami peningkatan, utamanya anak-anak yang terpaksa banting tulang membantu mencukupi nafkah keluarga. Angkutan darat juga merugi karena harus antre berjam-jam untuk mendapatkan BBM. Para ibu rumah tangga harus rela berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan satu liter minyak tanah yang hanya bisa dipakai sehari, sudah itu dua atau tiga hari lambung kompor kembali kosong. Industri banyak yang gulung tikar karena tidak bisa beroperasi. Akibatnya jumlah pengangguran bertambah dan angka kriminalitas juga mengalami peningkatan. Inikah demokrasi yang setiap hari kita bangga-banggakan diruang seminar? saya pikir sudah saatnya kita, para penggiat demokrasi mengkaji ulang sistem demokrasi yang kita terapkan kini. |
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Selasa, 14 Juli 2009
Demokrasi (Tidak) Untuk Dijual
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar