Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 13 Juli 2009

Demokrasi dan Regenerasi Koruptor

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia

Terungkapnya kasus suap yang dibeberkan oleh Artalyta Suryani sebagai saksi kunci pada persidangan korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan yang mengakibatkan gedung bundar (Kejagung) dan gedung dewan (DPR) ‘kebakaran jenggot’ dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan dan beberapa anggota DPR dalam kasus suap BLBI mengindikasikan bahwa demokrasi yang selama ini digulirkan hanya sebatas wacana. Demokrasi di Indonesia tidak mengurangi budaya korup yang menunjukan grafik menanjak secara bertahap. Selama 10 tahun reformasi, capaian terbesar demokrasi kita hanya mendidik dan melahirkan koruptor. Budaya korup di Indonesia bermetamorfosa sesuai perkembangan zaman dan menciptakan regenerasi koruptor. Tidak salah kiranya jika tiap tahun TI dan PERC selalu menampar Indonesia dengan risetnya yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup.
Dalam konteks ini, semakin jelas kiranya bahwa praktek demokrasi kita hanya senantiasa memupuk dan mengembangbiakan koruptor. Kasus suap yang melibatkan beberapa anggota DPR dan Menteri dalam kasus pengalihan fungsi hutan maupun misteri suap aliran dana BI yang sementara hangat diperbincangkan, kembali mencoreng citra Indonesia dimata dunia dan semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah tempat potensial ‘perkembangbiakan’ sehingga melahirkan regenerasi koruptor. Sindiran ini mungkin sedikit menyakitkan bagi kita yang mendambakan terciptanya clean dan good governance pasca bergulirnya 10 tahun reformasi.
Ditengah drama perburuan koruptor dan aset negara diluar negeri yang belum selesai. Ditengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, para wakil rakyat dan beberapa penegak hukum seperti Jaksa Urip malah melawan arus. Wakil rakyat telah ‘menodai’ kesucian rumah rakyat. Korupsi telah meruntuhkan iman wakil rakyat untuk tidak menodai rumah rakyat yang suci tersebut dengan bersama-sama melakukan korupsi. Disisi yang lain, kedekatan Urip, seorang jaksa senior di Kejagung dengan Artalyta, seorang pengusaha, menegaskan bahwa hukum dinegeri ini begitu mudah diintervensi oleh kuasa politik. Kepatuhan Urip terhadap Artalyta dalam salah satu rekaman percakapan di persidangan, memaksa nalar rasional kita untuk mencari alasan hukum apa yang membuat seorang jaksa senior begitu mudahnya tunduk dan hormat hingga menggadaikan idealismenya demi kepuasan materi, dan menjual keadilan kepada seorang pengusaha.

Korupsi dan Demokrasi yang Kebablasan
Mancur Olson, dalam salah satu karyanya Power and Prosperity, menggambarkan keanehan penerapan demokrasi yang melanda negara-negara pasca otoritarianisme seperti Indonesia dengan mengemukakan teori stationary bandit dan roving bandit. Dalam teori ini, Olson, seorang yang tidak mendukung otoritarianisme maupun kediktatoran, menceritakan bahwa pada masa otoriter dapat dikatakan hanya ada satu orang bandit (bandit besar), dan bandit itu mampu bertahan dalam kekuasaannya selama mungkin, dengan tidak menghabisi kekayaan di wilayah itu. Tetapi pada masa sang bandit besar hilang, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasaannya, mereka inilah yang mengambil alih apa yang dilakukan oleh bandit besar, tetap pada tingkat dan skala yang lebih kecil.
Tesis Olson diatas, dapat kita cerna sedikit untuk mencermati kondisi kenegaraan pada masa rezim Orba berkuasa. Orba, dengan kekuasaannya mampu ’menjinakkan’ oposisi, bahkan menyingkirkannya. Orba mengundang investor untuk berinvestasi dengan mengenakan regulasi longgar dan membuka peluang eksploitasi sebesar-besarnya. IMF dan Worl Bank mengepung dan menjerat Indonesia dengan pinjaman luar negeri melalui Letter of Intent (LoI) yang juga pada akhirnya membuat Indonesia terlilit utang triliunan rupiah dan bunga yang menggunung.
Ketika rezim Orba, korupsi terkonsentrasi di pusat kekuasaan. Ini dikarenakan sistem sentralisasi kekuasaan memungkinkan elit Orba menjadi pemain kunci dalam ’pembagian lahan’ proyek di Indonesia. Tetapi ketika rezim Orba runtuh, skala korupsi menjadi lebih kecil tetapi menjamur sampi ke level paling bawah. Disatu sisi, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak hanya membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan, tetapi membuka peluang korupsi menjadi lebih besar. Korupsi dikerjakan secara ’beramai-ramai’, walaupun dengan skala yang lebih kecil. Kasus Tanjung Bintang dan Tanjung Api-Api adalah bukti lemahnya sistem hukum kita.
Setelah Orba jatuh, penguasa-penguasa lokal memanfaatkan peluang tersebut untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Korupsi terstruktur dari level pusat hingga ke daerah. Investasi asing dibuka melalui undang-undang pertambangan, perkebunan, dan penanaman modal asing. Kasus Migas, pembalakan liar dll, adalah bukti nyata sisi lemah sistem hukum kita yang menyerahkan kekuasaan kepada kapitalis. Akibatnya tanah masyarakat adat (indigenous people) tergusur oleh roda pembangunan. Kebijakan luar negeri kita juga tidak mampu membentengi kedaulatan negara hingga kita harus kelimpungan ketika dampak kenaikan minyak dunia membuat perusahaan lokal gulung tikar dan ribuan orang kehilangan mata pencahariannya. Globalisasi melalui liberalisasi pasar modal yang kita masuki ternyata menyeret kita (negara berkembang) pada pusaran arus yang menghanyutkan
Pada kenyataannya, penegakan hukum (law enforcement) terhadap kasus korupsi selama satu dasawarsa tidak menunjukan perubahan dan hasil yang signifikan terhadap perubahan sikap, komitmen, perilaku, dan kinerja birokrasi. Termasuk kinerja lembaga penegak hukum (Opini Kompas 22 Agustus 2008). Ketika UU N0 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan keputusan politik pemilihan Presiden dan Pilkada secara langsung disahkan, ada harapan akan adanya peningkatan kualitas berdemokrasi dalam kehidupan bernegara hingga melahirkan civil society yang kuat melalui konsep desentralisasi pemerintahan untuk menghapus sentralisasi pemerintahan ala Orba yang memupuk budaya korup di pemerintahan.
Namun seperti yang sudah terjadi, UU Pemda melalui konsep desentralisasi juga tidak bisa mencegah mewabahnya virus korupsi hingga ke daerah. Mekanisme pemilihan langsung juga terbukti tidak mampu menjinakkan korupsi. Dalam kehidupan politik kita, sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktek ’money politik’ dianggap lumrah dinegeri yang mengaku berdemokrasi ini. Tiap kali ada Pemilu maupun Pilkada, media massa ramai-ramai menyoroti biaya kampanye yang berkisar milyaran rupiah. Tiap orang yang ingin menjadi pejabat publik, ’wajib’ menyetor sepersekian milyar pada parpol. Parpol lebih sibuk mencari nasabah yang mau menyumbang biaya kampanye partai ketimbang memikirkan nasib sepersekian persen rakyat Indonesia yang masih terperangkap dijaring kemiskinan.
Seyogyanya, untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia, harus dilihat sejauh mana keterlibatan warga negara dalam mengakses hak dan kewajibannya sebagaimana yang diamanahkan dalam konstitusi tentang pemerataan sosial. Selama ini dalam praktek, umumnya rakyat masih sekedar obyek (client). Untuk menikmati sumber daya yang dikuasai negara (menurut versi pasal 33 UUD 1945), terkadang rakyat dikorbankan sebagai subordinat bagi pelaku kekuasaan. Bukan sebagai subyek yang menentukan sendiri dan mampu mengkomunikasikan secara proporsional hak-hak dan kewajibannya melalui ruang-ruang demokrasi yang dibentuk.
Dalam rezim otoritarianisme, subordinasi politik itu cenderung dipaksakan dengan ancaman hukuman bagi yang menentang. Dalam demokrasi minimalis, hukumannya bisa berbentuk penutupan akses ke sumberdaya publik. Dua konsep diatas cenderung merugikan ”citizenship rights”, atau status rakyat sebagai warga negara yang merdeka.

Pernah dimuat di Opini Tribun Timur Makassar, Edisi Nopember 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar