Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 13 Juli 2009

Tragedi TKI, "Sinetron" yang Berulang

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia

Merebaknya kasus penganiayaan yang menimpa TKI utamanya Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita di Malaysia ibarat sinetron yang selalu terulang tanpa diketahui ending ceritanya. Keseluruhan naskah cerita tentang TKI ini membuktikan sang sutradara (baca:negara) tidak serius memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap TKI. Dalam hal perjanjian kerja, 70% ternyata melegitimasi eksploitasi TKI dan menguntungkan majikan (Tajuk Kompas, 29/06/09). Dari tahun ke tahun, masalah TKI yang selalu terulang ini cukup menganggu’keharmonisan’ hubungan RI-Malaysia.
Apa yang terjadi dalam ’sinetron’ TKI ini membuka mata kita akan kurangnya kepedulian pemerintah dalam hal perlindungan hukum terhadap TKI di luar negeri. Perangkat hukum yang diantaranya telah diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri ibarat senapan tanpa peluru. Dalam Pasal 2 undang-undang tersebut jelas dikatakan bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI adalah berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan manusia. Namun aspek hukum dan kemanusiaan dalam prosedur penempatan TKI ini tidak mendapatkan porsi utuh dari negara. Fakta ini sekali lagi membuktikan bahwa negara hanya bisa memproduksi dan menghasilkan peraturan, namun di sisi lain lemah pada wilayah implementasi.
Memang sejak beberapa tahun lalu, pengiriman TKI keluar negeri dianggap salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia. Sebagai negara yang masuk kategori miskin di Asia, pemerintah menempuh cara penyaluran tenaga kerja di negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja, seperti Malaysia dan Arab Saudi dengan harapan bahwa devisa yang disumbangkan dari sektor ini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Persepsi ini tidak sepenuhnya keliru, namun juga memiliki kadar resiko tinggi jika tidak dikerjakan dengan cara yang benar. Pemerintah hanya melihat satu sisi sumbangan devisa dari jasa TKI tersebut, namun sisi lain seperti perlindungan hukum dan jaminan kesejahteraan tidak dipikirkan. Sistem pengawasan secara penuh untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan para TKI juga tidak diperhatikan. Para TKI dilepas begitu saja dengan bekal kemampuan SDM yang masih minim. Perjanjian kontrak antara TKI, majikan dan PJTKI juga tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban masing-masing sehingga TKI berada dalam posisi pasif. Sehingga TKI sangat rawan dieksploitasi dan mengalami kasus kekerasan.
Banyak indikator untuk mengukur lemahnya komitmen negara dalam perlindungan TKI. Namun diantara itu; kurangnya perangkat perlindungan, lemahnya posisi tawar (bargaining position), hingga tumpang tindihnya peran pemerintah menjadi faktor penyebab utama penanganan TKI di luar negeri terbengkalai. Dalam hal perangkat perlindungan, secara domestik, perangkat hukum terlihat jelas tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban antara TKI, Majikan dan PJTKI. TKI cenderung dijadikan obyek pemerasan dan ladang eksploitasi majikan dan PJTKI.
Sedangkan dalam Pasal 7 UU No 39/2004 dikatakan bahwa negara wajib menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI, baik yang berangkat melalui pelaksanaan penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri; mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI; membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri; melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; memberikan perlindungan pada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.
Dalam aspek politik, lemahnya posisi tawar (bargaining position) pemerintah dalam melakukan upaya diplomasi untuk sinkronisasi bahasa hukum regulasi nasional antara kedua negara (INA-Malaysia) dalam hal prosedur penempatan dan perlindungan terhadap TKI juga menjadi masalah serius. Antara pihak-pihak terkait, Deplu dan Depnaker seyogyanya proaktif membuat formulasi bahasa hukum perjanjian kerja yang bisa disepakati kedua negara. Sinkronisasi bahasa hukum antara kedua negara tentang perjanjian kerja dan perlindungan hukum terhadap TKI ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan terhadap para TKI. Namun upaya ini tidak mendapat perhatian serius, sehingga saban hari KBRI Malaysia terus disesaki laporan tentang kasus kekerasan yang menimpa TKI. Belum lagi kasus Manohara dan sengketa Blok Ambalat antara kedua negara yang sementara ramai diperbincangkan.
Padahal jika dikaji dari segi kadar kebutuhan, Malaysia termasuk negara yang sangat bergantung pada stok tenaga migrant asal Indonesia. Industri perkebunan dan rumah tangga di Malaysia kesulitan mendapatkan tenaga kerja lokal sehingga sangat bergantung pada stok tenaga asal Indonesia yang 50% tenaga kerja migrant di Malaysia berasal dari Indonesia (Kompas 30/06/09). Fakta ini seyogyanya bisa dijadikan amunisi dan alasan hukum untuk ’menekan’ pemerintah Malaysia dalam hal perlindungan terhadap TKI.

Erosi Wibawa
Maraknya kasus kekerasan yang menimpa TKI di Malaysia ibarat jarum jam yang selalu berulang. Dalam masalah TKI ini wibawa dan kedaulatan negara sedang diuji dan dipertaruhkan. Wibawa negara mengalami pengikisan (baca: erosi) akibat keteledoran aparaturnya. Keteledoran yang terlampau percaya dan yakin pada keampuhan undang-undang tetapi kurang mempertimbangkan dan menghargai aspek kemanusiaan dalam prosedur penempatan TKI.
Sekian lama, ada kesalahan berpikir yang kemudian menjadi sebuah stigma bahwa TKI di luar negeri adalah orang-orang bodoh, tak berpendidikan (mayoritas demikian), yang mempertaruhkan harga diri bangsa dan negara dan menyandang status sebagai ’anak bangsa yang terbuang’ sehingga tidak perlu diurusi, tanpa kepedulian dan perlindungan hukum yang memadai dari negara.
Dari aspek kemanusiaan, persepsi ini sepenuhnya keliru dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang menekankan kesetaraan derajat dan martabat manusia. UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya/Ekosob (ICESCR) dan beberapa peraturan lainnya telah menekankan bahwa hak hidup merupakan hak asasi setiap orang untuk mendapatkan kehidupan yang layak demi kemanusiaan. Terlepas dari mampu atau tidaknya negara dalam memenuhi kebutuhan ekonomi warganya, maka setiap orang tidak boleh diganggu atau dibatasi kemampuannya dalam mencari nafkah. Negaralah sebagai organisasi pengayom yang kemudian berkewajiban menyediakan pranata hukum untuk perlindungan terhadap akses ekonomi dan hukum bagi warganya.
Kasus kekerasan terhadap TKI adalah bagian kecil dari keseluruhan tragedi kemanusiaan yang menimpa pahlawan devisa di negeri orang. Upah yang minim, beratnya pekerjaan yang berbanding terbalik dengan kemampuan fisik, jam kerja yang padat dan kurangnya waktu istirahat adalah kompleksitas masalah TKI di luar negeri disamping masalah lainnya yang kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.


Tulisan ini dimuat di Opini FAJAR, edisi 2 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar