Selamat datang...

Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..

Senin, 13 Juli 2009

Menciptakan Demokrasi yang Demokratis

Wiwin Suwandi
Direktur Program Hukum dan Konstitusi PuKAP-Indonesia

Pada dasarnya demokrasi bukan sebuah aturan atau norma. Demokrasi adalah sebuah nilai. Nilai dari demokrasi tersebut kemudian dijewantahkan dalam bentuk aturan formal. Dalam konsep negara hukum, baik yang bertipe rechstaat (civil law) maupun anglo saxon (common law), nilai dari demokrasi tersebut dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks Indonesia, nilai dari demokrasi dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No 40 tahun 1999 tentang Pers, maupun ketentuan tentang kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul (freedom to assembly) yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945 hasil Amandemen ke empat.
Sedangkan secara kelembagaan, demokrasi diberikan ruang melalui pembentukan lembaga-lembaga negara seperti MPR/DPR/DPD/DPRD, serta lembaga-lembaga negara lain pada tingkat pusat maupun daerah. Menjamurnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ormas, dan Parpol pasca reformasi ’98 juga menandakan adanya peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia yang pada masa Orba tidak dibiarkan tumbuh dalam kehidupan bernegara. Pengesahan UU No 32 Tahun 2004 yang mengantikan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan corak pemerintahan sentralistik sebagai warisan Orba semakin membuka perluasan demokrasi hingga ke daerah-daerah melalui sistem desentralisasi pemerintahan.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 yang memiliki kewenangan Judicial Review (peninjauan kembali) UU terhadap UUD (MA UU terhadap peraturan dibawah UU), membuka peluang bagi warga negara yang merasa hak-haknya dilanggar oleh undang-undang, untuk mengajukan Judicial Review ke MK dengan tujuan agar undang-undang tersebut dicabut atau di revisi karena bertentangan dengan UUD 1945.
Secara teori, demokrasi sebagai sebuah nilai tidaklah berdiri sendiri, namun tetap bersinggungan dengan dimensi maupun disiplin ilmu pengetahuan lain, khususnya bidang kajian politik. Dalam hubungan inilah, nilai dari demokrasi tersebut bisa berubah, tergantung dari sudut pandang mana setiap orang menilai dan memainkan alur demokrasi. Demokrasi dari persepsi awam adalah bagaimana menyalurkan aspirasinya dan sebisa mungkin di laksanakan oleh legislator yang telah mereka pilih. Demokrasi dari persepsi politisi adalah bagaimana membangun relasi kekuasaan yang melibatkan beberapa aktor politik. Sedangkan demokrasi menurut kalangan intelektual adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif melalui gerakan moral (moral force). Demokrasi yang tidak dimaknai secara murni juga bisa menjadi potensi konflik.

Kualitas Demokrasi
Sulsel akhir-akhir ini sedang diramaikan oleh kegiatan suksesi demokrasi pemilihan kepala daerah. Di beberapa sudut kota, perang spanduk, baliho, maupun stiker-stiker membuat kota nampak seperti lautan kampanye. Tim sukses masing-masing kandidat bergerilya mencari simpati masyarakat. Masing-masing kandidat juga berlomba merebut simpati rakyat melalui simbol-simbol politik yang memungkinkan untuk meraih suara. Istilah-istilah kampanye dalam kamus politik, dipelajari dan digunakan untuk mempengaruhi psikologi massa. Tetapi kemudian muncul pertanyaan. Apakah keputusan akhir dari hasil Pilkada merupakan substansi nilai dari demokrasi itu sendiri?
Dalam hal ini, demokrasi idealnya menciptakan pihak yang kalah dan menang dalam posisi yang seimbang (balance). Konsep yang terbangun dari hasil Pilkada secara normatif memang memaksa harus ada pihak yang kalah dan menang. Pilkada ibarat pertandingan Tinju atau Sepakbola. Selalu ada pihak yang kalah dan menang. Tergantung bagaimana para pemain dalam pertandingan tersebut memainkan aturan main (rule of game) secara fair dan menerima hasil pertandingan. Untuk membangun kualitas demokrasi, yang harus tercipta adalah win-win solution (sama-sama merasa menang), bukan win-lose (menang-kalah) sekalipun secara normatif mengharuskan itu. Kualitas Demokrasi dalam konteks kenegaraan adalah melahirkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang memposisikan secara seimbang antara hak-hak rakyat dan penguasa.
Untuk mengetahui bahwa demokrasi berjalan dengan baik dalam proses Pilkada, maka salah satunya dapat dilihat dari sejauh mana para politisi dan penguasa yang terlibat sebagai aktor utama dalam konflik tersebut menentukan posisi dan sikapnya. Penentuan sikap dalam hal ini bukan karena pengaruh loyalitas partai, bukan pula karena sentimen primordialisme. Sikap politik dalam hal ini dibuktikan dengan mengusung konsep gerakan moral (moral force) dan kerelaan mayoritas yang tidak dibangun dari ego kultur, partai dan primordialisme untuk mengusung isu Pilkada damai dalam motivasi membangun kualitas pendidikan politik (political education) yang positif pada masyarakat. Masyarakat sekarang sudah bisa menilai figur pemimpin yang baik menurut kacamata politik mereka. Kegagalan demokrasi yang dibangun selama Orde Baru telah memberi referensi berharga bagi masyarakat untuk menentukan sikap politiknya.
Dalam kisruh Pilkada Sulsel beberapa waktu lalu, legitimasi masyarakat terhadap politisi, Parpol, dan institusi hukum telah menurun. Imej yang terbentuk dalam frame politik masyarakat adalah sikap politisi yang arogan dan sangat tidak dewasa. Para politisi tidak memperhatikan etika politik dalam memainkan alur politik. Apa yang mereka harapkan dari etika berpolitik berupa Pilkada damai, menjadi ’medan perang’ dalam budaya Barbar.
Dalam perjalanan kenegaraan, memilih pemimpin berkualitas memang sulit, namun juga bukan mustahil. Tinggal formulasi sistem yang perlu diperbaharui untuk mencari figur pemimpin yang memiliki sifat to’manurung yang dikenal dalam budaya lokal masyarakat Sulsel. Agar kesan terhadap pemimpin yang naik dan memegang tampuk kekuasaan, bukan pesanan Parpol, melainkan keputusan masyarakat yang lahir dari keinginan bersama membangun Sulsel. Maka pola pembagian kekuasaan yang terbangun juga tidak primordial. Keputusan yang dihasilkan juga bukan pesanan Parpol. Suara yang dihasilkan juga tidak terkesan ’suara uang’. Kegagalan membangun motivasi win-win solution sebagai nilai demokrasi pada suksesi Pilkada pada beberapa daerah di Indonesia seperti Pilkada Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan jika dipelajari membuktikan kegagalan Parpol dalam membangun regenerasi dan kederisasi melalui pendidikan politik dan demokrasi hingga semakin mempersempit ruang demokrasi yang mencoba bangkit dan berdiri tegak dalam negara yang sedang membangun fondasi ideologi yang kuat.
Untuk menciptakan demokrasi berkualitas, materi (baca:uang) bukan menjadi prioritas. Yang utama adalah bagaimana semua pihak mengusung gerakan kolektif dan kerelaan mayoritas untuk bangkit dari keterbelakangan. Konsep demokrasi memang diciptakan untuk menghubungkan relasi-relasi sosial tersebut berada dalam posisi seimbang. Penguasa dengan kekuasaannya, membentuk peraturan tidak secara diskriminasi. Masyarakat juga dapat memainkan peran mereka berdasarkan aturan main yang ditetapkan penguasa.
Memang kita sadari bahwa, demokrasi di Indonesia baru berjalan sembilan tahun. Terlalu dini untuk berharap, agar selama sembilan tahun tersebut, Indonesia sudah mampu mewujudkan konsep masyarakat madani (civil society). Stabilitas negara masih goyah dengan isu makar. Konstitusi masih sering diributkan apakah perlu di amandemen atau tidak. Bencana alam menjadi tamu yang sering datang tanpa diundang. Amerika Serikat yang sudah mempraktekan konsep demokrasi selama puluhan tahun juga terbukti belum menemukan bingkai demokrasi yang pure.
Dilihat dari sejarah yang ada, tidak mudah membangun sebuah negara yang bernama Indonesia. Sejak berdiri enam puluh dua tahun lalu, negara ini tidak pernah stabil secara politik dan ekonomi. Konflik disintegrasi akibat isu etnisitas secara politik mewarnai perjalanan negara hingga saat ini. Kepungan lembaga bantuan keuangan selama rezim Orba berkuasa membuat negara ini terjerat utang hingga triliunan rupiah. Kondisi ini akhirnya menimbulkan keinginan disintegrasi pada beberapa wilayah di Indonesia. Jika bukan karena kepiawaian pendiri negara yang berhasil merumuskan arti ”Bhineka Tunggal Ika”, maka nama Indonesia mungkin tidak akan ada dalam peta dunia. Yang ada hanyalah negara Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan negara-negara kecil lainnya. Jadi kita sebagai pelaku demokrasi, harusnya bisa bersikap lebih dewasa dan bijaksana dalam menentukan sikap politik.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian FAJAR, Opini Edisi 5 Mei 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar