Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 13 Juli 2009

Manohara-Manohara Lain di Malaysia

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konsitusi PuKAP-Indonesia

Akhir-akhir ini, media massa ramai mengangkat kasus penganiayaan dan kekerasan fisik yang dialami seorang model asal Indonesia yang diperistri pangeran kerajaan Kelantan, Malaysia, Manohara Odelia Phinot. Ribut-ribut kasus Manohara hampir-hampir menenggelamkan hiruk-pikuk isu Pilpres 2009 maupun sengketa Blok Ambalat antara Pemerintah RI dengan pemerintah Malaysia. Jadilah Manohara selebriti di dua negara.
Melalui bahasa jurnalistik, publik dibuat simpati atas tragedi yang menimpa Manohara. Publik melihat kasus Manohara sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia kaum perempuan yang dalam hukum internasional telah diatur dalam Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang di Indonesia telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 1984.
Namun ada fenomena lain dari ribut-ribut kasus Manohara yang luput dari perhatian hingga membuat miris nurani kita. Dari perspektif gender, opini ini terlihat tidak berimbang. Masalah yang kemudian melahirkan protes dari sebagian Ormas atas kasus Manohara seakan menenggelamkan kenyataan selama ini bahwa di Malaysia, ribuan ’Manohara-Manohara’ lain yang berprofesi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) telah sekian lama mengalami kekerasan fisik dan psikis, mempertaruhkan harga diri bangsa dan negara dan menyandang status sebagai ’anak bangsa yang terbuang’ tanpa kepedulian dan perlindungan hukum yang memadai dari negara. Banyak dari perempuan-perempuan tersebut yang mungkin mengalami situasi yang jauh lebih sulit dari apa yang dialami oleh Manohara sekarang.
Hukum memang terkadang tidak adil. Membandingkan status sosial antara Manohara, seseorang yang disebut-sebut memiliki darah ningrat, dengan ribuan TKW Indonesia di Malaysia yang ’tidak memiliki’ status sosial apapun sangatlah tidak proporsional. Manohara adalah seorang model dengan kualitas fisik mumpuni. Memiliki sesuatu yang mampu memikat kejantanan seorang pangeran Kelantan yang tidak dimiliki oleh perempuan-perempuan lainnya.
Sedangkan TKW kita di Malaysia adalah sekumpulan ’orang-orang terlantar’ yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi, tapi kurang mendapatkan perlindungan hukum sebagai hak selayaknya warga negara lain. Dalam kasus Manohara vs TKW, sangat tidak adil kita yang mengaku sebagai bangsa yang berpancasila dan berkeadilan sosial tetapi berpikir dan bertindak tidak pancasilais. Sangat tidak fair memberikan respon simpati yang berbeda terhadap kasus yang kadar resikonya sangat berbeda jauh.

Fenomena Gunung Es; Pelanggaran Konstitusi oleh Negara
Apa yang dialami Manohara berupa kekerasan fisik dan psikis merupakan bagian kecil dari keseluruhan naskah cerita tragedi kemanusiaan yang menimpa perempuan-perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW di luar negeri. Perempuan-perempuan perkasa yang berani melabrak feodalisme budaya selama ini yang terkesan menempatkan kasta sosial perempuan sebagai ’ban serep’ laki-laki. Perempuan-perempuan perkasa yang melalui keberaniannya, mencoba melawan dominasi laki-laki dan mengatakan bahwa kami juga bisa. Perempuan-perempuan perkasa yang tidak diam dan berpangkutangan ketika melihat lemahnya peran negara dalam memenuhi kesejahteraan warganya melalui lapangan kerja yang disediakan.
Kasus Manohara jika dikaitkan dengan kekerasan fisik dan psikis yang menimpa TKW di luar negeri merupakan fenomena gunung es, terlihat diatas saja tetapi siklus alaminya sampai kedasar. Sekian tahun, TKW Indonesia mengalami tekanan fisik dan psikis di negeri tetangga yang selama ini sering dianggap sebagai bangsa serumpun. Atau jangan-jangan kita yang selama ini telah salah berpikir menganggap Malaysia sebagai bangsa serumpun sementara (jangan sampai) mereka justeru tidak berpikir demikian dengan cara mendiksriminasikan status sosial TKI kita?
Dengan standar pendidikan dan kemampuan sumberdaya yang relatif standar, mereka diperalat oleh cukong-culong penyalur jasa tenaga kerja yang hanya bisa mengeksploitasi. Ditelantarkan oleh pemerintah Malaysia dan oleh negaranya sendiri tanpa perlindungan hukum yang memadai. Sedikit diantaranya yang menerima perlindungan hukum seperti dalam kasus Nirmala Bomat, TKW asal NTT yang mengalami penganiayaan fisik oleh majikannya. Sementara disisi lain, pirinsip equality before the law (persamaan di depan hukum) menjamin semua manusia mendapatkan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi oleh negaranya. Seharusnya sejak dari dulu, kisah yang menimpa Nirmala mampu menjadi pemantik untuk membangun kesadaran kritis kita atas nasib ribuan TKW yang terlantar di negeri orang sekaligus mempertanyakan arah kebijakan negara atas prosedur penempatan TKI di luar negeri.
Selain mengatur perlindungan terhadap nyawa, tubuh manusia beserta segala properti yang melekat padanya, melalui perangkat hukum yang dibuat, negara juga berkewajiban melakukan pembelaan maupun gugatan hukum untuk mewakili warga negara yang merasa hak-hak dasarnya dilanggar. ’Sinetron Manohara’ cenderung mengaburkan opini terhadap fenomena gunung es selama ini. Kesadaran publik direkayasa sedemikian rupa agar memfokuskan simpati pada Manohara saja dan menutup mata pada ratusan kasus kekerasan yang menimpa TKW Indonesia di luar negeri. Dalam ’sinetron’ ini, terlihat Manohara sebagai pemain utama dan TKW sebagai figuran. Kisah Manohara vs TKW adalah naskah yang ditulis secara tidak proporsional oleh negara sebagai sutradara terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia secara menyeluruh, termasuk terhadap warga negaranya diluar negeri.
’Manohara-manohara’ lain (baca: TKW) yang peran mereka selama ini jarang diceritakan oleh sutradara (baca: negara) merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Dalam konstitusi sangat jelas disebutkan bahwa negara wajib memberikan jaminan perlindungan dan keselamatan kepada warga negaranya tanpa diskiriminasi. Selama ini negara hanya mengangkat sekilas dari prestasi TKI dengan memberikan predikat sebagai pahlawan devisa. Sementara kewajiban menyeluruh yang mencakup kesejahteraan dan perlindungan hukum terhadap para TKI telah gagal dilaksanakan. Kisah pilu dari tragedi kemanusiaan yang dialami TKW kita di luar negeri merupakan satu contoh dari kegagalan negara dalam memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya. Terlihat jelas bahwa negara cenderung melakukan pembiaran dan pendiaman (omission) atas pelanggaran HAM terhadap nasib ribuan TKI di luar negeri.
Kewajiban negara dalam memberikan perlindungan hukum dan jaminan sosial kepada para TKI di luar negeri memang mutlak diperlukan sebagai tanggungjawab hukum dan hak asasi manusia. TKI selama ini terkesan diekploitasi untuk keuntungan segelintir pihak. Perjanjian kontrak yang dibuat terkadang tidak memposisikan secara seimbang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kurangnya perangkat perlindungan, lemahnya posisi tawar (bargaining position), hingga tumpang tindihnya peran pemerintah menjadi faktor penyebab penanganan TKI di luar negeri terbengkalai. Tentunya kita berharap agar kasus ini tidak terjadi pada Manohara-Manohara lain di kemudian hari. Negara wajib membentengi keselamatan dan perlindungan TKI di luar negeri dengan regulasi nasional yang ketat untuk menutup ruang gerak calo-calo TKI yang selama ini telah menampar harga diri bangsa dan negara di mata dunia dalam kasus TKI.
Kasus kekerasan yang menimpa TKW di Malaysia seharunya menjadi pemantik bagi kita sebagai bangsa yang mengaku berkeadilan sosial.


Tulisan ini pernah dimuat di Opini FAJAR, edisi 16 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar