Wiwin Suwandi Direktur Program Hukum dan Konstitusi Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia Banyak definisi globalisasi yang dikategorikan oleh beberapa pakar. Diantaranya, globalisasi adalah internasionalisasi, sebuah istilah untuk menggambarkan hubungan lintas-batas diantara Negara-negara (Scholte, 2000). Selain itu, globalisasi juga dimaknai sebagai liberalisasi. Dari sini, globalisasi menjadi slogan penting untuk menggambarkan proses integrasi ekonomi internasional (Sander, 1996:27). Disamping itu, rujukan pas bagi definisi globalisasi dikemukakan oleh Spybey dan Taylor bahwa globalisasi adalah westernisasi atau modernisasi atau bahkan amerikanisasi (Spybey, 1996; Taylor, 2000). Bahkan, bagi Negara-negara dunia ketiga (baca: Negara berkembang), globalisasi disamakan dengan kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000). Dalam konteks yang demikian, globalisasi adalah sebuah dinamika dimana struktur-struktur sosial dari modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dll) menyebar keseluruh dunia, dan biasanya proses penyebaran ini akan merusak keberadaan budaya-budaya dan etos lokal (Hertz, 2001:13-37). Globalisasi; Solusi atau Bencana Penulis sendiri lebih sepaham dengan pendekatan definisi yang dikemukakan Spybey dan Taylor. Umumnya, masyarakat dunia kini telah dihipnotis oleh ‘agama’ baru yang bernama globalisasi. Walaupun bagi sebagian orang (utamanya masyarakat marginal), istilah globalisasi masih terdengar`asing, namun tanpa disadari, produk globalisasi telah menjadi ‘konsumsi wajib’ bagi mereka dan masyarakat diseluruh belahan dunia. Bahkan pejabat merasa tidak afdol jika dalam pidatonya tidak menyisipkan sedikit istilah globalisasi. Disekolah-sekolah dasar, anak-anak yang baru belajar mengeja, oleh gurunya mulai diperkenalkan dunia baru yang bernama globalisasi. Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan, telah mendorong terciptanya budaya konsumeristik dan materialisme. Merk Barat, utamanya yang berbau USA, telah menjadi trend baru dikalangan remaja masa kini, tidak terkecuali mahasiswa yang telah meninggalkan kultur aslinya sebagai agen of change. Mahasiswa kini menjadi konsumen utama sekaligus korban globalisasi. Nama artis dan aktris papan atas Hollywod seperti Tom Cruise, Brad Pitt, Angeline Jolie, beserta judul filmnya yang dibuat untuk memuaskan kesenangan pribadi selama 120 menit, lebih dikenal dan dijadikan idola ketimbang nama-nama pemikir besar seperti Ali Syariati, Edward Said, Noam Chomsky, atau Antonio Gramscy yang bersuara atas nama nurani kemanusiaan. Dan ini terjadi di Indonesia. Globalisasi telah membatasi dan menjauhkan dimensi spriritualitas manusia yang sering berkomunikasi dengan tuhan melalui rutinitas ibadah. Bahkan tidak jarang Tuhan ‘dijual’ dan ‘dipertontonkan’ melalui instrumen-instrumen pendukung globalisasi. Salah satunya melalui media massa, utamanya media elektronik. Bagi yang Muslim, jika orang berbicara tuhan, cukup menghadap kelayar televisi, menonton perlombaan da’i dan da’iyah sambil mengirimkan sms dukungan. Atau mendengarkan ceramah agama oleh ustad kondang yang tidak bersedia membawakan ceramah jika tawar menawar rupiah tidak deal. Televisi telah menjadi ‘tuhan yang baru’ bagi generasi muda dengan menyediakan tayangan-tayangan yang hanya berorientasi duniawi. Lomba menjadi bintang, artis, membuat cara berpikir generasi muda Indonesia hanya memburu kesenangan, tidak memikirkan bahwa dibelahan dunia lain, ada masyarakat yang sedang kesusahan dan membutuhkan bantuan. Tayangan-tayangan hedonis menjamur dan menduduki rating tinggi dalam stasiun-stasiun televisi. Dalam kondisi ini, globalisasi telah mengikis agama dan budaya sehingga menjadikannya tabu bagi semua orang. Karena memang, tujuan akhir globalisasi adalah mengikis dan menghilangkan kemajemukan budaya, sehingga hanya ada satu budaya yang akan menjadi raja, yaitu globalisasi. Disisi yang lain, karena tidak mampu membendung laju globalisasi, institusi-institusi negara dan agama telah mendapat ‘saingan’ baru bernama globalisasi. Pemujaan terhadap makna ke-Esaan tuhan di tempat-tempat ibadah yang tidak dapat dijangkau melalui mata telanjang, mendapat tantangan baru bernama globalisasi yang menjamin bisa menemukan ‘tuhan’ ditempat-tempat yang menyediakan kesenangan dunia. Dalam bidang ekonomi, tentakel-tentakel globalisasi melalui liberalisasi pasar modal telah menyusup masuk dalam kebijakan beberapa negara yang tanpa sadar telah mengorbankan rakyatnya. Kapitalisme global bertopeng perusahaan-perusahaan multinasional (Transnational Corporation/TNC), mempreteli ideologi negara melalui undang-undang pertambangan dan investasi. Selama dua dasawarsa menjelang abad XXI, TNC mengalami perkembangan dalam jumlah maupun keuntungan. Pada tahun 1970an, jumlah TNC hanya sekitar 7.000 buah, namun pada tahun 1998 membengkak menjadi 44.508 buah. Kekuatan ekonomi TNC yang luar biasa semakin bertambah ketika era globalisasi berjalan. Mereka pada saat itu berhasil menguasasi 67% dari perdagangan dunia antar-TNC dan menguasai 34,1% dari total perdagangan global. TNC juga telah menguasai75% dari total investasi global, dan mampu mengontrol hingga 75% perdagangan dunia (Fakih,2001:214). Kini, konsumen masyarakat Asia telah tenggelam dalam kekuatan godaan budaya Barat melalui produk-produk yang dipasarkan. Makanan, minuman, pakaian, musik, seni, permainan, dan segala sesuatu yang berasal dari Barat tampak berkilau dan glamour bagi masyarakat Asia. Salah satu contoh, dalam memandang globalisasi, mungkin tidak ada gambaran yang lebih baik mengenai daya tarik gaya hidup Barat pada orang Asia selain antusiasme ratusan ribu pemuda Vietnam terhadap Coca Cola saat minuman itu pertama kali diperkenalkan di Negara itu. Sungguh ironis melihat Negara yang begitu antusias pada Coca Cola, simbol konsumerisme Amerika, adalah Vietnam. Padahal Negara itu membayar harga teramat mahal dalam bentuk nyawa rakyatnya demi mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan dalam menghadapi agresi dan imperialisme amerika pada tahun ’60-an (Muzaffar, 2004:133-134) Inferior; Dimanakah Barat Itu? Lalu, jika kita sering membicarakan Barat atau membandingkan antara Barat dan Timur hingga memunculkan rasa inferior tadi, timbul sebuah pertanyaan singkat. Dimanakah barat itu? Barat dari perspektif awam adalah suatu keadaan geografis yang letaknya berada dibelahan dunia lain dengan segala karakteristik yang mendukungnya. Barat juga, dalam hal ini AS dan Negara-negara Eropa selama dasawarsa terakhir telah memegang kendali atau kontrol terhadap sistem ekonomi dan politik dunia. Sehingga tidak ada satu negarapun didunia ini yang tidak mengetahui atau bahkan secara terang-terangan mengakui kehebatan ekonomi Barat yang dikomandoi Amerika. Bahkan lebih kasar lagi, istilah ‘Barat’ telah menjadikan beberapa Negara berani menggadaikan harga diri, menjadi ‘anjing penjaga’ kepentingan politik ekonomi Barat dinegaranya. Jadi sebenarnya Barat ada disekitar kita dan didalam diri kita. Barat adalah kita. Barat ada dimana-mana hingga kita mustahil membicarakan Barat sebagai sebuah entitas yang terpisah dan berbeda dengan Asia, sebuah wilayah geografik yang spesifik. Karena pada kenyataannya, Barat tidak memiliki batasan. Barat ada dalam setiap kawasan lainnya didunia (Muzaffar, 2004:135). Ketika kita mendewakan Coca Cola, KFC, McDonald lebih dari minuman dan makanan lokal yang ada, menyukai budaya (musik, film, gaya hidup) Barat tanpa proses penyaringan yang selektif, maka pada saat itulah, Barat ada didalam dan sudah menyatu dengan diri kita. Sehingga tanpa sadar telah menjauhkan entitas kita sebagai orang Timur yang juga mempunyai karakter budaya yang bisa dibanggakan. Mungkin sudah takdir menjadi bangsa terjajah, cara berpikir masyarakat di Indonesia (dan hampir semua Negara-negara di Asia) dalam memandang Barat, cenderung eksklusif, seolah tanpa cacat dan superior. Selama era penjajahan, pusat-pusat kekuatan Barat, utamanya teknologi, menancapkan kekuatannya atas budaya dan masyarakat non-Barat. Masyarakat di Asia dan Afrika yang merupakan korban penjajahan, memiliki perasaan rendah diri (inferior) ketika berhadapan dengan Barat. Segala hal yang berbau Barat; teori, teknologi, seni, dikonsumsi. Akibatnya, masyarakat Asia yang kurang terdidik, memandang rendah budaya dan tradisinya sendiri. Dan itu semakin memudahkan globalisasi untuk menguasai cara berpikir dan menjadikan kita selamanya hanya menjadi ‘pengemis yang selalu tidur’. Tulisan ini pernah dimuat di PK Identitas Unhas pada tahun 2007.. |
Selamat datang...
Bagi semua peminat kajian hukum, HAM dan demokrasi, yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik; bersih dari korupsi, penegakan HAM brjalan dengan baik, konstitusi memihak kepentingan kolektif, maka inilah ruang anda untuk berdiskusi..
Senin, 13 Juli 2009
Menuhankan Globalisasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar